Lihat ke Halaman Asli

Fenomena Ahok: The Butterfly Effect

Diperbarui: 26 September 2016   19:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa minggu bahkan beberapa bulan terakhir ini, kaum Islamis garis keras dan pengasong khilafah membanjiri medsos. Entah tepatnya sejak kapan, tapi jagat medsos diramaikan wacana anti pemimpin kafir yang salah satunya seperti dicontohkan dengan beredarnya video2 mahasiswa dari beberapa universitas negeri. Dalam video tersebut para mahasiswa kompak menyampaikan pesan2 yang menurut mereka adalah bagian dari dakwah yakni tentang larangan umat muslim mengangkat orang kafir sbg pemimpinnya. 

Tampaknya ini merupakan langkah2 pemanasan menjelang pilkada DKI, krn diyakini penyebaran video tsb dimaksudkan untuk menolak Ahok, gubernur DKI saat ini. Tidak cukup dengan video, kelompok Islamis kemudian menggelar acara di Masjid Istiqlal yang belakangan ditolak oleh pengelola masjid karena melakukan kegiatan politik praktis. Namun rupanya panitia kelompok ini tidak kekurangan akal. Mereka mengajak umat muslim melaksanakan sholat Jumat bersama. Sudah bisa ditebak, agenda acara sebelumnya yang gagal dititipkan pada pelaksanaan sholat Jumat. Tak lama lahirlah Risalah Istiqlal yang lagi2 intinya mengajak kaum muslim untuk tidak mengangkat orang kafir sebagai pemimpin.

Ini adalah wujud dari unjuk kekuatan dari kelompok Islamis yang menurut pengusungnya wajib diperhatikan oleh setiap partai yang akan mendorong calonnya maju ke pilkada DKI tahun 2017. Argumen para pengasong khilafah yang bukan warga DKI ketika ditanya alasan kenapa 'ikut campur' di kancah pertarungan pilkada DKI adalah bahwa hal tersebut merupakan aspirasi dan suara kepedulian kaum muslim terhadap saudaranya sesama muslim warga DKI. Jadi sah-sah saja mereka menyampaikan pendapat, toh hal ini dilindungi UU dan merupakan hak asasi warga negara. Mungkin mereka ingin mempraktekkan ajaran bahwa sesama muslim adalah saudara sehingga wajib untuk saling melindungi. Inilah sebagian besar alasan yang dikemukakan oleh kaum Islamis dalam mendesakkan agenda penggantian gubernur DKI saat ini, Ahok, yang kebetulan non-muslim.

Namun pandangan kaum Islamis ini bukan tidak ditentang. Kaum Nasionalis merupakan lawan tangguh kaum ini. Pada umumnya mereka menyampaikan pandangan yang menegasikan pandangan puritan kaum Islamis tentang pelarangan mengangkat orang kafir sbg pemimpin. Jika kaum Islamis 'menyerahkan' sepenuhnya argumen mereka pada dalil yang tercantum pada kitab suci, maka kaum Nasionalis justru mengajak kaum Islamis untuk beragama secara rasional. Mereka mengajak kaum Islamis untuk 'berpikir', dan tidak semata2 menggantungkan pada ketentuan kitab suci yang menurut kaum Nasionalis harus dirunut asbabun-nuzulnya atau bahkan direinterpretasi agar sesuai dengan perkembangan jaman. 

Jika kaum Islamis berpandangan bahwa iman terhadap Islam adalah syarat mutlak seorang pemimpin, maka kaum Nasionalis justru sebaliknya menyatakan pandangan yang lebih luwes bahwa keimanan kepada Tuhan sudah cukup sebagai prasyarat seorang pemimpin. Pandangan ini kemudian menjadi terkenal ketika ujaran yang diyakini bersumber dari ijtihad ulama ikut mendukung, pemimpin kafir yang adil lebih baik daripada muslim tapi tidak adil. Pengalaman pada pilkada-pilkada sebelumnya justru melahirkan kualitas pemimpin yang rendah dan bahkan menjadi incaran KPK akibat tersangkut kasus suap. Karena mayoritas penduduk RI adalah muslim, maka tidak heran jika secara statistik jumlah pemimpin daerah yang tersangkut masalah pun lebih banyak dari kaum muslim daripada non muslim atau kafir.

Terlepas dari pro-kontra pembacaan ayat kitab suci secara harafiah (tekstual) vs interpretatif (kontekstual), satu hal yang membuat kaum Nasionalis baik warga DKI maupun bukan tertarik untuk ikut mengomentari dan berwacana tentang pilkada DKI adalah adu program. Mereka berpandangan bahwa pertarungan adu program ini merupakan tontonan berkualitas yang seharusnya bersih dari unsur-unsur kotor lainnya seperti isyu SARA. Diakui bahwa Ahok berhasil membawa dan menggiring wacana pilkada DKI ini ke level yang belum pernah kita alami pada proses serupa di masa-masa sebelumnya. Ahok juga berhasil melakukan 'institutional leverage' melalui program-program kerjanya selama ini, yang mana masyarakat sebagai customer memiliki tingkat kepuasan yang lebih tinggi. Akibatnya, standar output yang dihasilkan dari kinerja institusi Pemda DKI selalu menjadi buah bibir dan decak kagum bagi kebanyakan netizen, walaupun juga tidak sedikit dari mereka yang mengkritisinya, terutama kaum Islamis di atas. 

Masyarakat Indonesia merasakan pembelajaran yang nyata ketika Ahok mendorong transparansi kelembagaan ke titik ekstrim yakni dengan cara mengupload semua video rapat ke Youtube, menerima keluhan dari masyarakat secara langsung melalui aplikasi Qlue, dan mendorong setiap unit kerja agar bersikap komunikatif dan responsif terhadap keluhan masyarakat. Dan capaian yang menyolok mata adalah beredarnya foto-foto sebelum dan sesudah program pembersihan sungai dari sampah. Sungai-sungai di wilayah DKI seakan disulap dalam satu malam, yang awalnya kotor penuh sampah tiba-tiba berubah menjadi kinclong, bersih dari sampah.

Tanpa disadari masyarakat Indonesia di luar DKI mulai membanding-bandingkan kinerja dan output kerja Ahok dengan pemimpin di daerahnya masing-masing. Ketidakpuasan mulai merebak di wilayah luar DKI terhadap kinerja entah itu walikota, bupati atau gubernurnya sendiri. Merasa putus asa, bahkan tidak sedikit yang mulai menyampaikan aspirasi agar jika Ahok tidak terpilih kembali di DKI, mereka ingin Ahok mencalonkan diri di daerahnya untuk menjadi pemimpin mereka. Inilah efek Ahok yang saat ini dirasakan oleh kebanyakan masyarakat Indonesia. 

Jika Ahok bisa, kenapa pemimpin di daerahku tidak? Kira2 demikianlah pertanyaan mereka. Tentu saja kondisi ini membuat gerah banyak sekali para pemimpin daerah, karena tiba-tiba saja Ahok membuat mereka tampak bodoh dan culun di mata masyarakat mereka. Bagaimana tidak, banyak daerah yang memiliki serapan anggaran yang tinggi, berpredikat WTP, tapi belum tampak ada perbaikan nyata di sana-sini, sampah masih menumpuk, banjir melanda akibat daerah resapan air dialih-fungsikan menjadi perumahan, ada yang bergelar provinsi termiskin se-Indonesia, bahkan gubernurnya jadi korban OTT KPK.

Jika anda menjadi pemimpin di daerah seperti itu, layaklah jika anda merasa sebel kepada Ahok. Jika meniru keberhasilan tidak bisa alias gengsi, jalan paling mudah adalah mencari-cari kekurangan. Maka tidak heran jika sebagian besar para pencaci Ahok justru berasal dari masyarakat luar DKI. Tidak heran jika kemudian mereka membawa-bawa agama dan isyu SARA, sesuatu yang sudah given, untuk membuat Ahok wajib dijauhi karena haram. Jika anda amati, sedikit dari mereka yang mengkritisi Ahok berbicara masalah kekurangan program kerjanya. Yang mayoritas justru mereka yang berteriak lantang mengkafir-kafirkan Ahok. Inilah yang tidak dikehendaki oleh kaum Nasionalis, agar masalah kepemimpinan tidak dibelokkan ke isu SARA. 

Dalam menyampaikan dakwah pun harus dilakukan secara cerdas dan bijak, tidak asal njeplak menyampaikan bahwa yang ngomong ini Tuhan, bukan manusia. Apalagi sampai bawa-bawa urusan tanggung-jawab kelak di alam kubur. Kaum Nasionalis justru berpandangan bahwa siapapun pemimpinnya asalkan dia memiliki kemampuan (kapabilitas), maka dialah yang akan terpilih atau dipilih rakyat untuk mampu mengentaskan daerah yang dipimpinnya keluar dari masalah-masalah yang menjadi musuh bersama kita semua: kemiskinan, korupsi, kesenjangan sosial-ekonomi, kesehatan masyarakat, lingkungan, dll.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline