Lihat ke Halaman Asli

Makna Sebuah Nama

Diperbarui: 25 Juni 2015   01:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bersyukur menemukan buku The Namesake karya Jhumpa Lahiri saat obral buku. Saya sering mendapat kejutan saat pesta buku atau obral buku, bisa dapat buku yang sudah tidak dijual lagi di toko buku. Saya pernah mendapatkan buku Grow Younger Live Longer karya Deepak Chopra dengan harga super miring. Juga akhirnya mendapatkan buku I Beg Your Prada karya Alexandra Dewi yang sudah saya cari kemana-mana. Dan banyak buku menarik lainnya yang bisa diperoleh bila kita rajin berburu buku saat obral, di toko buku bekas atau di Pesta Buku Jakarta.

Membaca buku sastra membuat hidup terasa kaya. Tidak ada media yang bisa mengungkapkan pengalaman seseorang manusia lebih detail daripada sebuah buku, imo. Saya pernah menonton film The Namesake beberapa tahun lalu, namun buku bisa menggambarkan lebih detail.

The Namesake menceritakan tentang seorang Ashoke Ganguli yang datang ke Amerika membawa segudang harapan. Tragedi yang ia alami bertahun-tahun sebelumnya membuat dia ingin memulai kehidupan yang benar-benar baru, berjuang melupakan trauma. Sementara Ashima, istrinya, datang ke Amerika dengan selaksa kesedihan karena harus meninggalkan kampung halaman yang begitu ia cintai.

Di tengah berbagai perasaan yang berkecamuk itulah putra pertama mereka lahir. Mereka memberinya nama Gogol. Nama yang kelak sangat dibenci anak itu.

Cerita selanjutnya adalah cerita tentang seorang Gogol, anak seorang imigran India yang tinggal di Amerika. Kisah tentang anak imigran India atau China yang tinggal di Amerika juga dibahas pada novel-novel Amy Tan, Chitra Banerjee Divakaruni, atau Kavita Daswani. Bagaimana seorang anak yang dididik dengan budaya asal negara orang-tuanya berbaur dengan budaya Amerika. Namun setiap orang punya cerita sendiri karena setiap orang unik dengan pengalaman pribadi masing-masing.

Jadi apa sebenarnya makna di balik sebuah nama? Jhumpa Lahiri memberikan pandangannya pada novel The Namesake ini.

Buku selanjutnya yang saya dapat saat obral adalah Minum Teh bersama Kartini karya Suryatini Ganie. Saya pernah membaca salah satu cerpen pada kumpulan cerita ini di Majalah Pesona. Buku ini bernuansa cinta dan misteri dengan latar belakang kota-kota yang indah seperti Istanbul, Paris, Barcelona.

Buku ini membuat saya merinding. Teringat dengan pengalaman Ibu saya saat anak kemenakannya “pamit”. Ibu saya mendengar ada ketukan di pintu depan rumah. Ketika Ibu membukanya, tak ada orang di depan pintu. Namun di kejauhan ada anak yang melambaikan tangan kemudian pergi dalam rinai hujan. Beberapa hari kemudian Ibu saya diberi kabar tentang kepergian anak itu.

Saya mengenal penulis buku ini, Suryatini Gani dari tulisan Almarhum La Rose, penulis buku favorit Ibu saya. Buku Minum Teh bersama Kartini ini adalah buku pertama Ibu Suryatini yang terbit saat beliau berusia 78 tahun. Hebat ya, sudah berusia lanjut namun terus berkarya.

Ibu Suryatini Ganie adalah sosok yang menarik. Lahir pada tahun 1930, Ibu dua anak ini menguasai 10 bahasa, 7 di antaranya bahasa asing. Selain terkenal sebagai pakar kuliner, Ibu Suryatini menekuni profesi sebagai wartawati dan penulis. Cerpen-cerpennya antara lain dimuat di harian Merdeka, majalah Keluarga, majalah Dewi, dan majalah Selera. Waktu bermukim di Eropa dan sering mengadakan perjalanan ke berbagai negara di belahan dunia, ia tidak lupa membuat cerpen tentang kota-kota yang disinggahinya.

Membaca tentang Ibu Suryatini Ganie ini membuat saya teringat oleh twit seseorang yang di retweet oleh @BonnieTriyana seorang sejarahwan, pemimpin redaksi majalah Historia. Tweet itu tentang kualitas pendidikan kita yang menurun setelah tragedi tahun 1965. Banyak sekali guru berkualitas yang dipecat karena dituduh terlibat PKI. Saat ini kita bisa menyaksikan kualitas pendidikan orang-orang Indonesia sangat menurun, kalah jauh dari angkatan Bung Karno, Bung Hatta, atau angkatan Ibu Suryatini Ganie, La Rose.

Satu kejadian saling terkait dengan kejadian lain. Kemalangan guru-guru yang dicap PKI padahal tidak tahu apa-apa, menyebabkan kemalangan orang-orang sebangsa berupa kualitas pendidikan yang menurun. Padahal pendidikan yang baik membuat satu bangsa bangkit, berbudaya tinggi dan sejahtra.

Mau tidak mau kita harus peduli dengan lingkungan kita. Contohnya, kita tidak bisa diam saja ketika ada ketidak-adilan di sekitar kita. Minimal kita harus bersuara. Bila tidak, siapkan anak cucu untuk merasakan dampak dari ketidak-pedulian kita. Saat inipun kita sebagai satu bangsa sudah merasakan dampak dari ketidak-pedulian kolektif. Harga pangan naik, pendidikan dan pelayanan kesehatan sangat mahal, dan penegakan hukum di negeri kita sangat memprihatinkan. Untuk itu mari bersuara. Memperjuangkan keadilan untuk satu manusia sama dengan memperjuangkan keadilan untuk satu masyarakat. Mari berkunjung ke FreeAnandKrishna.com. Jangan sampai ketidak-adilan yang dialami oleh Bapak Anand Krishna menimpa kita dan keturunan kita. Bapak Anand Krishna menjalani proses hukum hampir selama dua tahun untuk satu tuduhan tanpa bukti dan tanpa saksi mata.

Semoga Allah melindungi bangsa ini dari kezaliman yang amat sangat. Amiin.

Terimakasih, Namaste _/l_

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline