Lihat ke Halaman Asli

Syabar Suwardiman

Bekerjalah dengan sepenuh hatimu

PJJ dan Kasus Bunuh Diri Pelajar, Sebuah Tinjauan Sosiologis dan Keagamaan

Diperbarui: 4 November 2020   15:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Pelajar Bunuh Diri (https://www.pmjnews.com)

Setidaknya menurut laporan yang diterima KPAI ada tiga  pelajar yang meninggal selama masa pelaksanaan PJJ.  Dugaan sementara karena berat mengerjakan tugas selama PJJ.  Dari ketiga kasus itu, dua kasus adalah bunuh diri.  Satu kasus untuk tingkat sekolah lanjutan atas, satu lagi setingkat sekolah lanjutan pertama.  Sementara satu kasus karena kelalaian orang tua ketika anaknya yang di sekolah dasar susah untuk mengikuti PJJ, sehingga timbul kekerasan yang menimpa anak sampai meninggal dunia.

Benarkah PJJ menimbulkan tekanan yang berat sehingga anak mengambil jalan pintas untuk bunuh diri?

Dalam tulisan saya “Menakar Masalah Pembelajaran di Masa Pandemi Covid 19” yang dimuat Kompasiana 19 Agustus 2020, saya menyampaikan ada tiga masalah utama selama pelaksanaan PJJ.  Pertama adalah kapasitas orang tua, yang tidak semuanya mampu menjadi guru, kedua daya dukung jaringan internet, ketiga kapasitas guru yang tidak semuanya menguasai teknologi informasi.  Ketiganya bertemu pada satu muara yaitu: anak. 

Dari cerita anak saya saat di SMA, jangankan di masa pandemi, di masa normal saja banyak anak yang suka menunda mengerjakan tugas sehingga akhirnya tugas menumpuk.  Mereka terbiasa sistem kebut semalam atau mereka meminjam tugas punya temannya. 

Di masa pandemi, sikap menunda mengerjakan tugas akan menjadi fatal.  Tanpa pengawasan dan yang mengingatkan, menyebabkan anak akhirnya tertekan karena merasa tugasnya semakin banyak. Tetapi langkah bunuh diri sangat kita sesalkan.  Saya yakin saat ini tingkat pemakluman dari sekolah sangat tinggi karena sekolah pun memahami berbagai kesulitan yang dirasakan orang tua dan anak-anaknya. 

Dalam pengamatan saya selama menjadi guru, masa pandemi covid ini adalah letusan gunung es yang selama ini tertutupi.  Mengapa?  Hampir semua kasus yang berkaitan dengan moral atau akhlak selalu dikaitkan dengan kegagalan pendidikan di sekolah.  Padahal  dalam pelaksanaan pendidikan perlu:

  • kehadiran negara, karena sesungguhnya pendidikan adalah menanamkan nilai-nilai bagaimana hidup bermasyarakat dan bernegara.  Negara jangan merasa hanya cukup dengan  membantu pembiayaan dalam bentuk BOS dan peningkatan kesejahteraan guru.  Sementara kasus anak yang berasal dari rumah tangga yang berantakan, anak dari orang tua tunggal, anak yang berasal dari keluarga miskin (saat di sekolah terbantu dengan BOS) tetapi untuk biaya pribadi menuju sekolah tanggung jawab siapa, anak hasil hubungan gelap, anak dari hasil perkawinan yang belum siap dan hal-hal lainnya sering terabaikan.  Sebuah kasus ketika anak tiga kali terlambat ikut pembelajaran di sekolah berarti ada masalah besar di keluarga, harusnya diambil alih negara atau lembaga yang mewakilinya.  Cerita ini saya dapat dari sopir pariwisata di sebuah negara.  Sehingga sekolah bisa fokus pada pembelajaran.
  • menanamkan akhlak/moral perlu suasana keteladanan, kalau hanya sekolah sementara lingkungan masyarakat jauh dari nilai-nilai yang baik maka pendidikan karakter ini bagaikan menegakkan benang basah.  Ini pernah saya baca di harian Kompas.  Sosok teladan pasti ada, tetapi yang harus terlihat adalah dalam kehidupan bermasyarakat.  Para politisi berantem, jangan salahkan kalau pelajar juga berantem.  Jangan berperasangka bahwa pelajar tidak peduli pada kasus-kasus korupsi besar, hukum yang masih tajam ke bawah, justru karena itulah ketika ada demo mereka ikut bergerak. 
  • Daya dukung masyarakat terbukti masih kurang, saat sekolah tidak difungsikan karena pandemi, sebagian besar tugas pengawasan anak harusnya ada di masyarakat atau lebih khusus keluarga.  Tetapi yang terjadi secara umum merasa kewalahan dalam mengawasi anak-anaknya.  Kejadian bunuh diri di usia remaja sebenarnya bukti lemahnya pengawasan keluarga. 

Pandemi mudah-mudahan membuka mata kita semua, bahwa persoalan pendidikan moral tidak hanya tugas sekolah.  Dalam jajak pendapat singkat hampir semua orang tua ingin segera anak-anaknya mengikuti pembelajaran normal di sekolah.  Mereka sudah kewalahan menangani anak-anaknya di rumah terutama masalah pembelajaran.  Meskipun sekolah tentunya sudah mengikuti anjuran pemerintah untuk menyederhanakan kurikulum pembelajaran.

Kasus bunuh diri adalah sebagian masalah dari permasalahan sosial yang timbul akibat pandemi.  Tawuran, hamil di luar nikah, pengawasan anak yang semakin longgar adalah bagian lain dari permasalahan sosial yang lebih besar.  Entah sampai kapan pandemi ini berakhir karena biaya sosial yang akan ditanggungg akan semakin besar.

Bunuh Diri dalam Kajian Sosiologi

Kajian tentang bunuh diri telah lama ada dalam Sosiologi.  Tokohnya adalah Emile Durkheim.  Menurut Durkheim ada empat tipe bunuh diri.  Keempat tipe itu adalah:

  • Egoistic Suicide, adalah tipe bunuh diri yang terjadi karena tingkat integritas masyarakatnya lemah, lebih mementingkan ego individu.  Tak peduli dengan kehidupan orang lain.  Dalam contoh kasus ini misalnya terjadi pada negara Swiss, karena pada saat usia 17 tahun para remaja dipaksa untuk mulai bekerja, lepas dari tanggung jawab keluarganya.  Di negara ini ada satu jembatan yang dijaga polisi selama 24 jam karena menjadi tempat favorit untuk bunuh diri.
  • Altruism Suicide, adalah tipe bunuh diri karena tingkat integritas masyarakatnya sangat kuat.  Contohnya adalah pilot-pilot Jepang yang menabrakan pesawatnya untuk menyerang musuh atau melumpuhkan musuh.  Sikap altruistik ini mendatangkan pujian karena membela kepentingan masyarakatnya.  Bom bunuh diri termasuk dalam kategori ini.
  • Anomie Suicide, adalah tipe bunuh diri karena melemahnya nilai dan norma yang ada di tengah-tengah masyarakat.  Salah satunya adalah perubahan yang sangat cepat.  Pandemi Covid 19 menyebabkan banyak perubahan besar.  Pembelajaran tatap muka berubah menjadi daring atau PJJ.  Bagi anak yang tidak tahan dengan kondisi ini, seperti diceritakan di awal akhirnya menempuh jalan pintas, bunuh diri.
  • Fatalistic Suicide, adalah tipe bunuh diri karena sangat kuatnya nilai dan norma di tengah-tengah masyarakat atau yang diciptakan negara, sehingga sebagai individu segala sesuatunya sangat dibatasi.  Misalnya di negara-negara komunis.

Kita sedang berada dalam keadaan anomie, yaitu melemahnya sistem nilai dan norma karena perubahan dengan adanya bencana Covid-19.  Kebersamaan dan kekuatan masyarakat kita harusnya mampu mencegah hal-hal tadi terjadi pada anak-anak kita.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline