KERJA KERJA DAN KERJA. Selepas pengumuman kabinet yang disampaikan Presiden Jokowi di halaman Istana Negara (26/10/2014) ada yang membuat saya terkesima. Ini bukan soal penamaan kabinet (yang tadinya saya pikir akan dinamakan kabinet Trisakti, sesuai tema pada saat kampanye), namun ternyata kemudian lebih simpel dinamai Kabinet Kerja.
Ini sih bukan sesuatu yang surprise, walau pun perlu juga diacungi jempol. Sejatinya nama Kabinet Kerja bukan nama yang baru, nama ini pernah digunakan oleh Presiden Soekarno sebagai nama kabinet yaitu Kabinet Kerja I (10 Juli 1959-15 Februari 1960, 33 personel), Kabinet Kerja II (10 Februari 1960-6 Maret 1962, 40 personel), Kabinet Kerja III (6 Maret 1962-13 November 1963, 60 personel), Kabinet Kerja IV (13 November 1963-27 Agustus 1964, 66 personel).
Jokowi nampaknya tengah mencoba merekonstruksi ulang Indonesia di seberang kemerdekaan, seperti yang dulu pernah disampaikan Presiden Soekarno, dalam update lanskap kekinian. Ini akan menarik.
THE LEADER AND THE MANAGER. Membicarakan Jokowi itu tidak bisa tidak kita harus mengusung patron leadership, atau dalam bahasa sederhananya keteladanan. Apapun yang selama ini dilakukan Jokowi, dan kemudian menjadi bahasan ramai, jelas bukan cuma persoalan bagaimana menata sebuah persoalan publik dan lalu mengagendakannya sebagai tugas dalam masa jabatannya, namun lebih dari itu.
Jokowi tahu ada banyak persoalan yang ia hadapi, akan tetapi dia tidak sok tahu lalu bersikap keras kepala menanganinya sendiri. Jalan yang ia tempuh dengan blusukan, dengan sidak, dengan transparansi membuka seluruh pengelolaan kebijakannya kepada publik adalah jalan tengah yang sangat jitu dilakukan. Dengan hal semacam itu, masyarakat merasa ikut dilibatkan dalam apapun renstra yang ingin ia lakukan. Hal yang demikian jelas menunjukkan bahwa Jokowi bukanlah cuma seorang manajer dari sebuah kedinasan, namun ia adalah leader, yang bisa bersikap mendahului atau memberikan eksyen lebih konkrit terhadap bawahannya.
Diskursus tentang perbedaan pemimpin (leader) dan manajer memang tidak ada habisnya. Salah satu sebabnya adalah satu peran tersebut tidak mungkin dilakukan tanpa keberadaan peran lain. Pemimpin yang tidak bisa mengelola (to manage) akan gagal dalam kepemimpinannya, sementara manajer yang tidak bisa memimpin (to lead) akan gagal dalam aktivitas manajerialnya. Namun sesungguhnya pemimpin (leader) dan manajer merupakan dua konsep yang berbeda dan terdapat perbedaan diantara keduanya.
Pemimpin (leader) adalah seorang pemimpin yang mempunyai sifat-sifat kepemimpinan personality atau authority(berwibawa). Ia disegani dan berwibawa terhadap bawahan atau pengikutnya karena kecakapan dan kemampuan serta didukung perilakunnya yang baik. Pemimpin (leader) dapat memimpin organisasi formal maupun informal, dan menjadi panutan bagi bawahan (pengikut)nya. Biasanya tipe kepemimpinannya adalah “partisipatif leader” dan falsafah kepemimpinannya adalah “pimpinan untuk bawahan”.
Sedangkan manajer juga merupakan seorang pemimpin, yang dalam praktek kepemimpinannya hanya berdasarkan “kekuasaan atau authority formalnya” saja. Bawahan atau karyawan atau staf menuruti perintah-perintahnya karena takut dikenakan hukuman oleh manajer tersebut. Manajer biasanya hanya dapat memimpin organisasi formal saja dan tipe kepemimpinannya ialah “autocratis leader” dengan falsafahnya ialah bahwa “bawahan adalah untuk pemimpin”.
WAOW INI MEMANG BARU. Saya pikir memang hanya Jokowi yang akan berani melakukan ini: mengangkat menteri pada seseorang yang hanya mengantongi ijazah SMP.
Bahwa kesuksesan seseorang tidaklah paralel dengan ijazah yang dimilikinya, itu jelas hampir mirip dongeng sebelum tidur untuk kondisi saat ini. Namun fakta bahwa Jokowi benar-benar mengangkat seorang ibu 3 anak berusia 49 tahun yang bernama Susi Pudjiastuti menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, adalah sesuatu yang sangat fenomenal dalam terminologi pejabat karier di negeri ini.
Banyak orang mungkin akan tertawa memandang keputusan ini, banyak pengamat mungkin juga akan berpendapat bahwa keberuntungan seseorang tidaklah cukup cakap untuk kemudian mendudukannya dalam ukuran kursi seorang menteri. Akan halnya yang demikian, simak dahulu curiculum vitae ini.
Susi Pudjiastuti (lebih dikenal dengan panggilan Susi Air), ialah orang pertama yang membawa bantuan saat terjadi tsunami Aceh dengan pesawat jet pribadinya. Perempuan yang pada awalnya hanya mengawali bisnis sebagai pengepul ikan di Pangandaran itu saat ini memang benar-benar mempunyai 50 lebih pesawat jet yang dimilikinya secara pribadi. Nah.
Selepas tidak lagi bersekolah, dengan modal 750 ribu rupiah hasil menjual perhiasan, pada 1983 Susi mengawali profesi sebagai pengepul ikan di Pangandaran. Bisnisnya terus berkembang, dan pada 1996 Susi mendirikan pabrik pengolahan ikan PT ASI Pudjiastuti Marine Product dengan produk unggulan berupa lobster dengan merek “Susi Brand”. Ketika bisnis pengolahan ikannya meluas dengan pasar hingga ke Asia dan Amerika, Susi memerlukan sarana transportasi udara yang dapat dengan cepat mengangkut lobster, ikan, dan hasil laut lain kepada pembeli dalam keadaan masih segar.
Didukung suaminya, Christian von Strombeck, seorang Jerman yang lama bekerja sebagai mekanik pesawat dan pilot di Indonesia, pada 2004 Susi memutuskan membeli seharga Rp20 Miliar menggunakan pinjaman bank.
Melalui PT ASI Pudjiastuti Aviation yang ia dirikan kemudian, satu-satunya pesawat yang ia miliki itu ia gunakan untuk mengangkut lobster dan ikan segar tangkapan nelayan di berbagai pantai di Indonesia ke pasar Jakarta dan Jepang. Dua hari setelah Tsunami di Aceh, Cessna Susi adalah pesawat pertama yang berhasil mencapai lokasi bencana untuk mendistribusikan bantuan kepada para korban yang berada di daerah terisolasi. Peristiwa itu mengubah arah bisnis Susi. Di saat bisnis perikanan mulai merosot, Susi menyewakan pesawatnya itu yang semula digunakan untuk mengangkut hasil laut untuk misi kemanusiaan.
Atas segala dedikasinya, perempuan yang lahir di Pangandaran, 15 Januari 1965 ini menerima berbagai penghargaan pribadi, seperti Pelopor Wisata dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Barat dan “Young Entrepreneur of the Year dari Ernst and Young Indonesia” pada 2005. Selain itu, ia juga pernah menerima penghargaan “Primaniyarta Award for Best Small & Medium Enterprise Exporter” dari Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono, dan sederet penghargaan lainnya.
Ini adalah sesuatu yang waow! Gampang bagi orang bersilat lidah dengan dalih-dalih filsafat untuk memberikan ‘wisdom’ pada manusia lainnya. Akan tetapi kebanyakan kemudian orang lari, lalu bersembunyi dalam gengsinya sendiri ketika ia dituntut untuk membuktikan ucapannya. Dalam penyusunan kabinet yang baru ini, kita menangkap Jokowi dalam sosoknya yang paling nyata, ia yang tidak perduli dengan segala macam gelar yang cuma bersifat akademik, ia tidak geming pada strata gelar sekadar pakar, ia lebih berani mempercayakan pengelolaan kebijakan maritim pada sesorang yang betul-betul telah ‘nggetih’ bergulat bertempur dan lalu berhasil menunjukkan kemampuannya.
Barangkali itulah tesis paling gamblang untuk menterjemahkan fatsun Kerja, Kerja, dan Kerja dalam ‘Garis Besar Haluan Negara’ kabinet yang dipimpinnya saat ini. Ting....!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H