Lihat ke Halaman Asli

Disleksiaku

Diperbarui: 26 Juni 2015   10:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Sebenarnya menurut saya tidak ada yang jangal dalam tulisan-tulisan saya. Baik saat saya masih sekolah atau kuliah. Memang tidak ada yang sampai pinjam catatan saya untuk di foto kopi, karena masih banyak mahasiswai yang rajin-rajin nulis bahan kuliah dan tulisannya bagus-bagus. Misalnya tulisan saya bagus, tentu teman-teman memilih untuk meminjam kepada para mahasiswi-mahasiswi itu. Tapi itu tadi, saya yakin tidak ada yang salah dalam tulisan-tulisan saya. Sampai suatu ketika saya telah memasuki dunia kerja di sebuah departemen hebat. Kerja kantoran mengharuskan saya untuk sering-sering mengkonsep surat-suart baik internal maupun eksternal. Saat irulah ketahuan. Selalu saja atasan saya mencorat-coret di beberapa kata. Koreksi yang sebenarnya menurut saya tidak begitu prinsipil. Namun koreksi itu tetap harus dilakukan, karena surat itu bukan surat pribadi saya namun mewakili kantor. Ternyata saya sering membuat kesalahan ejaan dalam menulis dan kesalahan itu telah bertahun-tahun saya jalani tanpa saya sadari.

Saat saya masih duduk di Sekolah Dasar, buku yang dipakai untuk pelajaran membaca adalah buku terbitan Balai Pustaka. Saya tidak ingat persis apa judulnya tapi buku itu sangat terkenal dengan sebutan buku ‘INI BUDI”. Jika anda sebaya dengan saya pasti tahu buku apa yang saya maksud. Sepertinya dari buku ini dapat diusut jejak-jejak kesalahan saya dalam menulis dan mengeja. Buku itu berbentuk persegi memanjang, tulisannya hanya beberapa baris dengan gambar sangat besar disebelaknya. Jika ada gambar Budi maka tulisan di sampingnya adalah “ini budi” dari yang ditulis rengang, agak rengan, kemudian normal. Maksudnya agar anak-anak mengeja dulu sebelum membacanya. Jika gambarnya seorang ibu maka tulisannya “ini ibu budi”, begitu seterusnya. Buku itu isinya tentang Budi, Wati kakaknya Budi, Iwan adiknya Budi, Ibu Budi, dan Bapak Budi. Isinya juga tidak jauh-jauh dari keseharian, misalnya ibu di dapur, bapak ke kantor, Budi dan Wati pergi ke sekolah. Iwan bermain karena belum sekolah.

Buku itu hanya mempunyai sedikit tulisan. Mungkin maksud pembuat buku adalah untuk memudahkan anak-anak yang baru masuk sekolah agar mudah dalam mengeja dan membacanya. Tapi menurut saya itulah awal mulainya saya tidak bisa mengeja dengan benar. Begitu melihat gambarnya saya langsung bisa menebak apa tulisan di sampingnya. Memang hanya menebak bukan membacanya. Waktu itu saya melihat tulisan sebagai gambar, jadi jika tergambar “budi” dibaca “budi”. Saya perlu waktu agak lama untuk bisa mengeja dan menghafal abjad, seingat saya sepertinya saya bisa membaca terlebih dahulu baru hafal abjad. Hal ini ketahuan ketika saya diminta paman saya untuk membacakan judul berita di sebuah koran. Ternyata saya kesulitan karena tulisan kata-kata itu tidak ada di buku ‘ini budi’ yang sudah saya hafal.

Biasanya proses belajar membaca dilakukan dengan cara ibu guru saya membacakan buku ini budi pada halaman tertentu, kemudian kami semua menirukan. Sangat simpel. Proses ini cepat melekat dalam pikiran saya, sehingga saya sepertinya bisa membaca. Jika tiba giliran saya harus membaca maka tinggal saya lihat gambar apa disebelahnya maka saya bisa bunyikan semua tulisan di sampingnya. Di rumah juga begitu, jika ibu saya minta saya belajar membaca maka tinggal minta halaman berapa dan lihat gambarnya maka saya sudah bisa membunyikan tulisan-tulisan di sampingnya. Bahkan dengan sengaja saya taruh buku “ini budi” tersebut di atas meja sedangkan saya membunyikannya di bawah meja.

Mungkin karena apa yang saya bunyikan perseis seperti sebagaimana harusnya kata-kata itu di baca maka ibu saya tidak mempermasalahnkannya. La wong sudah bisa, toh bunyinya sudah benar. Akhirnya praktis di kelas satu dan kelas dua saya tidak begitu peduli dengan ejaan dan bacaan. Hal ini masih dimungkinkan saat itu dimana pelajaran masih sangat sederhana, hanya membaca, berhitung, menyanyi, dan mengambar. Saya merasa benar-benar sekolah dan belajar sejak kelas tiga. Sebelumnya sekolah yang saya ingat hanyalah bermain baik di sekolah, sungai atau sawah belakang sekolah.

Ketika akhirnya harus membaca buku lebih banyak, saya harus belajar dengan baik dan benar. Untuk itu saya belajar mengeja dan menulis. Akan tetapi karena sebelumnya proses membaca saya tidak dimulai dengan mengeja tapi melihat tulisan sebagai gambar, ternyata hal tersebut berlanjut. Saya lebih dominan melihat tulisan sebagai gambar dari pada mengejanya. Di kemudian hari baru saya ketahui bahwa salah satu teknik membaca cepat adalah dengan melihat kata per kata, bukan huruf per huruf. Walaupun terlambat bisa membaca dengan benar, tapi saya bisa membaca lebih cepat dan lebih banyak buku dibanding teman-teman yang memulai proses belajar membaca dengan mengeja.

Sejak bisa membaca itulah, membaca menjadi keseharian saya. Tapi ada satu hal yang terlewatkan. Menulis. Karena tidak terbiasa mengeja, tulisan saya sering salah ejaannya. Hal iinpun ketahuan setelah saya lulus sebagai sarjana hukum dan bekerja kantoran seperti saya ceritakan di awal tulisan ini.

Banyak orang yang mengidentikkan sarjana hukum dengan ketepatan dalam surat menyurat. Terkadang saya berpikir dulu ketika kuliah hampir semua ujina dilakukan secara. Apakah dalam setiap ujian tulisan jawaban saya benar atau tidak. Yang saya ingat, saya selalu menjawab satu soal dengan tulisan yang panjang. Tidak jarang saya minta tambah lembar jawaban dalam ujian semester. Mungkin karena banyaknya jawaban itu sehingga sang dosen juga tidak meneliti dengan cermat ejaan semua jawaban saya. Tapi cukup dicari ide pokok dari jawaban saya. Selain itu tulisan saya juga tidak bagus. Masih untung jika masih ada orang lain yang bisa membaca, karena saya sendiri sering lupa apa bacaan tulisan saya. Tetapi tidak ada mata kuliah yang saya lewatkan, semua lulus. Jika ada yang saya ulang itu bukan karena tidak lulus tapi perbaikan yang mendapat nilai C.

Karena tidak pernah ada yang mempermasalahkan ejaan tulisan saya, maka saya juga merasa tidak ada masalah dengan tulisan saya. Kecuali seperti dalam awal tulisan ini. Sering kali konsep surat saya dicoret atasan karena salah ejaan. Setelah beberapa tahun terulang dengan kesalahan yang sama, akhirnya saya bisa memetakan kesalahan-keslahan saya. Biasanya dalam kata-kata yang mengunakan ‘ng’ yang berakhiran dengan huruf t, b, p, atau yang seharusnya ‘k’ atau ‘h’. Ketika seringnya saya salah dalam mengeja ketahuan, saya mulai mencari-cari dari artikel-artikel di internet maupun di buku-buku. Ternyata yang saya alami disebut dengan dislektika.

Saat masalah itu diketahui saya sudah mempunyai kebiasaan menulis. Boleh saya sedikit narsis, dalam intranet di institusi tempat saya bekerja disediakan wahana untuk menampung tulisan-tulisan pegawainya. Sudah banyak tulisan saya dimuat dalam wahana tersebut. bahkan saya sepertinya sudah mempunyai pengemar. Selalu ada yang menunggu tulisan-tulisan saya muncul (ingatkan bahwa di depan tadi saya sudah ijin untuk sedikit narsis). Hal ini makin memacu keinginan saya untuk menulis. Akan tetapi bukan bertarti bahwa saya sudah tidak disletika lagi. Masih tetep. Setiap ada tulisan saya yang di up load, selalu saja ada yang memberi tahu saya baik itu lewat email atau sms bahwa ada salah ejaan dalam tulisan saya. Tapi mungkin karena isinya maka sepertinya pembaca tidak banyak yang mempermasalahkan kesalahan ejaan tulisan saya.

Untuk mengatasi dislektika tersebut saya kadang harus menggoreksi tulisan saya empat sampai lima kali sebelum di publikasikan. Cara menggoreksinya dengan melihat kata-kata yang sering saya tulis dengan ejaan yang salah kemudian saya bandingkan dengan tulisan yang sudah lulus sensor atau dibandingkan dengan tulisan-tulisan di internet.

Kesalahan tersebut tidak membuat saya berhenti menulis. Saya terus saja menulis dan menulis, sampai akhirnya seorang teman menganjurkan agar tulisan saya diterbitkan dalam sebuah buku. Menuruti anjuran teman tadi akhirnya saya tawarkan kumpulan tulisan saya ke beberapa penerbit dan ditolak. Saat saya sudah berniat untuk menyerah saya ketemu seorang teman yang menyarankan agar menawarkan tulisan ke bukan penerbit biasa di Jogja yaitu Leutika. Tanpa harapan yang muluh-muluh saya kirim naskah saya. Di luar dugaan naskah kumpulan tulisan saya diterbitkan oleh Leutika dengan judul “Jaman Penjor”.

Disletika tidak menjadikan saya berhenti menulis justru sebaliknya. Karena akhirnya saya ketahui bahwa ternyata untuk diterbitkan menjadi sebuah buku setiap penerbit mempunyai editor ahli yang akan membetulkan kesalahan-kesalahan ejaan tulisan kita. Anda boleh percaya atau tidak saat ini jika kantor tempat saya bekerja membuat modul atau kegiatan yang berhubungan dengan tulis-menulis saya sering diikut sertakan. Banyak teman yang tidak percaya bahwa saya menderita disleksia. Jadi jika anda atau anak-anak anda menderita disleksia, jangan menyerah dan malu untuk menulis. Isi dan ide saya rasa lebih penting dari pada ejaan. Jika ide kita segar dan mencerahkan pembaca akan memaafkannya. Bahkan pembaca yang baik ahti akan memberi koreksi. Artinya jika anda tidak menderita dislektika seperti saya, anda harus lebih produktif dalam menulis.

Saya percaya jika kita ingin hidup seribu tahun lagi, maka menulislah caranya. Raga kita tidak akan mampu untuk hidup seribu tahun, tapi ide dan pikiran kita yang tertulis dalam buku akan mencapai umur ribuan tahun. Ilmu pengetahuan ibarat seekor kuda liar dan menulis adalah tali kekangnya. Jika kita mempunyai berpuluh-puluh pengetahuan artinya kita mempunyai berpuluh-puluh kuda liar yang mempunyai energi sangat besar. Rasanya sulit memanfaatkan berpulih kuda liar jika tidak ada tali kekangnya.

Mari terus menulis jika kita ingin hidup seribu tahun lagi. Jika ada orang yang membaca ide kita dan tercerahkan, maka itu tandanya ilmu kita bermanfaat. Hanya ilmu yang bermanfaat yang akan ikut kita di alam baka selain amal dan do’a anak sholeh. Anak-anak kita hanya akan bertahan beberapa puluh tahun setelah kita meninggal sebelum akhirnya ia juga akan meninggal juga. Akan tetapi ilmu-ilmu kita yang ditulis akan bertahan lebih lama.

(tulisan ini sudah saya edit berkali-kali akan tetapi jika masih ada salah ejaan mudah-mudahan anda memaafkan saya).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline