Lihat ke Halaman Asli

ROKOK, PAJAK DAN GENERASI MUDA

Diperbarui: 17 Juni 2015   10:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dengan tarif pajak/cukai rokok paling rendah sedunia, RI berpotensi kehilangan manfaat bonus demografi dalam waktu lebih singkat dari seharusnya. Pemerintah harus menghapus paradigma konyol seperti diberitakan disini. Ini bukan prestasi, tapi penghisapan darah rakyat! Pemerintah saat ini membiarkan cukai rendah agar industri rokok leluasa memproduksi dan menjual ke seluruh segmen usia penduduk RI. Ini berakibat meningkatnya jumlah perokok dalam kurun 10 tahun terakhir, sehingga mencapai 70 jt, termasuk anak2 dibawah 10 tahun yang sebelum2nya tidak ada.

Industri rokok meng-klaim bahwa pasar tembakau dalam negeri tidak mampu menutupi kebutuhan, sehingga kran impor tembakau dibuka yang dalam 5 tahun terakhir meningkat pesat. Industri rokok menggenjot produksi sehingga seperti kata pejabat Bea Cukai, "Produksi 361 miliar batang ini kita anggap paling tinggi sepanjang sejarah!" Pejabat BC saja optimis penerimaan cukai rokok akan terlampaui. Artinya, perokok RI makin rajin merokok daripada menabung, sampai beli 2-3 bungkus per hari. Atau, ada pertambahan perokok baru usia muda dan bahkan anak2 yang ikut berkontribusi meningkatkan penerimaan cukai.

*****

Jika pangsa pasar perokok di RI demikian luas (dan dalam), sebentar lagi akan muncul varian rokok yang diproduksi mesin dengan jumlah produksi lebih tinggi lagi. Buruh linting hanya akan jadi etalase industri rokok (buat membela diri saja), karena penjualan terbesar akan diperoleh dari rokok produksi mesin. Dengan kenaikan realisasi cukai yang mencapai rekor sejarah, industri akan genjot produksi lebih besar lagi, sehingga impor tembakau akan meningkat lebih banyak lagi.

Fakta produksi dan penjualan rokok yang masih meningkat tinggi ternyata terbukti tidak terpengaruh oleh aturan2 pengendalian rokok PP-109. Ini serupa dengan kasus di negara2 yang telah aksesi FCTC, dimana produksi dan konsumsi rokok tetap tinggi. Cina yang sdh aksesi FCTC terbukti justru malah mampu mengekspor tembakau ke RI. Di RI tembakau impor dari Cina itulah yang membunuh petani tembakau lokal. Tapi industri rokok berdalih bahwa aturan pengendalian tembakaulah yang membunuh petani. Lantas politisi keblinger karena gila kuasa malah memberi privilege kepada industri rokok via RUU Tembakau untuk makin leluasa impor dan produksi rokok.

Alhasil, rakyat RI yang dikorbankan. Perokok membiayai penyakitnya. Orang sekitar terkena dampak asapnya. Alokasi anggaran biaya kesehatan makin membesar di hampir seluruh daerah. Dengan tidak optimalnya penerimaan pajak, alokasi anggaran biaya kesehatan yang dari tahun ke tahun semakin meningkat ini akan membebani APBN, sehingga Pemerintah harus mengambil solusi untuk menggali potensi pajak lebih dalam lagi atau menaikkan tarif pajak penghasilan perusahaan dan orang pribadi. Atau jalan paling realistis adalah dengan menaikkan tarif cukai dan pajak rokok.

Stop biaya iklan rokok supaya pajak penghasilan industri rokok juga naik atau untuk menaikkan upah buruh rokok. Jika komponen biaya iklan rokok itu porsinya 30%-40% cost of production, berapa potensi pajak yang bisa didapat dari industri rokok jika iklan distop? Iklan rokok sepenuhnya ada dalam kendali industri rokok, jadi melarang iklan rokok jelas tidak ada hubungannya dengan nasib petani tembakau. Justru ditengarai sumbangan biaya kampanye oleh industri rokok untuk para caleg/pilkada/pemilu dll diambil dari pos ini. Dampak larangan iklan rokok terhadap industri kreatif juga tidak akan signifikan, karena industri telekomunikasi masih haus beriklan.

Ini juga menjadi bukti bahwa di negara2 yang melarang iklan rokok, tingkat konsumsi rokok juga tidak mengalami penurunan. Jepang contohnya. Dan kalau benar klaim industri rokok bahwa rokok itu adalah budaya, tentunya tanpa iklan pun orang akan tetap merokok toh?

*****

Dengan alokasi anggaran kesehatan yang semakin membesar karena tingkat prevalensi yang tinggi, perlu dicarikan sumber2 pendanaan APBN. Merokok bukan kegiatan yang produktif, sehingga harus diupayakan pengendalian, dan itu butuh biaya juga. Pemerintah harus memanfaatkan bonus demografi untuk hal yang produktif, bukan memanfaatkan paru2 anak2 bangsa untuk keuntungan industri rokok. Semakin tinggi produksi dan laba industri rokok, ini berarti biaya bagi jenis industri lain karena banyak karyawan yang sakit2an dan tidak produktif. Orang tidak produktif pajaknya kecil, apalagi orang sakit. Darimana bisa bayar pajak untuk menambal APBN kalau sakit2an?

Jika penerimaan pajak minim, akibatnya penyediaan sarana kesehatan juga minim. Jika rakyat usia produktif saat ini dimanfaatkan agar mengkonsumsi rokok, masa manfaat bonus demografi yang katanya sampai 2030, akan turun lebih cepat. Pada saat itu anak2 muda produktif bekerja akan membayar pajak hanya untuk membiayai APBN agar negara punya uang untuk membiayai kesehatan perokok yang sakit2an. Pada saat itu, jika iklan rokok tidak distop sejak sekarang, jumlah perokok diperkirakan mencapai 40% dari total penduduk.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline