Sore hingga malam ini, media sosial ramai memperbincangkan potongan video yang beredar di WhatsApp Group (WAG), Instagram, dan TikTok-saya sendiri menerima share video ini sekitar jam 5 sore jelang Magrib. Video tersebut memperlihatkan seorang perempuan berhijab dengan baju putih bergaris yang diduga kuat Ibu Supriyani, guru Sekolah Dasar Negeri (SDN) di Kecamatan Baito, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara. Warganet ramai mengomentari video tersebut, mengira bahwa Ibu Supriyani telah dibebaskan dari kasus hukum yang menjeratnya.
Sebagai seseorang guru yang mengikuti kasus ini dengan seksama, saya merasa bahwa kita semua perlu lebih cermat dalam menilai informasi yang tersebar. Banyak orang langsung menyimpulkan bahwa Supriyani telah bebas. Padahal, faktanya, video tersebut menggambarkan penangguhan penahanan bersyarat, bukan kebebasan penuh.
Penangguhan penahanan Supriyani sendiri tertuang dalam surat penetapan Pengadilan Negeri (PN) Andoolo dengan Nomor: 110/Pen.Pid.Sus-Han/2024/PN Adl. Surat itu ditandatangani oleh Ketua Majelis Hakim Stevie Rosano serta dua anggota hakim, Vivi Fatmawaty Ali dan Sigit Jati Kusumo. Surat tersebut juga disahkan oleh Panitera PN Andoolo, Muhammad Arfan, dengan cap dan stempel resmi. Ini adalah keputusan formal, dan Ibu Supriyani diberikan penangguhan dengan beberapa syarat, seperti tidak boleh melarikan diri, tidak menghilangkan barang bukti, serta wajib hadir dalam setiap persidangan.
Keputusan ini tidak dibuat begitu saja. Pengadilan mempertimbangkan permohonan dari kuasa hukum Supriyani dari Lembaga Bantuan Hukum Himpunan Advokat Muda Indonesia (LBH HAMI)Konawe Selatan yang diajukan pada 21 Oktober 2024. Salah satu alasan utama hakim mengabulkan penangguhan ini adalah karena Supriyani masih memiliki anak balita yang membutuhkan pengasuhan, dan sebagai seorang guru, ia memiliki tanggung jawab yang tidak bisa diabaikan.
Yang menarik, permintaan penangguhan ini juga didukung oleh berbagai pihak, termasuk Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Konawe Selatan dan beberapa organisasi lain seperti Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (NU) Konawe Selatan, Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) HAMI Konawe Selatan, dan Lembaga Investigasi Negara. Dukungan luas ini menunjukkan bahwa kasus Supriyani bukan hanya menyentuh ranah hukum, tetapi juga sosial.
Namun, yang mengganggu saya adalah bagaimana informasi di media sosial seringkali disalahartikan. Foto-foto bukti penangguhan penahanan beredar di media sosial, tetapi tidak semua orang bisa menafsirkan informasi tersebut dengan tepat. Beberapa netizen termasuk para guru mungkin terlalu cepat menyimpulkan, bahkan sebelum mereka mencari fakta yang sebenarnya. Hasil pencarian yang saya lakukan di internet (Googling) juga belum menunjukkan adanya berita resmi tentang pembebasan Ibu Supriyani. Jadi, penting sekali bagi kita untuk berhati-hati dan tidak mudah terjebak dalam informasi yang setengah matang.
Bagi saya, yang perlu kita soroti adalah bagaimana masyarakat, terutama organisasi profesi guru seperti PGRI, IGI, PERGUNU, dll harus terus mengawal kasus ini hingga selesai. Jangan sampai kasus ini hanya berhenti pada penangguhan penahanan saja, tetapi harus dilanjutkan hingga Ibu Supriyani benar-benar mendapatkan keadilan, entah bebas tanpa syarat atau hasil akhir yang adil bagi semua pihak.
Dalam era di mana informasi begitu cepat beredar, kita harus semakin cerdas dalam memilah mana yang benar dan mana yang masih simpang siur. Mari kita semua lebih teliti, tidak hanya sekadar ikut menyebarkan kabar yang belum pasti. Bagaimanapun juga, kasus ini masih berjalan, dan saya berharap masyarakat terutama para guru terus mendukung proses hukum yang berjalan dengan baik, serta tetap mengawal kasus Bu Guru Supriyani hingga tuntas.
Sumber Informasi :
- Sokoguru
- Sultrademo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H