Lihat ke Halaman Asli

Ketikamenulis Menjadi Hiburan Pribadi

Diperbarui: 8 Juni 2017   14:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

 Lelah ! penat menghantuiku saat ini. Ketika baru saja aku selesai dari kelas X AP 1 dan kini harus mengajar kembali materi yang hampir sama di kelas X AK2. Akhirnya ku buka laptop mungil ini dan kucurahkan apa-apa saja yang mengganjal fikiranku terkait dengan keinginan melebarkan sayap ke cakrawala yang lebih luas.

Menulis ! yah, itulah salah satu cita-cita lama yang selalu terjegal oleh minimnya waktu dan sibuknya aktivitasku sebagai seorang guru. Menumpuknya administrasi guru seakan menjadi tembok raksasa yang menghambat cita-cita menjadi nyata.

Berbagai event menarik dari berbagai ikatan guru maupun ikatan menulis kadang hanya berlalu begitu saja. Aku haus, haus akan peningkatan kemampuan menulis yang bagiku menjadi sebuah hiburan kecil di tengah kesibukan membosankan selama ini. Betapa tidak, menjadi seorang wanita karir sekaligus ibu rumah tangga bukanlah perkara mudah. Ada hal yang kadang terlewat dalam fase kehidupanku yakni fase menghibur diri sendiri alias "me time".

Me time bagiku adalah menulis di sebuah tempat yang sunyi, dimana hanya ada diriku dan laptop yang menemani. Tapi mana mungkin? Ibu rumah tangga adalah pelayan bagi suami dan anak-anak. Profesi guru adalah pelayan bagi anak-anak bangsa dan menjadi seorang pemikir adalah keinginan untuk mengembangkan pemikiran ini jauh melebihi yang ada sekarang.

Mungkikah aku yang sudah setua ini masih bisa berfikir cepat? berfikir ilmiah dan berfikir dunia tanpa batas seperti era yang terjadi saat ini? Aku masih berfikir mungkin. Namun kadang border agama dan keterbatasan fisik lagi-lagi menjadi bumerang manakala aku ingin maju.

Terkadang wanita ditakdirkan harus berada di bawah pria.  O, ya? Masihkah hal itu berlaku? Lalu jika aku ragu, bukankah dogma agama yang selalu mengatakan itu? Ternyata pemikiran negara maju masih melekat di kepalaku manakala "kesetaraan gender" menjadi sebuah keinginan yang ingin sekali aku implementasikan dalam keluarga.

Bisakah suamiku memahami bahwasanya kemarahanku selama ini terkadang muncul salahsatunya karena ketidakadilan fungsi-fungsi kerja teknis dalam rumah tangga?

Aku terkadang merasa bersalah, tapi terkadang merasa bersyukur memiliki suami yang tidak terlalu berfikiran kolot. Kami masih sama-sama idealis. Kami terkadang egois dengan kenyamanan diri kami masing-masing. Namun karena cinta kami terhadap anak-anak, kadang kami harus menunjukkan bahwa kami berdua sudah sama-sama dewasa.

Oh Tuhan, sungguh bersyukur hidup sebagai manusia yang segala pemikirannya tidak terlalu melenceng dari panduan hidup yang telah Engkau gariskan. Apapun namanya konsep Tuhan, aku yakin jika kita mengambil pesan-pesan baik di dalamnya maka hidup kita akan bahagia.

Aku merasa bahagia sebagai seorang muslim, dan aku yakin banyak diantara mereka yang juga bahagia sebagai kristiani, sebagai budgist, sebagai penganut-penganut ajaran tertentu, meskipun aku yakni bahwa Islam-lah yang terbaik. Pasti mereka juga mengklaim bahwa pilihan mereka yang terbaik, tapi sudahlah " Lakum Dinukum Waliyadiin".

Aku berada di tengah-tengah siswaku saat ini. Manakala mereka sedang berdiskusi kelompok, aku bergumul dengan pertanyaan-pertanyaan di dalam benakku hanya untuk sekedar bertanya " kapan kemampuan menulisku akan berkembang?"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline