Lihat ke Halaman Asli

Biaya Riset Menulis: dari "Antologi Rasa" hingga "Hermes Temptation"

Diperbarui: 27 Juni 2016   19:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13676024351937648026

 

[caption id="attachment_258881" align="alignnone" width="150" caption="gambar dari media-kompasiana-com"][/caption]

Masih dalam rangka memperingati Hari Buku dan Hari Hak Cipta sedunia, saya akan membahas biaya riset seorang penulis. Memang modal utama seorang penulis adalah kepekaan dia terhadap kejadian di sekeliling, kepekaan dalam menangkap emosi seseorang, tekad yang kuat untuk merangkai kata menuangkan ide, pemikiran menjadi sebuah cerita. Namun tetap ada biaya riset!

Saya membaca dari salah satu buku Pak Anand Krishna, bahwa untuk menulis satu buku, minimal seseorang telah membaca 20 buah buku. Membaca, terinspirasi, menjadikan referensi tidak berarti copas karya orang lain. Perhatikan deh buku hasil copas, aliran cerita semacam dipaksakan. Sebagai orang lebay saya berpendapat bahwa buku yang ditulis sepenuh hati itu menjadikan sebuah buku bernyawa. Buku hasil copas bagaikan buku zombie qiqiqi.

Seseorang bisa saja menulis cerita dengan latar belakang satu tempat misalkan Swiss padahal belum pernah berkunjung ke Swiss. Penulis bisa riset dengan banyak membaca dan googling tentang Swiss, melihat foto tentang Swiss, membaca tentang budaya Swiss, tempat hang out yang hips di Swiss dll. Penulis kudu mengeluarkan biaya untuk koneksi internet dan untuk beli buku atau majalah kan. Riset perlu biaya booo!

Bagaimana seorang Agustinus Wibowo menulis buku-buku “Tanpa Batas”, “Selimut Debu” atau “Titik Nol” ? Dengan berkelana ke tempat-tempat menantang yang diceritakannya. Menulis buku-buku tersebut membutuhkan waktu, tenaga, pikiran, keberanian bertualang dan yang pasti duit binti hepeng. Memangnya bisa beli tiket dan membayar akomodasi dengan senyum saja?

Saya membaca tweet penulis Ika Natassa @ikanatassa yang menulis cerita tentang proses riset pembuatan buku. Penulis novel laris “A Very Yuppy Wedding”, “Antologi Rasa”, “Divortiare”, “Twivortiare” ini menulis bahwa komisi dari penjualan novel dia dipergunakan untuk biaya riset. Ika Natassa hidup mapan sebagai Bankir berprestasi. Toh Ika perlu juga duit komisi penjualan buku untuk riset buku berikutnya. Bankir yang menulis untuk fun tetap perlu duit komisi apalagi penulis yang hidup sepenuhnya dari hasil penjualan buku.

Ika menulis di twitter bahwa riset pembuatan novelnya “Antologi Rasa” memakan biaya yang besar. Antara lain riset beli tiket untuk melihat langsung balap F1 di Marina Bay Circuit Singapore. Harga tiket nonton sama dengan harga sebuah sepeda motor, belum tiket pesawat Jakarta-Singapore pp, biaya hotel, biaya makan di sana.

Ika juga terbang ke Bangkok untuk menonton langsung konser John Mayer. Yak bisa diperkirakan biaya tiket nonton konser, biaya tiket pesawat Jakarta-Bangkok pp plus akomodasi...

Menurut Ika, bisa saja menulis berdasarkan hasil baca dan googling. Namun Ika memilih untuk mengalami langsung agar merasakan bagaimana rambut berkibar diterpa angin saat menonton balap F 1 yang legendaris itu. Dengan mengalami sendiri satu peristiwa, cerita yang ditulis bisa lebih bernyawa.

Jelas sekali bila kita membeli buku bajakan maka penulis tidak mendapatkan uang komisi. Otomatis tidak ada biaya riset yang membuat penulis patah arang tidak mau menulis lagi. Yang rugi adalah kita para pembaca karena tidak mendapat hiburan/pengetahuan/kebijakan dari sebuah buku yang menarik.

Saya baca buku terbaru Miss Jinjing Amelia MasniariBelanja Sampai Mati di Turkey” bahwa Miss Jinjing perlu berkali-kali datang ke Turkey dalam rangka menulis bukunya. Miss Jinjing –MJ- harus merasakan menginap di beberapa hotel terbaik, mencoba tempat2 hang out yang lagi hips (happening), mendatangi tempat-tempat belanja yang hips disana, dan pastinya menjinjing belanjaan.

Saat menulis “Belanja Sampai Mati di China”, MJ perlu beberapa kali ke China, menyusuri tempat-tempat belanja yang terkenal atau yang unik. Hitung saja tiket pp Jakarta-China, ongkos menginap di hotel, ongkos high tea di cafe atau hotel bintang lima, ongkos lunch atau dinner di restoran hips tempat Tai-Tai (Nyonya-nyonya Besar) hang out. Dan pastinya ongkos belanja selama disana. Tak mungkin lah MJ datang ke tempat belanja yang oke kemudian pulang tanpa menjinjing.

Demikian pula saat pembuatan buku-buku yang lain, “Miss Jinjing Belanja Sampai Mati di Paris”, “Miss Jinjing Belanja Sampai Mati di Korea”, “Miss Jinjing Belanja Sampai Mati di Dubai”, “Miss Jinjing Belanja Sampai Mati di Jepang”. Semuanya perlu biaya riset yang besar. Coba renungkan wahai pembajak dan pembeli buku bajakan.

Coba baca deh buku ‘Hermes Temptation” yang ditulis Fitria Yusuf dan Alexandra Dewi. Dewi berkali-kali terbang ke Paris untuk belanja di butik eksklusif Hermes. Tiket pesawat bussiness class Jakarta-Paris pp, beli tas-tas Hermes, hotel dan akomodasi selama di Paris pastinya besar biayanya. Syukurlah kita tidak perlu mengeluarkan duit segitu banyaknya untuk mengetahui lika-liku pembelanja Hermes. Cukup menukarkan duit 125 ribu di toko buku, kita mendapatkan pengalaman itu hihihi. Terimakasih kepada para penulis.

Mari membeli buku asli. Buku bajakan? Tidaaakkk!!!

TerimaKasih... Sampurasun 🌻🌼🌹

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline