Di bawah langit Konawe yang muram,
Penjaga ilmu tersentak terdiam,
Supriani, sang bunga bakung nan tabah,
Mekar di tanah kering tanpa lelah.
Tangannya menari di papan tulis,
Menulis mimpi dengan kapur yang murni,
Namun badai datang tanpa peduli,
Menghempas harapan yang ingin terbang tinggi.
Oh, negeri yang bicara tentang keadilan,
Mengapa mawar pengabdi terluka dalam,
Duri prasangka menusuk ke hati,
Meneteskan darah perjuangan abadi.
Denting palu meretakkan pagi,
Mengguncang ruang kelas yang sunyi,
Tak terdengar lonceng ilmu berdenting,
Hanya rantai besi membelenggu Sang Cendekia.
Supriani, merpati dalam sangkar,
Sayapnya terkekang jeruji yang kasar,
Nyanyi kasihnya terhenti dalam dingin,
Sementara anak didik menunggu dengan hening.
Wahai para penegak hukum jangan kau tuli,
Tidakkah kau lihat air mata sejati?
Mutiara jatuh dari mata pendidik negeri,
Yang ingin menyirami benih bumi pertiwi.
Keadilan, di mana engkau sembunyi?
Di balik awan keangkuhan yang tinggi?
Turunlah, basuh luka dalam jiwa,
Yang dipukul ketidakpahaman yang hampa.
Supriani, lilin dalam malam pekat,
Cahayamu tak akan pernah padam dekat,
Meski angin badai berusaha keras,
Api semangatmu tetaplah panas.
Bangkitlah, para pejuang pendidikan!
Biar suaramu menggema di kegelapan,
Membangunkan nurani yang tertidur,
Membuka empati yang telah terkubur.
Fajar keadilan pasti akan terbit,
Membawa Supriani ke hangat pelukan,
Martabat yang hilang akan terangkat,
Mengisi pagi dengan harapan yang dekat.