Lihat ke Halaman Asli

Gerakan Sekolah Konservasi

Diperbarui: 24 Juni 2015   15:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Istilah konservasi mungkin sudah sangat populer di kalangan masyarakat kita, akan tetapi pada kenyataannya konservasi sampai saat ini relatif hanya menjadi jargon yang masih membutuhkan implementasi yang lebih konkrit. Berbagai definisi muncul dari istilah konservasi, namun salah satu definisi yang mungkin bisa mewakili berbagai definisi tersebut adalah apa yang dikemukakan oleh Theodore Roosevelt (1902), orang Amerika pertama yang mengemukakan tentang konsep konservasi yaitu bahwa konservasi berasal dari kata Conservation yang terdiri atas kata con (together/bersama) dan servare (keep/save/memelihara). Apabila diterjemahkan secara istilah memiliki pengertian mengenai upaya memelihara apa yang kita punya (keep/save what you have), namun secara bijaksana (wise use). Konservasi dalam pengertian sekarang, sering diterjemahkan sebagai the wise use of nature resource (pemanfaatan sumberdaya alam secara bijaksana).

Apabila dikaitkan dengan tema peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia Tahun 2010 ini “Many Species. One Planet. One Futureatau terjemah bebasnya (Banyak Species, Satu Planet, Satu Masa Depan) yang memberikan gambaran kepada kita akan pentingnya mempertahankan keanekaragaman hayati maka upaya konservasi perlu mendapatkan prioritas pada roda pembangunan negeri ini.

Di Indonesia, kegiatan konservasi seharusnya dilaksanakan secara bersama oleh pemerintah dan masyarakat, mencakup masyarakat umum, swasta, lembaga swadaya masyarakat, dunia pendidikan, serta pihak-pihak lainnya.

Salah sektor yang sangat potensial menjadi media dalam pelaksanaan konservasi alam adalah dunia pendidikan atau lebih spesifiknya sekolah. Hal ini dikarenakan sekolah adalah wahana pembelajaran yang mampu membawa implikasi  positif kepada ruang lingkup yang lebih luas dalam hal ini masyarakat di sekitar siswa dan guru. Upaya pembentukan sekolah yang berwawasan lingkungan merupakan solusi konkrit untuk menjawab permasalahan konservasi selama ini yaitu pemahaman dan perilaku manusia yang masih melihat sumberdaya alam sebagai sumber kebutuhan yang harus dimanfaatkan sebesar-besarnya dan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Pemahaman ini harus dihapus dengan pemanfaatan sumber daya alam yang berkesinambungan. Paradigma pemanfaatan sumber daya alam yang berkesinambungan merupakan makna sebenarnya dari kegiatan konservasi sumber daya alam.

Ada beberapa hal yang menjadi prinsip dasar dalam upaya menciptakan konsep sekolah konservasi, diantaranya : Prinsip penghematan energi (energy saving), dalam hal ini lebih spesifik kepada penggunaan energi listrik yang kebanyakan di negara kita masih menggunakan sumber yang memanfaatkan bahan bakar fosil. Bahan bakar fosil sebagaimana kita ketahui adalah sumber daya yang terbatas. Konsep penghematan listrik bisa dimulai dari desain bangunan sekolah dengan pencahayaan dan ventilasi yang baik sehingga meminimalisir penggunaan lampu dan pendingin ruangan pada waktu siang hari.

Prinsip kedua adalah pengelolaan sampah (waste management), yang dapat dilakukan dengan pemilahan sampah dengan penyedian paling tidak dua jenis tempat sampah yaitu organik dan anorganik dan juga pengelolaan sampah organik menjadi kompos untuk skala sekolah. Pada kedua jenis pengelolaan sampah tersebut para siswa diharapkan berpartisipasi aktif didalamnya.

Prinsip ketiga adalah dengan meningkatkan  gerakan gemar menanam bagi para siswa sehingga akan menambah luasan ruang terbuka hijau serta sebagai upaya konservasi air tanah dari pohon yang ditanam. Dari pengalaman yang sudah ada gerakan menanam ini akan lebih menarik apabila dikemas dalam konsep kompetisi antar kelas sehingga lebih menambah semangat para siswa.

Prinsip berikutnya adalah dengan meningkatkan luas resapan air yang dapat dicapai dengan strategi pembuatan sumur resapan juga pembuatan lubang resapan biopori. Lubang Resapan Biopori (LRB) adalah lubang yang dibuat secara tegak lurus (vertikal) kedalam tanah, dengan diameter 10 -30 cm dan kedalaman 100 cm, atau tidak melebihi muka air tanah dangkal. Lubang tersebut kemudian diisi sampah organik sebagai sumber makanan fauna tanah dan akar tanaman yang mampu membuat biopori atau liang (terowongan – terongan kecil) dalam tanah. Jadi selain untuk meningkatkan resapan air, sampah organik pada Lubang Resapan Biopori dapat dimanfaatkan sebagai kompos. Konsep Lubang Resapan Biopori juga sedang gencar disosialisasikan oleh Kementrian Lingkungan Hidup.

Konsep sekolah konservasi ini nantinya secara legal formal telah tercakup dalam salah satu program dari Kementerian Lingkungan Hidup yaitu program adiwiyata. Program adiwiyata bertujuan menciptakan kondisi yang baik bagi sekolah untuk menjadi tempat pembelajaran dan penyadaran warga sekolah, sehingga dikemudian hari warga sekolah tersebut dapat turut bertanggungjawab dalam upaya-upaya penyelamatan lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan. Program adiwiyata ini dikompetisikan sampai skala nasional dengan indikator dan kriteria yang telah ditetapkan. Khusus untuk Kota Blitar pada tahun 2010 ini berhasil memperolah anugerah sekolah adiwiyata tingkat nasional melalui SDK Santa Maria.

Pada akhirnya yang penting bukanlah penghargaan atau hadiah yang menjadi prioritas, tetapi upaya penanaman kepedulian terhadap lingkungan sejak dini di lingkungan sekolah sebagai upaya pelestarian lingkungan hidup dan mendukung program pembangunan berkelanjutan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline