Lihat ke Halaman Asli

'Pembelaan' Bloomberg

Diperbarui: 5 Juli 2015   15:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rokok menghambat upaya pengentasan kemiskinan

Sebelum melanjutkan membaca opini ini saya akan jelaskan bahwa saya tidak punya hubungan apapun dengan program2 Bloomberg. Kenal sama Bloomberg pun tidak. Jika anda melihat posisi saya pro pengendalian rokok itu semata-mata inisiatif pribadi yang saya lakukan di medsos 3-4 tahun terakhir ini. Dalam perjalanan waktu itu, saya mengenal banyak sekali pegiat pro pengendalian rokok di medsos yang satu frekuensi dengan keyakinan saya sehingga saya memutuskan untuk berjalan beriringan dengan mereka. Saya menulis opini dengan judul di atas semata-mata karena kegatalan saya terhadap tuduhan gerombolan militan pembela rokok yang kemudian mendorong rasa ingin tahu saya dan sedikit mengulik info tentang Bloomberg yang sebelum-sebelumnya tidak pernah terlintas dalam pikiran saya. Saya juga merasa ndak perlu ngulik terlalu dalam, wong ngadepin spin issue murahan ini aja. Biarkan gerombolan itu yang cari-cari sendiri.

Bloomberg Initiatives (BI) itu levelnya global, tidak hanya untuk Indonesia. Bloomberg menggelontorkan donasi/sumbangan kepada banyak lembaga sosial, yang bergerak di berbagai bidang kemasyarakatan termasuk kesehatan. Penerima dana BI jelas dan transparan, ada institusinya, bahkan Bloomberg menunjuk badan PBB seperti WHO sebagai partner penyalur bantuan. Jadi gak main-main. Coba baca http://bit.ly/1IBaKwj. Administrasi BI mensyaratkan berbagai macam bagi sebuah lembaga utk dapat menerima bantuan tersebut. Di dokumen itu disebutkan terdapat beberapa negara yang menjadi prioritas bantuan. Ada Rusia, China, Bangladesh, India dan Indonesia, negara-negara dengan prevalensi perokok yang tinggi. Bahkan belakangan Bill Gates, pemilik Microsoft, ikut bergabung bersama Bloomberg dan menjanjikan akan membantu Uruguay dalam menghadapi gugatan Philip Morris gara-gara Uruguay menaikkan cukai sampai 70% dan perluasan PHW sampai 80% luas bungkus rokok.

Di luar itu, Bloomberg ternyata juga menginisiasi program Global Road Safety Initiative, yang bertujuan untuk mengurangi korban akibat kecelakaan lalu lintas. Mereka memilih 10 kota di seluruh dunia yang akan menerima bantuan tersebut, dan Bandung adalah salah satunya. Baca ini http://bloombg.org/1zxNsOh. Jadi tidak hanya masalah rokok tapi juga masalah-masalah lain seperti kecelakaan lalu lintas ini. Nah sekarang coba cari kepentingan apa dibalik program Road Safety ini? Kan katamu, no free lunch toh?

*****

Gerombolan militan pembela rokok selalu mengulang-ulang isu penerimaan bantuan dari Bloomberg oleh pegiat anti rokok di Indonesia. Mereka ingin membentuk opini yang mengesankan bahwa penerima bantuan disusupi kepentingan Bloomberg, tapi mereka tidak pernah bisa menjelaskan dengan transparan disertai bukti-bukti bentuk kepentingan tersebut seperti apa. Mereka juga selalu teriak-teriak bahwa kegiatan anti rokok dilatarbelakangi oleh kepentingan industri farmasi. Tapi lagi-lagi mereka gagal menjelaskan siapa perusahaan farmasi tersebut, dimana kedudukannya, keuntungan apa yang mereka dapat, bergerak di pengobatan apa: paru-paru, jantung, impotensi atau apa? dst. Mereka hanya bisa membebek menyuarakan pendapat penulis aliran neo-liberal alm. Wanda Hamilton dalam bukunya Nicotine War. Logikanya, dengan semakin tingginya prevalensi perokok, industri farmasi adalah pihak yang paling diuntungkan, karena bisa menjual obat-obatan anti rokok atau penyembuh sakit akibat rokok, dsb. Industri farmasi seharusnya adalah pihak yang justru akan mendukung gerombolan pembela rokok karena gerombolan inilah yang mendukung penyebaran penyakit. Tapi dasar perokok, logikanya pun sudah melintir-lintir akibat endapan nikotin di otaknya. Yang dipropagandakan justru pendapat industri farmasi berada di belakang gerakan anti rokok. Neuron otaknya tinggal berapa biji sih?

Semua hal di atas mereka lakukan sebenarnya untuk mengalihkan isyu dari masalah-masalah mendasar di industri rokok. Masalah-masalah itu antara lain adalah timpangnya upah, tata niaga tembakau yang tidak adil, perilaku memburu rente industri rokok yang lebih suka impor tembakau murah dari luar, murahnya harga beli tembakau di level petani, tengkulak dan grader yang bergelimang keuntungan, upah buruh linting murah, minimnya jaminan keamanan dan kesehatan kerja buruh, serikat pekerja yang loyo karena dikuasai manajemen pabrik, sampai dengan pola perdagangan di tingkat eceran yang lebih mirip gaya mafia narkoba, dst. Belum lagi isu-isu terkait dengan masalah lingkungan dan kesehatan serta tidak adanya tanggungjawab terhadap apa yang diakibatkan oleh rokok yang mereka produksi. Penumpukan kekayaan CEO dan pemilik industri rokok yang sangat fantastis berbanding terbalik dengan rendahnya tingkat kesejahteraan pekerja di sektor ini. Kondisi-kondisi inilah yang dicoba ditutupi dengan cara pengalihan isu bantuan Bloomberg yang diulang-ulang kayak radio rusak.

Semua lembaga yang menerima grant/donasi dari lembaga donor seperti Bloomberg/Bill Gates di Indonesia terdaftar sebagai badan/organisasi nirlaba yang sah, ber-NPWP dan menyampaikan SPT. Sesuai UU Yayasan, mereka juga menyampaikan laporan keuangan sebagai pertanggungjawaban publik. Sebaliknya organisasi-organisasi underbouw industri rokok justru menerima dukungan dalam berbagai bentuk dari industri, baik langsung maupun tidak langsung, tapi belum terbukti ada transparansi keuangan dari apa yang mereka terima sebagai bentuk pertanggungjawaban. Bisa jadi malah banyak di antara mereka yang cuma sekedar organisasi tanpa bentuk, sekedar kongkow-kongkow terima duit buat ongkos teriak-teriak dan demo anti pengendalian rokok, tapi terdaftar sebagai badan yang sah sajapun tidak, boro-boro ber-NPWP. Taruhan upah yang mereka terima tidak dipotong pajak! No free lunch, eh?

*****

Kembali ke kepentingan Bloomberg/Bill Gates. Seandainya pun ada kepentingan besar dari kedua filantropist tersebut dalam pengendalian tembakau, kepentingan mereka yang paling pas adalah melihat pasar yang berisi manusia Indonesia ini sehat. Kenapa? Karena manusia yang sehat itu akan semakin produktif dalam menggerakkan ekonomi dan menciptakan pertumbuhan. Mereka yang sehat akan lebih giat bekerja, memperoleh penghasilan, membayar pajak dan kemudian membelanjakan uangnya. Kondisi demikian akan menciptakan pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan daya beli, sehingga mengundang masuk investor-investor dari luar dan membantu mengalirkan modal yang menumpuk di satu tempat ke tempat lain untuk kemudian beranak-pinak mencetak laba dan menciptakan lapangan kerja baru, dst. Bagi Bill Gates, peningkatan kesejahteraan masyarakat Indonesia justru akan meningkatkan kemampuan konsumsi masyarakat sehingga mereka akan cenderung membeli software Windows asli, bukan bajakan seperti sekarang ini misalnya. Semua manusia normal di dunia yang normal menginginkan kondisi-kondisi positif seperti ini.

Sebaliknya industri rokok justru berlawanan keinginannya dengan kondisi-kondisi positif tersebut di atas. Industri rokok justru pingin manusia Indonesia merokok sejak usia muda, merokok sesering mungkin sehingga mengurangi waktu kerja efektif rata-rata per tahunnya sebanyak 50 hari, menghabiskan duit 400 trilyun untuk membakar rokok menjadi asap. Industri rokok hanya berkepentingan terhadap pertumbuhan satu sektor saja: cukai. Mereka tidak mau tahu bahwa konsumennya adalah masyarakat miskin yang semakin hari semakin penyakitan dan tidak memiliki daya hidup bahkan fatalis. Merokok mati, gak merokok mati, mending merokok sampai mati. Begitu falsafah sebagian besar perokok miskin. Mereka lebih memilih beli rokok daripada susu, lauk, dan biaya sekolah anaknya, sehingga industri rokok adalah industri yang justru ikut mendorong terjadinya pemiskinan struktural. Industri rokok hanya ingin menciptakan zombie-zombie, bukan konsumen yang sehat dan produktif. Zombie-zombie yang nantinya akan menjadi beban negara, menguras APBN melalui biaya kesehatan yang tinggi, minim bayar pajak dan menulari orang sehat lainnya. Darimana ekonomi negara diharapkan bisa berkembang dari kondisi-kondisi demikian? Industri rokok mencuri kesempatan emas negara seperti Indonesia menikmati bonus demografi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline