Seorang teman mengunggah foto tengah bersepeda di akun media sosial. Selain foto dia memberi caption,"Bersepeda, biar seperti temannya." Status ini menarik. Saya menafsirkan fenomena maraknya orang bersepeda bukan semata-mata untuk aktivitas berolahraga. Sepeda bukan sekadar alat transportasi. Sepeda, di masa pandemi Covid-19, sebagai bentuk eksistensi diri. Mengapa? Ya karena orang bersepeda berubah menjadi dunia panggung. Lebih tepatnya panggung depan (front stage), dunia untuk membangun kesan di mata orang lain.
Saya jadi ingat kata-kata filsuf Descartes, "saya berpikir maka saya ada." Kata-kata Descartes ini saya kutip karena mirip dengan fenomena maraknnya orang bersepeda. Selama masa pandemi bersepeda menjadi tren. Sesuatu yang tidak disangka sebelumnya. Dugaan saya karena aktivitas berkumpul dibatasi untuk mencegah penyebaran virus Corona. Ruang orang untuk mencari hiburan juga sangat terbatas.
Tidak bebas seperti sebelumnya. Padahal orang juga butuh ruang untuk keluar dari rutinitas sehari-hari. Orang kemudian mencari alternatif hiburan baru. Ketemulah bersepeda. Seolah-olah orang disihir untuk bersepeda. Termasuk orang-orang yang selama ini tidak terbiasa bersepeda. Muncul klub-klub bersepeda, termasuk di kantor-kantor pemerintah maupun swasta.
Sebagai aktivitas untuk olahraga, fenomena ini sah-sah saja. Bernilai positif untuk meningkatkan imunitas di tengah gempuran virus yang entah kapan berakhir. Fenomena ini memang masih akan kita uji ke depan, apakah sekadar fenomena sesaat, ataukah fenomena ini akan terus berjalan. Apakah bersepeda bisa menggantikan transportasi bermotor, khususnya untuk alat transportasi jarak dekat seperti di negara-negara maju.
Meski bernilai positif, fenomena bersepeda ini bisa kita lihat dari sudut pandang lain. Bersepeda berubah sebagai sarana eksistensi diri. Orang bersepeda bukan semata-mata untuk olahraga, tapi sebagai alat untuk menunjukkan siapa diri kita di mata orang lain. Apalagi sekarang berkembang komunitas pesepeda berdasarkan kesamaan merek sepeda yang harganya puluhan juta.
Ini semakin menguatkan kesimpulan saya, bersepeda menjadi identitas prestis di masyarakat. Orang-orang yang bersepeda menganggap dirinya keren. Orang pun berbondong-bondong beli sepeda.
Akibatnya harga sepeda melangit. Ada semacam band wagon effect, atau efek ikut-ikutan perilaku konsumen membeli sepeda. Sesuatu yang bisa memicu ikut-ikutan biasanya menyangkut fenomena yang dianggap keren oleh masyarakat.
Ketidakmampuan Ekonomi
Sewaktu saya masih di sekolah di tingkat SMA di Jogja, saya menggunakan sepeda untuk aktivitas sehari-hari, termasuk ke sekolah. Saya menggunakan sepeda karena tidak ada motor. Mau naik kendaraan umum saat ke sekolah, duit sangu orang tua pas-pasan. Yang tersedia hanya sepeda lawas warisan kakak saya.
Apa boleh buat, itu yang saya pakai. Ini artinya saya menggunakan sepeda karena desakan ekonomi. Hanya segelintir teman yang menggunakan motor saat ke sekolah. Bersepeda identik dengan ketidakmampuan.
Beda dengan sekarang. Bersepeda bertransformasi menjadi dunia eksistensi. Orang bersepeda bukan karena ketiadaan motor atau mobil. Bukan karena tidak mampu. Bersepeda justru menunjukkan dunia leisure, dunia bersenang-senang kaum berpunya. Ada transformasi simbol sepeda. Dari simbol ketidakmampuan, jadi simbol kemampuan ekonomi seseorang. Meski kita juga tidak memungkiri, banyak orang bersepeda karena ketidakmampuan. Atau karena memang pilihan hidupnya, terlepas soal kemampuan ekonomi dan daya beli.