Lihat ke Halaman Asli

Hadiah Pak SBY untuk Perbankan Indonesia

Diperbarui: 23 Juni 2015   22:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1399880146210452339

Pemerintahan SBY jilid II akan segera berakhir. Hiruk pikuk kampanye dari sejumlah capres terus mengalir sepanjang waktu, hingga waktu pemilihan kelak datang. Menjelang berakhirnya masa pemerintahan, apakah SBY telah menyelesaikan kewajibannya hingga tuntas? Seharusnya memang begitu, tapi kita tidak akan menemukannya, bila kita berbicara soal kebijakan untuk menghadapi pasar bebas ASEAN 2015.

Ya, pasar bebas ASEAN 2015 adalah bentuk nyata dari komitemen Indonesia dan negara-negara ASEAN lainnya, yang tergabung dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Untuk menghadapi ini, tentunya Indonesia harus memiliki struktur yang kuat, terutama dalam bidang perekonomian. Jika tidak kuat, dengan sangat mudah negara kita akan tergilas dengan kemampuan negara-negara tetangga. Sebut saja yang terdekat, Malaysia dan Singapura. Sektor perekonomian milik Indonesia mana yang jauh unggul melebihi kedua negara tersebut?

[caption id="attachment_335898" align="aligncenter" width="475" caption="Presiden SBY"][/caption]

Mari sebut saja sektor perbankan. Indonesia hingga saat ini belum memiliki satu bank yang benar-benar besar, yang dapat bersaing di kancah regional ASEAN. Menilik lebih dalam, kita bisa ambil contoh Bank Mandiri (bank BUMN). Dari segi kapitalisasi pasar, bank ini ternyata hanya menduduki peringkat ke-8. Singapura menduduki peringkat ke-1 dan 2, dimana secara berurutan adalah DBS Group Holdings dan Oversea-Chinesse Banking Corp (OCBC). Sedangkan untuk peringkat 3, adalah Malayan Banking Berhad (Maybank), asal Malaysia. Sebenernya yang mewakili Indonesia untuk masuk di 10 besar ada 2 bank lagi. Mereka adalah BCA (bank swasta), yang menduduki peringkat ke-6, serta BRI (bank BUMN), yang menduduki peringkat ke-9.

Lalu apa yang menjadi urgensi industri perbankan kita?

Sudah sewajarnya jika Indonesia perlu menerapkan konsolidasi perbankan. Dan sebenarnya wacana konsolidasi ini sendiri sebenarnya telah menjadi cetak biru Bank Indonesia dan pemerintahan jilis I SBY di tahun 2004. Bayangkan! Ini artinya telah diproyeksikan semenjak 10 tahun yang lalu. Lantas mengapa tidak segera direalisasikan? Apa pemerintah tidak mau mengambil resiko yang ada, mengingat pro dan kontra dari publik selalu muncul?

Ingat saja mengenai rencana pengalihan saham pemerintah di BTN kepada Bank Mandiri. Polemik muncul dan menerjang, di tengah masa pergantian kekuasaan berlangsung. SBY sendiri lebih memilih untuk menunda terlebih dahulu rencana ini terealisasi. Sebagai catatan, ingin menjaga kondisi rust en orde. Sejalan dengan penundaan tersebut, Hatta Rajasa, selaku Menko Perekonomian juga menyatakan jika rencana konsolidasi perbankan ini belum dapat dilanjutkan. Lalu pertanyaannya, bisakah ini disebut sebagai upaya untuk melempar tanggung jawab ke pemerintahan berikutnya?

Selama 1 dekade rencana konsolidasi perbankan masuk dalam tumpukan meja kerja kabinet, namun tak menghasilkan apa-apa. Ditambah lagi dengan MEA 2015 yang sudah ada di depan mata. Indonesia siap untuk itu? Sedikit berkelakar, jangan-jangan untuk mulai persiapannya saja, Indonesia tidak siap.

Pada akhirnya sangat disayangkan, jika kabinet jilid II SBY tidak memanfaatkan momen-momen terakhirnya untuk merealisasikan kebijakan cemerlang. Padahal seyogyanya, konsolidasi perbankan dapat menjadi buah tangan terbaik pemerintahan SBY untuk Indonesia kedepannya. Jika pemerintahan yang baru nanti terbentuk, diharapkan agar concern terhadap permasalahan ini. Bukan apa-apa, toh ini untuk menjadi modal negara kita bersaing dengan negara lain.

Semoga tidak telat!

Sumber:

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline