Lihat ke Halaman Asli

Gusblero Free

Penulis Freelance

BELAJAR DARI ARJUNA

Diperbarui: 23 Juni 2015   21:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Perang Baratayudha usai, Pandawa menang. Namun diantara panji-panji Astina yang tetap berkibar hari itu tak terdengar sedikit pun sorak-sorai. Astina menangis, seluruh anak-anak Pandawa tumpas, tak satu pun anak-anak Pandawa tersisa.

Diriwayatkan setelah perang usai, mereka mengadakan sebuah pertemuan yang membahas tentang masa depan negara Astina. Kresna yang dipercaya sebagai pemimpin dari pertemuan tersebut menyatakan bahwa kematian dari anak-anak pandawa adalah sebuah kodrat yang memang harus terjadi.


Pada saat itu, Kresna sempat menceritakan sebuah peristiwa yang dialami Arjuna. Setelah berhasil membunuh Prabu Niwatakawaca, raja raksasa dari Manimantaka yang menjadi musuh para dewa. Ketika itu, sebagai imbalan Arjuna didatangi oleh Dewa Bethara Guru dan Narada, dan ditawari oleh kedua dewa tersebut untuk meminta apa saja dan akan dikabulkan semuanya. Namun Arjuna hanya meminta 3 hal :

1. Pandawa menang dalam Perang Baratayudha.

2. Pandawa utuh lima, tidak ada yang gugur dalam perang itu.

3. Kerajaan Astina pura kembali ke tangan Pendawa.


Pada saat ketiga permintaan tersebut diutarakan oleh Arjuna, kedua dewa tersebut masih menawarkan apakah masih ada keinginan lain dari Arjuna sampai 3 kali berulang-ulang. Namun Arjuna menjawab "TIDAK, CUKUP 3 ITU SAJA" dan kemudian kembalilah kedua dewa tersebut ke kahyangan.


Pada saat itulah, Semar yang setia menemani Arjuna bertapa menjerit menangis dan bertanya kenapa Arjuna tidak meminta agar anak-anak Pandawa selamat dan utuh setelah perang Baratayudha, padahal kesempatan meminta selalu ditawarkan oleh kedua dewa tadi. Akan tetapi Arjuna ganti bertanya kepada semar, "Apakah semua anak-anak Pandawa kelak akan gugur di medan perang Baratayudha?" Sontak Semarpun semakin menangis menjerit karena Semar tahu bahwa Arjuna baru saja bertapa dan segala ucapannya pasti akan terwujud.

Setelah Kresna bercerita tentang peristiwa tersebut, maka Pandawa Lima pun sadar tentang kodrat kehidupan yang pasti terjadi sebagaimana yang dimaksud oleh Kresna.


Untunglah, cucu Arjuna, yaitu Parikesit yang lahir menjelang Baratayuda usai, selamat. Maka setelah itu, tahta dari kerajaan Astina pun diserahkan kepada bayi kecil cucu dari Arjuna yang bernama Parikesit dan tamatlah kisah keluhuran dan kedigdayaan Pandawa Lima hanya karena mengentengkan hal sepele seperti mempersiapkan pengurus secara sistematis dan hanya mengandalkan kekuatan kelima bersaudara tadi.


Dan inilah pelajaran sesungguhnya dari kisah Pandawa untuk momen Pilpres 2014 ini. Entah Prabowo entah Jokowi, siapapun dari mereka yang merasa paling pantas menjadi Arjuna, menjadi lelananging jagad, sudah seharusnya juga memperhatikan bagaimana kemudian nasib anak-anak mereka. Bukan semata anak biologis, namun juga anak-anak yang lahir dari rahim kesamaan ideologis: para konstituen, Tim Pendukung, merekalah para sekutu dalam pemenangan yang paling nyata. Mereka yang saat situasi segenting apapun selalu ada, dan bukan hanya sekadar menemani, namun siap berperang untuk memenangkan perebutan kekuasaan. Mereka tak boleh dilupakan.


Ini penting, sebelum alam memutuskan sendiri hukum kodratnya, bahwa kekuatan kekuasaan yang kemudian mereka genggam itu sesungguhnya murni berasal dari kepercayaan rakyat. Maka ketika kekuatan utama yang bernama kepercayaan itu runtuh, tinggal menunggu hitungan masa untuk segalanya menjadi musnah sama sekali tak tersisa.

Salam Indonesia!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline