Lihat ke Halaman Asli

Ketika Guru Bahasa Indonesia Menulis

Diperbarui: 26 Juni 2015   11:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Sebelumnya, saya minta maaf kalau selama kehadiran saya akhir-akhir ini di Kompasiana dianggap mengganggu. Sebagai informasi saja, meski baru 3 bulan akun ini dibuat, komentar kompasianer sudah sangat beragam. Ada yang menyambut dengan baik, namun ada juga yang menghujat dengan kata-kata yang lumayan kasar.

Nama akun dan gaya bicara saya memang saya buat seperti ini dengan harapan segala bentuk peringatan mengenai struktur bahasa bisa diterima oleh siapapun di Kompasiana. Kompasianer lain tentu akan terkesan menggurui jika mengkritik bahasa tulisan orang lain, apalagi yang diingatkan adalah orang yang lebih senior. Makanya diperlukan sosok baru yang memang tugasnya mengingatkan. Coba bayangkan misal, sekali lagi hanya misal, Omjay tiba-tiba mengingatkan struktur bahasa seorang Mariska Lubis, bisa jadi Omjay malah diremehkan.

Tujuan mengingatkan ini sendiri pada dasarnya bukan menjadikan Kompasiana menjadi media yang berbahasa formal seperti harian Kompas cetak. Tujuan saya lebih pada membuat tulisan lebih nyaman dibaca. Tulisan di Kompasiana tidak berarti harus sesuai Ejaan yang Disempurnakan (EYD). Namun bukan berarti asal tulis yang malah membuat tulisan itu tidak enak dibaca. Tulisan yang berantakan, bukan hanya tidak enak dibaca, namun dilihat sekilas pun terasa tidak sedap.

Saya lebih suka dengan menyebut Ejaan Gaul yang Disempurnakan (EGYD, ini istilah saya sendiri) untuk menyebut tulisan yang enak dibaca. Tulisan ini bisa sangat gaul namun tetap enak dibaca. Di beberapa paragraf berikut, saya akan menggunakan bahasa gaul yang sesuai EGYD seperti yang saya sebutkan.

Ejaan Gaul yang Disempurnakan

Yang sering gue ingetin di Kompasiana itu lebih pada struktur bahasa, bukan kosakatanya. Kosakata bisa aja sangat gaul dan tetap enak dibaca ataupun dilihat. Dan itu nggak masalah bagi gue.

Gue sendiri selalu menempatkan diri sebagai guru bahasa Indonesia loe. Tepatnya, guru bahasa Indonesia ketika loe masih duduk di bangku SD. Gue nggak menempatkan diri sebagai dosen bahasa loe, tapi guru bahasa waktu loe masih SD. Gue mencoba menjadi representasi guru SD loe. Ini jelas punya konsekuensi yaitu gue jadi orang yang lebih tua dari loe-loe semua yang ada di Kompasiana. Siapapun loe, berapapun umur loe, gue yakin guru bahasa loe waktu SD dulu pasti lebih tua daripada loe.

Gue emang nggak pandang bulu, meski loe senior, wartawan, pejabat atau bahkan udah jadi guru besar, gue tetep akan ngingetin. Bahkan misal loe adalah admin Kompasiana, gue tetep bakal ngingetin loe kalo emang ada kesalahan. Ingat, semua orang pasti pernah punya guru bahasa saat SD dulu. Soal gender, gue juga sengaja nggak nunjukin “jenis” gue. Semua terserah loe, biar memori loe sendiri yang membangun. Loe ingat sama ibu guru loe, ya silakan, atau mau panggil gue pak guru juga nggak masalah.

Tapi gue harus akui, nggak semua tulisan bakal gue ingetin. Yang gue ingetin cenderung di tulisan yang terkenal, baik itu karena masuk headline atau masuk terpopuler. Kalo loe nggak terkenal dan tulisan loe cuma sedikit yang baca, sori banget gue nggak sempat mampir ke lapak loe.

Hal yang Saya Ingatkan

Dari contoh di atas, mungkin Anda semua jadi tahu maksud saya. Jika Anda menulis tulisan seperti di atas, maka tidak akan mungkin saya salahkan. Jadi bukan masalah sesuai EYD atau juga KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), namun lebih pada supaya tulisan itu nyaman dibaca.

Hal yang paling mengganggu dalam sebuah tulisan adalah adanya singkatan seperti: yg, dg, bgt, atau yang sejenisnya. Atau adanya kata ulang yang hanya diberi angka 2. Hal-hal yang bertujuan mempersingkat ini, bukan menjadikan tulisan Anda menjadi gaul, tapi lebih menunjukkan pada kemalasan Anda.

Perlu diingat, bahwa media tulis di Kompasiana ini adalah media yang relatif tidak dibatasi jumlah karakternya. Ini jelas beda dengan media-media lain seperti pesan singkat (SMS) yang memang sangat terbatas. Di SMS, tentu sangat wajar untuk menggunakan bahasa sesingkat mungkin. Hal ini juga saya maklumi pada tulisan komentar di Kompasiana. Di komentar, saya anggap orang hanya berceloteh, bukan menulis, sehingga wajar jika struktur bahasanya menggunakan bahasa SMS.

Hal lain yang sering saya ingatkan adalah tanda baca dan spasi. Meski tampak sepele, ini seringkali mengganggu sebuah tulisan. Misal masih sering ada spasi sebelum tanda baca (titik, koma, tanda hubung, tanda seru, tanda tanya, tanda petik, tanda kurung). Kesalahan ini seringkali didasari ketidaktahuan penulis karena terlihat secara menyeluruh pada tulisannya.

Dan kesalahan spasi yang paling sering adalah pada penggunaan kata depan ‘di’. Masih banyak kompasianer yang belum bisa membedakan antara ‘di’ sebagai awalan atau sebagai kata depan.

Karena dasar yang saya pakai adalah EGYD, bukan EYD, maka sebenarnya ejaan sebenarnya tidak harus sesuai dengan KBBI. Hanya saja ada beberapa kata yang seringkali ditulis salah, bukan karena itu bahasa gaul, tapi lebih karena ketidaktahuan penulis akan ejaan yang benar. Misalnya: nasehat seharusnya nasihat, praktek seharusnya praktik, hakekat seharusnya hakikat, silahkan seharusnya silakan, sekedar seharusnya sekadar, perduli seharusnya peduli, resiko seharusnya risiko, dan lain sebagainya. Untuk kesalahan eja di kata-kata seperti ini, saya mungkin tetap akan mengingatkan karena ya itu tadi, bukan karena bahasa gaul tapi lebih disebabkan ketidaktahuan.

Dan hal penting lain yang perlu diketahui adalah, saya bukan ahli bahasa. Saya hanyamengingatkan kesalahan di tingkat paling sederhana. Hal ini juga yang membuat saya menyebut diri saya guru bahasa SD, bukan dosen bahasa.

Selama saya muncul dalam 3 bulan ini, saya sadari juga bahwa banyak kompasianer yang langsung tertantang. Ada yang bilang bahwa saya hanya bisa mengkritik tapi tidak bisa membuat tulisan. Terhitung ada lebih dari 30 kompasianer yang menuntut saya untuk menulis, termasuk yang sampai bikin tulisan tentang saya di sini dan di sini. Kondisi ini seakan-akan menunjukkan bahwa kompasianer yang saya kritik, merasa mempunyai musuh bersama dan ingin secara bersama-sama mencari kesalahan saya. Ada yang tampak tak sabar menunggu tulisan saya dan merasa yakin bahwa secara EYD, pasti akan dapat menemukan kesalahan pada tulisan saya.

Oke, bisa jadi tulisan saya pun ada kesalahan secara EYD. Namun dengan tulisan ini, kompasianer jadi akan tahu apa tujuan kehadiran saya selama ini. Kompasianer akan tahu bahwa tujuan saya bukan murni memperbaiki EYD, tapi lebih pada membuat tulisan di Kompasiana lebih nyaman dibaca. Meski begitu, saya akan senang jika ternyata ada diskusi tentang bahasa di Kompasiana. Terus terang saya sendiri masih sering punya pertanyaan tentang bahasa dan saya tak tahu harus tanya ke siapa. Memang repot jadi guru itu.

Satu-satunya penulis kompasiana yang saya maklumi dengan segala kesalahan tulisnya adalah Christie Damayanti. Pada tulisannya yang diunggah pada tanggal 16 November lalu, dia menulis tentang pengalamannya mengalami stroke. Dari ceritanya itu, kesediaannya untuk berbagi pengalaman di Kompasiana saja sudah mengagumkan, sehingga tidak perlu saya kritik tentang tulisannya. Saya sama sekali tidak keberatan membaca tulisannya yang masih banyak salah ketik, salah eja serta adanya beberapa singkatan ala SMS. Namun, kepada dia pun saya menawarkan diri untuk mengedit tulisannya sebelum dia unggah. Tanpa imbalan apapun, saya bersedia mengedit tulisannya jika dia mau.

Salah Ketik

Tidak ada manusia yang sempurna. Hal ini berlaku juga dalam proses mengetik. Itulah mengapa di media massa pun harus ada editor yang sekaligus mengoreksi kesalahan ketik. Dan karena itu pula, dalam berkomentar, saya selalu berusaha untuk menganalisa sebuah kesalahan itu apakah karena kesalahan ketik atau karena memang kesengajaan.

Kesalahan ketik adalah sebuah kesalahan yang wajar. Ini bisa terjadi pada siapa saja, dan tentu saja termasuk saya. Jadi, sebagai penulis, mari kita lebih hati-hati supaya tidak ada kesalahan ketik. Begitu juga ketika kita sebagai pengkritik, mari kita maklumi jika ada kesalahan ketik di tulisan seseorang.

Sebagai penutup, saya ingin menyatakan bahwa Kompasiana itu tak bisa dilepaskan dari harian Kompas. Dan harian Kompas adalah media yang paling memerhatikan bahasa. Semoga Kompasiana, meski tidak selalu sesuai EYD, namun bisa menunjukkan kepedulian terhadap bahasa yang nyaman dibaca. Sekali lagi, “nyaman dibaca”.

ttd,

Guru Bahasa Indonesia



*Jika berkenan, silakan bagikan (share) tulisan ini di akun Facebook dan Twitter Anda, karena saya tidak punya akun di sana.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline