Harian Bernas, koran lokal di Jogja yang terbit sejak 1945, pada Rabu (28/2/2018) mengumumkan berhenti terbit. Mulai Maret koran legendaris ini tidak lagi menyapa pembaca. Koran berhenti terbit karena pendapatan baik dari iklan maupun sirkulasi terus turun.
Sebelumnya Harian Joglosemar, koran di Solo, juga mengumumkan tidak lagi mencetak koran sejak 1 Januari 2018. Tutupnya dua koran lokal ini makin menambah efek psikologis tentang suramnya masa depan media cetak. Setiap ada media cetak tutup, selalu saja yang disalahkan adalah pihak "ketiga", dalam hal ini adalah munculnya internet sebagai media penyebaran baru informasi.
Tapi benarkah internet adalah faktor "pembunuh" media cetak? Ini adalah pertanyaan yang sulit dijawab. Setiap orang akan punya persepsi sendiri tentang pertanyaan ini. Yang pasti matinya sebuah perusahaan dan industri selalu ada dua variabel penting.
Pertama, faktor internal di organisasi perusahaan itu, menyangkut tingkat kesehatan manajamen internal. Kedua, faktor eksternal, berupa perubahan lingkungan bisnis akibat temuan teknologi baru. Teknologi itu kemudian memengaruhi perubahan perilaku konsumen. Dua faktor itu yang memengaruhi daya tahan perusahaan koran di tengah perubahan yang dahsyat ini.
Tak bisa dimungkiri internet memang menjadi tantangan baru bagi industri cetak. Banyak pimpinan perusahaan media cetak yang puyeng memikirkan kondisi ini. Tidak hanya koran kena imbas, tapi juga majalah, dan bahkan industri buku. Teknologi internet menjadi tantangan karena bisa menggantikan kertas sebagai media penyampaian informasi kepada publik secara lebih cepat, murah dengan jangkauan yang lebih luas.
Keunggulan media massa berbasis internet ini yang kemudian menjadi idola baru masyarakat untuk mendapatkan informasi. Terlebih lagi munculnya media sosial yang makin meminggirkan posisi media cetak pada zaman "now." Generasi-generasi baru yang sering disebut kaum milenial disebut-sebut ogah membaca koran (meskipun asumsi ini tidak selalu benar).
Kecemasan
Setiap temuan teknologi baru memang selalu memantik kecemasan terhadap eksistensi tradisi maupun teknologi yang sudah ada. Temuan baru itu dikhawatirkan akan menggantikan hal-hal yang sudah mentradisi. Apalagi kalau temuan baru itu diadopsi untuk menggantikan teknologi yang sudah digunakan.
Industri cetak marak setelah temuan mesin cetak di Eropa oleh Johann Gutenberg pada 1450 pun sempat membuat orang khawatir. Mesin cetak yang dengan mudah mencetak media massa dan buku secara massal dikhawatirkan bakal menggantikan tradisi lisan yang sudah mengakar sejak manusia diciptakan Tuhan.
Buku Sejarah Sosial Media Dari Gutenberg Sampai Internet karya Asa Briggs & Peter Burke (2006) mengungkapkan hal itu. Meskipun, dalam buku itu, juga mengungkapkan perdebatan bahwa sesungguhnya industri cetak takkan menghilangkan tradisi lisan, melainkan akan menjadi pelengkap tradisi lisan. Dan faktanya memang begitu. Tradisi lisan takkan hilang meski tradisi cetak meluas. Keduanya bisa berjalan beriringan.
Karena itu kecemasan teknologi internet akan mematikan industri pers cetak semestinya tak perlu disikapi secara berlebihan. Serbuan teknologi internet memang harus diakui dalam banyak hal mengancam praktek-praktek bisnis media cetak. Seperti internet sebagai media baru penyebaran informasi dan media baru periklanan. Iklan selama ini menjadi nyawa penting bagi industri media cetak. Sementara pasang iklan di media digital secara umum jauh lebih murah ketimbang media cetak.