Sastra adalah manipulasi bisa juga kebohongan. Tapi kebohongan sastra berbeda dengan kebohongan dalam sejarah. Sejarah yang berbohong berniat membodohi masyarakat, sedangkan kebohongan dalam karya sastra malah melahirkan dunia ideal yang bisa menjadi cermin kehidupan masyarakat.
Sastra dalam dunia yang direka oleh penulisnya memunculkan harapan terpendam pembacanya akan situasi ideal yang mungkin tidak dialminya dalam kehidupan yang sesungguhnya.
Pembaca terbius oleh khayalan yang dibangunnya saat membaca buku sastra. Ada letupan, emosi, harapan dan pemberontakan di sana. Karena hal-hal demikianlah kadang sastra itu menakutkan bagi penguasa.
Sejarah sering dimanipulasi oleh kekuasaan. Dan sudah lazim sejarah hanya memunculkan figur besar terlepas dari peran dan kiprahnya dalam kehidupan.
Kebohongan sejarah adalah kebohongan yang dipaksakan sehingga pembacanya terbodohkan secara masif. Dalam sastra kebohongan adalah proses kebebasan berkarya sehingga nir dominasi pada pembacanya.
Pembaca karya sastra pun demikian, mereka bebas menafsirkan kebohongan di depan matanya karena tidak ada paksaan saat menikmati tulisan sastra. Mereka bebas mengimajinasikan dunia rekaannya sendiri tanpa terhalang doktrin peristiwa dan waktu.
Waktu dalam sastra bermutasi menjadi kini, nanti dan kemarin secara bebas. Ia menggugah waktu yang terlewat dari pembaca untuk merekonstrusinya menjadi cerita yang "andai" dialaminya tentunya akan mengubah hidupnya hari ini. Sastra adalah tempat pelarian dari hidup yang jumud dan stagnan. Ia melahirkan cita-cita di benak setiap pembacanya.
Sastrawan berhasil meramu pengalamannya menjadi kebohongan yang bernilai dan memberikan pencerahan. Tentunya kita tidak selalu bisa mengonfirmasi apakah tokoh dan latar ataupun peristiewa dalam sastra itu benar adanya, namun nilai yang ditawarkan adalah hasil pengungkapan fakta yang mungkin terabaikan.
Bukti bahwa sastra adalah kebohongan yang bermanfaat adalah adanya penindasan kepada penulis sastra baik di era orde lama atau baru. Banyak penulis yang mendekam di penjara atau bahkan hilang nyawa hanya karena ia telah menuliskan sebuah karya sastra yang menggugah kesadaran pembaca untuk menyadari hak hak dirinya sebagai manusia.
Mochtar Lubis, Hamka, Widji Thukul dan Rendra adalah nama-nama sastrawan yang pernah menderita karena tulisannya. Mereka telah menyadarkan banyak orang untuk memahami peran asasinya sebagai manusia dan hak-haknya sebagai warga negara. Tokoh- tokoh hasil rekaan mereka telah menjadi "idol" bagi para pembacanya.