Lihat ke Halaman Asli

Gusminto Adi Prayitno

PrasangkaTuhan tergantung prasangka hamba-Nya

Solusi Perilaku Offensif dengan Pendekatan Behavioristik

Diperbarui: 17 Juni 2015   14:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

PENDAHULUAN

Menjadi guru itu mudah, tetapi menjadi guru yang profesional itu tidak mudah. Melihat fenomena dari tahun ke tahun semakin mengejutkan tentang bagaimana siklus perjalanan dalam kancah pendidikan. Seakan-akan secara tersirat tugas seorang guru akan bertambah berat. Pendidikan yang hanya mengejar intelektualitas semata tanpa mementingkan pendidikan karakter ternyata hasilnya pun tidak akan seimbang. Begitulah gambaran Indonesia sekarang, setiap tahun kuantitas persen kasus semakin meningkat. Sehingga, kesempatan dan peluang besar untuk menjadikan generasi penerus lebih baik sejatinya berada pada saat-saat di dunia pendidikan selain dari lingkungan keluarga.

Terkait dengan pendidikan karakter kiranya perlu mengenalkan salah satu perilaku yang cukup penting kepada para murid, yaitu tentang perilaku offensif. Prinsip dari perilaku offensif adalah bahwa kebenaran hanya bisa ditegakkan dengan kekuatan. "Beberapa waktu yang lalu guru BK di salah satu sekolah SMA di kabupaten Malang bercerita bahwa kasus siswanya semakin kreatif dalam memecahkan masalah. Mereka tawuran demi membela, merebutkan, meyakinkan masalah cinta."Ujarnya.

Problem tawuran sudah semakin merata, bahkan Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas Anak) mencatat hingga 2014 ini terdapat 229 kasus tawuran pelajar sepanjang tahun sebelumnya. Jumlah kasus ini meningkat sekitar 44 % dibanding tahun 2012 yang hanya 128 kasus.

Anak yang memiliki perilaku offensif membawa sebuah tantangan bagi seorang guru, namun pada saat yang sama menunjukkan bahwa dia adalah anak yang memiliki banyak persoalan. Prinsip perilaku ini tentu saja dipelajari sang anak sejak dia masih kanak-kanak dan kadang juga dipelajari lewat modelling dari media massa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak-anak yang sering menyaksikan adegan kekerasan di televisi menjadi kurang sensitif dan kurang bersimpati terhadap penderitaan orang lain. Mereka bahkan bisa menganggap bahwa kekerasan merupakan satu-satunya cara yang dapat menyelasaikan persoalan. Anak yang berperilaku offensif membawa citra buruk dimata lingkungan, sehingga proyek besar bagi para guruuntuk memaksimalkan pendidikan karakter.

PEMBAHASAN

Di dalam kehidupan manusia ada dua poin besar yang harus dipahami, yaitu adanya pertumbuhan dan perkembangan. Dari sudut islam, Rasulullah Saw menjelaskan fase ruang lingkup sebagai berikut: "Biarkanlah anak-anak kalian bermain dalam tujuh tahun pertama, kemudian didik dan bimbinglah mereka dalam tujuh tahun kedua, sedangkan tujuh tahun berikutnya jadikan mereka bersama kalian dalam musyawarah dan menjalankan tugas."

Ternyata anak memiliki tiga status penting dalam hidupnya, yaitu sebagai bos, pelayan, dan penasihat. Anak berusia 0-7 tahun adalah bos, yang mana kita harus melayani dan menghormati segala kebutuhannya. Status kedua adalah pelayan, terjadi penurunan drastis dari bos ke pelayanan. Artinya pada saat ini adalah siklus gravitasi terbalik, orang tua yang menjadi bos dan anak yang menjadi pelayan. Dan terakhir dengan status penasihat. Pada status ketiga ini anak mempunyai hak dan ruang lingkup kewenangan musyawarah dan kerjasama.

Dari konsep Rasulullah Saw, status anak sebagai pelayan mempunyai hak dan kewenangan dalam ruang lingkup pendidikan dan bimbingan. Pendidikan dan bimbingan ini yang harus difokuskan oleh orang tua, guru, dan lingkungan lain yang terkait. Pendidikan dan bimbingan juga merupakan hak yang harus didapat anak pada masa 7 tahun kedua (7-14 tahun). Pendidikan merujuk pada penanaman pengetahuan atau kurikulum, sedangkan bimbingan adalah pengasuhan untuk membentuk kepribadian pada jalan yang diinginkan.

Pada masa-masa tersebut penanaman pendidikan karakter mulai perlu diperkalkan, khususnya tentang perilaku offensif. Lewat pendekatan behavior yang berpandangan bahwa tingkah laku lama dapat diganti dengan tigkah laku baru, merujuk pada sikap yang mengharuskan anak merubah perilaku offensif tersebut.

Penerapan pendekatan behavior menggunakan prinsip-prinsip belajar dan prosedur belajar yang efekif untuk membentuk dasar-dasar pemberian bantuan kepada obyek (Rojidan, 1994). Langkah ini dapat diambil dengan membentuk suasana pembelajaran menjadi nyaman bagi para anak-anak (murid).

a)Kita dapat mengumumkan kepada murid-murid bahwa perilaku offensif adalah perilaku yang tidak baik. Pemberian tuturan dengan jelas tentang dampak dari perilaku offensif semacam itu.

b)Kita dapat menegaskan kepada para murid bahwa lingkungan (sekolah bahkan keluarga) akan melindungi mereka. Ketika kita mendapati anak berperilaku offensif, maka harus melakukan tindakan dengan menghentikan perilaku agar menjadi peringatan bagi anak-anak (murid) bahwa guru, orang tua tidak akan pernah mentolerir perilaku offensif.

c)Memperlakukan murid dengan tegas, tetapi santai. Berbicara tegas sangat diperlukan untuk menghentikan perilaku offensif. Namun kita tidak boleh menggunakan hukuman fisik, kecuali jika memang sudah tidak terdapat jalan lagi.

Pada pendekatan konseling bahavioristik tidak terlepas dari reward and punishment, maka terkait dengan hukuman fisik ini merupakan sarana pembinaan yang harus dijelaskan secara gamblang agar hasil yang dikehendaki benar-benar jelas, target-target tertentu dapat tercapai, dan perilaku yang buruk dapat dihentikan. Selain itu, juga untuk mengokohkan nilai positif pada diri anak yang sedang tumbuh dan berkembang. Sehingga, untuk menciptakan hukuman (ganjaran) yang mendidik, maka sebagai dasar bahwa:

1)Hukuman bukanlah perkara pokok yang wajib dilakukan

Hukuman bukanlah perkara pokok yang mesti diterapkan dalam kehidupan secara umum, dan dalam proses pembinaan secara khusus. Hukuman tak ubahnya seperti obat dan makanan. Obat pada dasarnya bukanlah yang disukai, namun karena kebutuhan untuk sembuh, akhirnya juga dimakan. Akan tetapi pengunaan obat tidak boleh berlebihan, apalagi sampai over dosis. Bagitu pula dengan hukuman pada perilaku offensif.

2)Hukuman dapat menghilangkan perasaan tentram dari jiwa

Terdapat suatu kitab yang berjudul Asbabu Junuhi al-Ahdats menjelaskan tentang faktor kenakalan anak-anak atau remaja, bahwa sesungguhnya ketidaktentraman perasaan anak terhadap lingkungan sosialnya dapat mendorong mereka melakukan kesalahan. Kecaman, celaan, dan sanksi yang dirasakan dari lingkungan itu, dapat membuat mereka kehilangan rasa aman.

Sehingga, jangan sampai para guru menaruh persepsi negatif dan merendahkan citra anak / muridnya bahwa yang berlaku offensif tidak niat untuk sekolah, tidak pintar, cerdas, dan sebagainya. Kembali di awal bahwa untuk memperlakukan murid dengan tegas, tetapi santai adalah sikap yang perlu dimiliki oleh semua guru.

3)Hukuman fisik bukan penanganan yang harus diagendakan

Hukuman fisik adalah ganjaran yang mencakup hukuman-hukuman lainnya. Sanksi ini pun dianggap dapat memicu reaksi cepat seorang anak untuk menyatakan keengganannya mengikuti pembelajaran.Dengan demikian penerapan hukuman fisik bagi perilaku offensif tidak akan memberikan hasil yang diharapkan, karena pada dasarnya "hukuman fisik" untuk oknum perilaku offensif hanya akan menciptakan iklim buruk, yang diliputi aroma kemarahan , serta sakit hati antara yang muda dan yang tua.

Akibatnya, di hadapan orang yang menghukumnya si anak berpura-pura menampakkan rasa takut, sementara di belakang ia akan terus membangkang. Lebih miris lagi tidak sedikit anak-anak justru bermusuhan dengan kedua orangtuanya dan guru-gurunya, karena akibat pemberlakuan sanksi yang berlebihan. Efeknya pun mereka menjadi lebih tidak peduli terhadap perasaan dan rasa orang lain.

d)Mengasingkan anak-anak (murid) yang offensif. Dalam rangka melindungi murid-murid yang lain atau memberi peringatan tegas, maka hal itu berhak dilakukan sebagai bentuk hukuman tegas dengan catatan dilakukan untuk sementara waktu di dalam kelas. Disamping itu, ketika diasingkan ia akan duduk dengan tenang. Namun jika di tempat pengasingan dia masih melakukan tindakan-tindakan yang tidak pantas, maka dia harus diasingkan lebih lama lagi. Jika masa hukuman telah selesai, berbicara dengan dia dan bisa mengingatkan aturan yang melarang berbuat offensif. Kemudian mencari kesempatan untuk memujinya saat ia berperilaku mulai sebagai reward.

e)Berbicara dengannya secara terpisah. Menjalin komunikasi baik dengannya barangkali bisa mengetahui apa yang terpendam dalam hatinya. Jika dia ingin mengungkapkan isi hatinya, maka hal tersebut adalah kesempatan. Setelah itu, kita dapat berbicara dengan lembut serta dapat pula melakukan proses asesmen.

f)Mengajari murid tentang cara menyelesaikan perselisihan. Bentuk langkah ini dapat berupa mengajari kaidah-kaidah bahasa yang diperlukan untuk mendiskusikan masalah dengan orang lain, yaitu dengan tetap tenang, mendengarkan perkataan orang lain, tidak mencela, atau bahkan menghina.

PENUTUP

Kesimpulan

Meningkatnya kasus kenakalan remaja, seperti perilaku offensif harus mendapatkan perhatian lebih. Prinsip dari perilaku offensif adalah bahwa kebenaran hanya bisa ditegakkan dengan kekuatan. Sehingga, penenaman budi pekerti atau pendidikan karakter merupakan tanggung jawab bersama, guru atau pun orang tua.

Sebagai jalan yang dapat ditempuh oleh para konselor atau yang lainnya, dapat dilakukan dengan menerapkan pendekatan behavioristik. Penerapan pendekatan behavior menggunakan prinsip-prinsip belajar dan prosedur belajar yang efekif untuk membentuk dasar-dasar pemberian bantuan kepada obyek.

Sebagai cara membantu anak didik / murid membuang respon-respon yang lama yang merusak diri atau maladaptif dan mempelajari respon-respon baru yang lebih sehat dan sesuai (adjustive), maka dapat dilakukan dengan beberapa cara yang praktis, diantaranya mengumumkan kepada murid-murid bahwa perilaku offensif adalah perilaku yang tidak baik, menegaskan kepada para murid bahwa lingkungan (sekolah bahkan keluarga) akan melindungi mereka, memperlakukan murid dengan tegas tetapi santai, mengasingkan anak-anak (murid) yang offensif, berbicara secara terpisah, dan mengajari murid tentang cara menyelesaikan perselisihan.

Kemudian ketika memberikan hukuman pada murid yang offensif, maka harus memperhatikan bagaimana kualitas hukuman tersebut. Sehingga, sebagai harus pandai untuk menciptakan hukuman (ganjaran) yang mendidik.

Saran

1.Pada tulisan artikel populer tentang psikologi konseling khususnya tentang perilaku offensif , kiranya terdapat kalimat-kalimat yang tidak sesuai atau pun kesalahan. Maka, kami selaku penulis meminta maaf dan sebagai penyempurnaan kepada dosen terkait untuk memberikan masukan.

2.Isi dari tulisan pada artikel ini diambil secara garis besarnya saja dengan pengembangan sesuai dengan kemampuan penulis. Pembaca dapat melengkapi penjelasan tersebut di buku-buku yang terkait.

DAFTAR PUSTAKA

Chatib, Munif. 2014. Orangtuanya Manusia. Bandung: PT Mizan Pustaka

Gantina, Eka dan Karsih. 2011. Teori dan Teknik Konseling. Jakarta : PT Indeks

Kazim, Muhammad Nabil. 2010. Mendidik Anak Tanpa Kekerasan. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar

Khalifah Mahmud, Quthub Usamah. 2009. Menjadi Guru yang Dirindu. Surakarta: Ziyad Visi Media

Willis, Sofyan S. 2007. Konseling Individual Teori dan Praktek. Bandung : CV Alfabeta

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline