[caption id="attachment_409985" align="aligncenter" width="624" caption="TRIBUN / HERUDIN Warga Pademangan Timur Jakarta Utara menunjukkan Kartu Jakarta Sehat, yang diberikan Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo, Sabtu (10/11/2012)"][/caption]
Yuk, kita olah otak dan olah rasa sebentar. Mumpung masih pagi, udara masih segar dan kaya oksigen. Isi paru-paru kita dengan udara pagi sebanyak-banyaknya. Saya mau cerita sedikit tentang kebiasaan buruk merokok yang menurut sebagian masyarakat kita sebagai hak konstitusional sehingga mereka menuntut perlakuan yang sama.
Masih ingat setiap kali Idul Adha saat bagi-bagi daging kurban, kita dapati berita dijualnya daging-daging kurban tersebut oleh para penerima kurban? Ya, alasan mereka macam-macam, misalnya "Saya lebih butuh uang daripada daging!". Atau ini, "Saya tidak biasa makan daging!". Intinya, mereka mau antri berdesakan untuk memperoleh daging kurban agar dapat dijual kembali. Dengan uang itu mereka bisa menggunakan untuk hal-hal yang lebih urgent. Daging-daging tadi dijual dengan harga murah ke pedagang daging yang kemudian menjualnya kembali ke konsumen dengan harga pasar. Untungnya berlipat-lipat tentu saja. Walaupun kita tidak mungkin melarang para penerima daging kurban tadi menjual dagingnya kembali, tetap ada sesuatu yang tidak pas ketika kita dapati daging-daging tadi di rak-rak penjual daging dengan harga pasar. Saya termasuk yang curiga bahwa mereka 'berkomplot' dalam distribusi daging kurban ini.
Sementara di mimbar khotbah selalu didengungkan keutamaan berkorban dengan menyembelih hewan kurban pada hari Idul Adha. Sang imam mengatakan tentang kesamarataan di mana si miskin juga punya kesempatan untuk makan daging sebagaimana si kaya. Lha tapi kalo dagingnya dijual apa mereka ikut merasakan rasanya daging jika ternyata mereka lebih butuh uang.
Jika demikian apakah tujuan distribusi daging ke si miskin tadi tercapai? Ya dan tidak. Tujuan pertama yaitu daging diterima si miskin tercapai. Tapi tujuan kesamarataan agar mereka dapat menikmati daging tidak tercapai. Yang terjadi justru daging-daging tadi masuk ke dalam jalur pasar, dijual ke pedagang untuk dijual kembali ke konsumen. Ada motif 'keuntungan' yang tidak sesuai dengan tujuan dan semangat altruisme sebagaimana didengungkan di mimbar khotbah tadi.
*****
Ancaman Ahok kepada perokok untuk tidak dapat pengobatan gratis didasari pada pemikiran bahwa tujuan program Ahok adalah untuk meningkatkan taraf kesehatan masyarakat. Akan menjadi program yang aneh seandainya masyarakat yang menjadi sasaran program tersebut malah merayakannya dengan membuat dirinya tidak sehat supaya dapat menikmati program gratis tadi. Sampai pada titik ini, tuntutan Ahok benar. Masyarakat juga diminta peran sertanya, karena ini program pemberdayaan, bukan amal. Masyarakat diminta untuk juga menjaga kesehatan, bukan malah ramai-ramai merokok, terus sakit, terus dapet deh program gratis. Lha yang punya tubuh siapa?
Program ini dibiayai dari pajak, tentu pembayar pajak akan marah seandainya uangnya dipakai untuk hal-hal yang tidak tepat sasaran. Membiayai kesehatan perokok kurang lebih sama dengan menggarami lautan. Perokok tidak akan berhenti merokok sampai dia insyaf atau maut menjemputnya. Program sehat gratis menjadi tidak tepat sasaran jika ditujukan kepada para perokok yang mampu mengalokasikan uang Rp 300-400 ribu per bulan untuk rokok.
Lantas ada yang protes, hak untuk memperoleh layanan kesehatan gratis adalah hak semua warga DKI, baik perokok maupun bukan. Program Ahok tidak boleh diskriminatif terhadap warganya. Dengan kata lain, kalo gratis ya harus untuk semuanya, kalo gak gratis ya gak usah semua. Mungkin perokok juga akan menuntut dibangunnya panti rehab rokok sebagai hak konstitusional, dengan alasan yang ketagihan narkoba aja ada panti rehabnya. Yang terakhir ini bisa disepakati sepanjang rokok bisa ditetapkan sebagai bahan pengantar nikotin yang terlarang dulu, serupa dengan narkoba.
Ada satu hal penting yang tidak boleh dilupakan. Hak untuk memperoleh layanan kesehatan memang betul adalah hak konstitusional yang bahkan menjadi kewajiban negara terhadap warganya. Tapi rokok mencederai hak perokok untuk layanan kesehatan gratis karena alasan bahwa perokok secara sadar telah ambil resiko melepas hak tadi. Perokok tahu bahwa merokok dapat membahayakan kesehatan, jadi jika hal ini dilakukan, sama halnya dengan menggantikan kewajiban negara tadi. Kewajiban negara untuk menjaga kesehatan warganya beralih ke diri perokok. Perokok menjadi wajib menjaga kesehatannya sendiri.
Ini berlaku di asuransi. Saya pernah ditolak asuransi gara-gara saya perokok. Menurut mereka saya menempuh jalan hidup yang beresiko tinggi. Logis walopun pada saat itu saya marah. Saya boleh daftar lagi seandainya 'smoking related illness' saya hilang. Mereka sarankan saya pertama-pertama untuk berhenti merokok dulu. Saya marah. Marah kepada diri saya sendiri dan petugas asuransi sialan itu. Sekarang saya sudah bisa berpikir jernih karena otak saya sudah tidak lagi tersumbat nikotin. Saya akhirnya mendapatkan 'hak' saya untuk ikut program asuransi karena petugas asuransi tidak melihat alasan menolak saya karena saya tidak membahayakan diri. Saya teken kontrak polis asuransi beberapa tahun yang lalu dengan premi yang lumayan karena faktor usia, yang berarti resiko kesehatan memang tinggi di usia ini. Jadi berhenti merokok adalah tiket untuk masuk ke dunia fasilitas kesehatan atau askes tadi.
Sekarang diandaikan bahwa hubungan warga DKI dengan Pemda sebagai penyedia jasa layanan kesehatan mirip dengan penyedia asuransi tadi. Orang-orang beresiko tinggi ya harusnya membayar premi lebih tinggi daripada orang yang tidak beresiko. Lalu bagaimana dengan orang miskin? Ya, pajak yang dibayar orang-orang kaya menjadi subsidi untuk biaya kesehatan orang miskin. Masalahnya orang miskin itu terus-terusan merokok. Seandainya tujuan program Ahok tadi untuk meningkatkan kesehatan masyarakat, khususnya masyarakat miskin, maka sudah sepatutnya mereka menghentikan kebiasaan itu. Jika ada orang yang protes tentang hak semua orang untuk memperoleh kesehatan, sementara di saat yang sama mendorong konsumsi rokok, termasuk kepada keluarga miskin orang ini layak dicap hipokrit. Mengecam Ahok sebagai diskriminatif, tapi tutup mata pada kenyataan bahwa orang miskin dibiarkan menyakiti diri sendiri. Sementara di sisi lain mereka juga mengecam negara yang terlalu ikut-campur mengurusi hak dan urusan pribadi warganya seperti kegiatan merokok.
*****
Kita tidak bisa melarang orang miskin menjual daging kurban karena mereka membutuhkan uang. Mereka ini layak jadi target program kesehatan Ahok. Tapi ketika mereka menjual daging kurban tadi demi agar dapat membeli sebungkus rokok, rasanya semua orang normal yang otaknya tidak diracuni nikotin akan tidak setuju. Mungkin marah. Sama halnya dengan program Ahok ini diperuntukkan kepada orang-orang miskin yang tetap melanjutkan kebiasaan merokoknya tadi. Lha kok nyimut?
Jadi sebenarnya di mana keberpihakan orang-orang yang mengatakan Ahok diskriminatif tadi? Membela perilaku merokoknya atau membela orang miskinnya? Seandainya mereka sepakat membela orang miskin, sudah seharusnya mereka ikut berjuang agar akses orang miskin terhadap rokok bisa dibatasi atau diperketat. Bagaimana mereka bisa sehat, wong asupan gizi yang dibutuhkan justru diganti dengan asupan asap rokok? Penghasilan yang tidak seberapa justru untuk beli rokok? Ke mana orang-orang itu ketika orang miskin terkapar sakit akibat rokok?
Jangan mempolitisasi bahwa Ahok tidak berpihak kepada orang kecil, tapi sebaliknya orang-orang yang mengatakan Ahok diskriminatif inilah yang sebenarnya sedang menunggangi kemiskinan demi terbukanya akses rokok ke paru-paru semua orang, terutama si miskin. Merokok adalah pilihan hak setiap orang. Betul. Tapi Anda tidak usah berteriak-teriak antidiskriminasi kesehatan ketika membiarkan si miskin tetap tidak sehat karena menggunakan hak pilihnya untuk merokok, apalagi jika ternyata Anda adalah kepanjangan tangan kapitalis-kapitalis rokok, menerima upah dari tauke-tauke rokok. Anda sama sekali tidak berhak bersuara.
Saya sebenarnya tidak tega mau mengatakan 'shut the f*** up!' kepada orang-orang yang nyinyir terhadap program Ahok ini, karena saya tahu, nikotin telah membuat jalan pikirannya buntu dan tidak lagi bisa netral dalam menyikapi ancaman Ahok kepada perokok yang memang sudah seharusnya demikian.
Kasihan deh loe!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H