Lihat ke Halaman Asli

Gus Noy

TERVERIFIKASI

Penganggur

Arsitek yang Menulis

Diperbarui: 5 Maret 2017   10:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bagi saya, mungkin juga bagi orang lain, seorang arsitek yang menggambar (merancang) merupakan hal yang sebenarnya-lazim. Seorang arsitek memang begitu (menggambar).

Begitu pula dengan seorang arsitek yang menulis. Tidak ada yang aneh atau tidak benar-lazim ketika seorang arsitek menulis. Bagi saya, baik menggambar maupun menulis adalah biasa jika keduanya dilakukan oleh seorang arsitek.

Pada masa pendidikan di Jurusan (kini Program Studi) Arsitektur (strata 1, bukan DIII), tidak seluruh bahan kuliah (teori), diskusi kecil, ujian harian atau semesteran, bahkan Tugas Akhir melulu berupa gambar bangunan, tata bangunan atau kawasan. Paling puncak, yaitu Tugas Akhir, pun tetap harus didampingi skripsi (tertulis).

Saya belum pernah melihat sebuah buku skripsi berisi gambar saja. Perancangan yang dipaparkan dalam sidang Tugas Akhir pun tidak cukup bisa memberi pemahaman tanpa adanya uraian secara lisan (berkata-kata) oleh si calon sarjana di hadapan para dosen penguji. Dengan adanya uraian secara lisan, tentu saja, bisa diterjemahkan melalui tulisan.

Bahkan, selembar ijazah pun berisi tulisan. Bukan berisi foto si sarjana Arsitektur dengan latar gambar bangunan dari Tugas Akhirnya. Termasuk juga nilai-nilai yang diraih sebagai kelengkapan ijazah itu.

Tidak berbeda jauh ketika seseorang sudah menjadi arsitek (dari ijazah sebuah perguruan tinggi) pada saat menjalankan profesinya. Tetap saja ada uraian kalimat secara tertulis, meski sedikit, pada konsep perancangannya. Dan, tetap saja ada uraian secara lisan, yang masih bisa diterjemahkan melalui tulisan.

Dari kedua masa (pendidikan dan pekerjaan) di atas, seorang arsitek tidak terbebas dari bahasa lisan yang bisa menjadi bahasa tulisan, atau terbebas dari bahasa tulisan. Kalau kemudian seorang arsitek diminta menjadi pemateri dalam sebuah seminar atau diskusi arsitek, tidak pernah hanya memajang gambar-gambar tanpa adanya uraian lisan, yang masih bisa dituliskan oleh para pendengar.

Maksud saya, secerdas-jeniusnya seorang arsitek dalam berkarya, pemikirannya, baik gagasan (ide) maupun ulasan (tanggapan, komentar atau kritik), masih bisa diterjemahkan melalui tulisan, baik dilakukannya sendiri maupun oleh orang lain. Tentu saja “orang lain” itu bisa dari profesi yang sama, dan berbeda, semisal wartawan.

Artinya, tidak ada yang istimewa ketika seorang arsitek menulis. Toh, seorang arsitek (jebolan akademis) sudah tamat SD, yang telah belajar tulis-menulis secara mendasar. Dan, tentunya, kemampuan menulis harus lebih tinggi, ditambah dengan latar pendidikan akhir.

Tidak juga istimewa ketika seorang arsitek menuliskan gagasan perancangan untuk suatu sayembara, atau ulasannya mengenai suatu perancangan, bangunan jadi, tata bangunan, dan seterusnya, yang berhubungan dengan bidangnya. Tentunya tulisan seorang arsitek mengenai hal-hal berkaitan dengan bidangnya dapat memberi pemahaman, baik bagi sesama arsitek maupun bukan arsitek.

Selain bahasa gambar, gagasan atau ulasan tidaklah cukup dipungkasi dengan bahasa lisan, di mana hanya orang di sekitarnya yang mendengar dan memahami. Harus dilanjutkan dengan bahasa tulisan, yang bisa menjangkau banyak orang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline