Lihat ke Halaman Asli

Amy Tan

Diperbarui: 25 Juni 2015   22:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Salah satu penulis favoritku adalah Amy Tan. Karyanya menarik sekali, unik, segar. Menarik sekali kehidupan wanita Amerika keturunan China yang mengalami dua budaya, China dan Amerika.

Keluarga Amy Tan juga special. Ibunya penuh trauma, antara lain karena menyaksikan ibu kandungnya bunuh diri di depan dia. Ibunya juga trauma karena mengalami penderitaan dengan suami pertamanya.

Buku-buku Amy Tan yang terkenal adalah “The Joy Luck Club” dan “The Kitchen God’s Wife”.

“The Joy Luck Club” menarik karena memaparkan sudut pandang wanita-wanita yang lahir di China kemudian imigrasi ke Amerika. Ibu-ibu ini Suyuan Woo, An-Mei Hsu, Lindo Jong, Ying-ying St. Clair punya perspektif berbeda tentang hidup dan kehidupan dengan anak-anak perempuan mereka yang lahir dan besar di Amerika, Jing-mei Woo, Rose Hsu Jordan, Waverly Jong, Lena St Clair.

Amy Tan sangat jeli menggambarkan perspektif hidup Ibu–Anak yang hidup dalam dua budaya berbeda.

Namun, yang paling menarik adalah kehidupan Amy Tan sendiri yang ditulisnya dalam buku “The Opposite of Fate”.

Ibunya yang penuh trauma, yang memandang kehidupan dengan kaca mata suram, yang sangat moody mendorong Amy Tan untuk menjadi seorang penulis. Mungkin bila dibesarkan oleh seorang Ibu normal, yang memandang dunia dengan kaca-mata cerah ceria, menurut Amy Tan, mungkin dia sudah menjadi dokter atau pemain piano profesional.

Ibu Amy Tan yang sangat moody menyebabkan Amy Tan harus sering pindah sekolah. Bila Ibunya sudah tidak betah di satu tempat, mood nya sangat mengganggu seisi rumah sehingga seisi rumah mau tidak mau harus mengikuti keinginannya untuk pindah.

Berikut adalah kutipan menarik dari buku Amy Tan “The Opposite of Fate” , Bab “Kehidupanku menurut Cliffsnotes”.

---------

“ Pada saat aku lulus SMA,aku telah bersekolah di sebelas sekolah. Aku telah terbiasa kehilangan teman-teman, tinggal seorang diri sampai akhirnya menemukan teman-teman baru. Setiap kali masuk di sekolah baru, aku harus duduk di belakang dengan diam-diam selama bulan pertama atau lebih dan memperhatikan siapa-siapa saja yang populer, yang tidak, yang pintar, maupun yang sok pintar. Aku harus menunjukkan pada guru-guru baruku bahwa aku murid yang baik, bahwa aku tahu cara menggambar yang realistis. Tapi aku juga tahu agar aku tidak melakukan apapun yang mencolok, sebab kalau tidak, aku akan menjadi anggota kelompok paria. Aku mengerti aku harus seperti bunglon kalau mau selamat, aku harus menyesuaikan diriku dengan diam-diam, dan mengamati.

Sekarang kalau kurenungkan masa-masa itu, aku bisa melihat bahwa hal itu adalah latihan yang bagus sekali bagi orang yang hendak menjadi penulis. Hal itu mempertajam kemampuanku untuk mengamati, memperdalam perasaanku tentang keterasingan, yang meskipun bukan persyaratan bagi penulis, jelas-jelas berguna sebagai dorongan untuk menulis. Banyak novel besar di zaman kita yang didasarkan pada narator-narator yang terasing. Padahal aku benci dengan perasaan kesepian itu. Aku menangis setiap kali ayahku berkata kami akan pindah rumah. Ia mungkin telah berdoa kepada Tuhan untuk suatu pengarahan dalam hidupnya, tapi ia menerima petunjuk-petunjuk spesifik dari ibuku untuk pindah ke Oakland, Hayward, Santa Rosa, Palo Alto, santaClara, dan Sunnyvale. “

------

Benar kata pepatah “There is silver lining beside dark cloud”, “Sehabis Gelap terbitlah Terang”.Keadaan yang sangat tidak enak, yang traumatis bisa mendorong seseorang untuk berjuang dan menjadi “somebody” seperti Amy Tan atau Pearl S. Buck. Bahkan dalam film “The Making of Mahatma” perlakuan tak manusiawi di gerbong kereta api mengusik seorang Mahatma Gandhi untuk menjadi pejuang kemanusiaan, pejuang bagi kemerdekaan India.

Mungkin yang bisa kita pikirkan adalah bagaimana “mengolah tanah menjadi emas” seperti yang kubaca pada tulisan-tulisan Cak Nun –Emha Ainun Nadjib-. Bagaimana mengubah “musibah” menjadi “berkat”.

Semoga...

Tulisan ini dimuat di blog saya http://www.rawinah-ranarty.com/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline