Ketika Jokowi terpilih menjadi Presiden tahun 2014, Jokowi langsung menyusun kabinetnya dan menggabungkan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dengan Kementerian Kehutanan. Gabungan dua Lembaga itu menjadi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Kementerian Lingkungan yang sejatinya diperkuat tetapi Jokowi justru melemahkan fungsi pengawasan lingkungan dengan cara menggabungkan dengan kehutanan. Bagaimana dampak penggabungan KLH dengan Kehutanan terhadap kelestarian lingkungan?
Kebijakan Jokowi meleburkan KLH dengan kehutanan mengundang reaksi publik terutama aktivis lingkungan ketika itu. Dunia yang diancam pemanasan global (global warming) sejatinya prioritas program Presiden adalah menyelamatkan lingkungan hidup. KLH yang berfungsi untuk pengawasan digabungkan dengan pelaksana Pembangunan yaitu kehutanan. Sejatinya KLH harus kuat mengawasi kehutanan, perikanan dan kelautan, pertanian dan semua aspek pembangunan apakah sesuai dengan konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) atau tidak.
Dalam implementasinya hampir 10 tahun kepemimpinan Jokowi maka fungsi pengawasan terhadap lingkungan dari pusat hingga daerah nyaris tidak ada. Puncaknya, polusi udara di Jakarta mengancam anak manusia karena polusi udara yang teramat pekat. Dari hasil pantauan bahwa polusi udara itu mengancam kesehatan manusia. Tiap hari korban sakit akibat polusi udara terus meningkat. Presiden Jokowi memerintahkan Menteri Koordinator Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan untuk menangani polusi udara itu. Menangani masalah lingkungan dengan cara parsial. Padahal, permasalahan lingkungan harus diatasi secara holistik terintegratif.
Indonesia adalah negara yang meratifikasi konsep Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) tentang pembangunan berkelanjutan. Seluruh dunia sejak Konfrensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Jeneiro tahun 1972 sangat menyadari dampak negatif pembangunan. Dampak negatif itu harus dikendalikan. Kesadaran itu dimiliki bangsa Indonesia sejak Orde Baru (Orba) yang dimotori Prof. Emil Salim. Ketika Orba selain KLH untuk mengendalikan Pembangunan masih ada Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal).
Struktur Bapedal itu sistematis dari pusat hingga tingkat Kabupaten. Bapedal mengendalikan lingkungan secara sistematis karena struktur organisasinya sistemik. Sekitar tahun 2000-an Bapedal dibubarkan sehingga pengendalian lingkungan tidak lagi sistemik ke daerah. Pasca Bapedal dibubarkan mereka yang daerah menyikapi secara beragam. Apalagi di awal reformasi terjadi euforia otnomi daerah. Daerah ada yang memiliki dinas lingkungan hidup, ada pula yang mempertahankan Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah (Bapedalda).
Era Otonomi Daerah (OTDA) koordinasi KLH dengan dinas lingkungan hidup daerah atau dengan Bapedalda tidak begitu harmoni. Di era Otda pejabat dan staf yang ditempatkan di dinas lingkungan hidup atau Bapedalda adalah terkesan mereka yang tidak memahami tata kelola lingkungan. Kesannya hampir sama di seluruh Nusantara yaitu pejabat dan staf di dinas lingkungan atau Bapedalda adalah "buangan" dari dinas lain. Ketika dinas lingkungan atau Bapedalda adalah "buangan" maka KLH melakukan pelatihan pemahaman ilmu lingkungan. Ketika mereka sudah dilatih kemudian ditempatkan ke dinas lain. Permasalahan ini terjadi di hampir seluruh daerah di Indonesia.
Di era Jokowi hampir dipastikan bahwa kita fokus ke pertumbuhan ekonomi tanpa memperhitungkan resiko lingkungan. Selain fungsi pengendalian lingkungan yang nyaris tidak ada, lembaga Organisasi Non Pemerintah (Ornop) yang bergerak dibidang lingkungan hidup pun nyaris tak terdengar. Jokowi yang dianggap pro humanis karena latar belakang terkenal berhasil memindahkan pedagang secara humanis dipercaya Ornop kompetensinya. Mungkin juga karena para aktivis lingkungan yang selama ini aktif ditarik Jokowi mengisi jabatan yang membuat mereka tak bersuara lagi.
Dalam konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) ada tiga Lembaga yang harus sama kuat dalam menjaga keseimbangan pembangunan untuk menjaga kerusakan ekosistem. Ketiga Lembaga itu adalah perencanaan Pembangunan, pelaksana Pembangunan dan pengendalian lingkungan. Tiga Lembaga ini harus terpisah agar semua Pembangunan terkendali secara holistik. Kita mengenal Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bapenas), semua kementerian yang bekerja termasuk dalam kategori pelaksana. Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) sejatinya Lembaga yang sangat kuat untuk mengendalikan Pembangunan secara holistic terintegratif.
Kita dapat merasakan secara langsung maupun tidak langsung selama hamper 10 tahun ini Pembangunan tanpa dikendalikan oleh kementerian yang kuat dari pusat hingga ke daerah. Jokowi mencanangkan Proyek Strategis Nasional (PSN) sampai kini publik tidak memahami apakah PSN itu masuk kategori berkelanjutan atau tidak? PSN pariwisata di Danau Toba, Mandalika dan keseluruhan PSN tidak dapat kita nilai apakah berkelanjutan atau tidak. Faktanya, PSN orientasinya adalah proyek raksasa yang tidak mendapat kendali dari pemerintah maupun Ornop.
Pembangunan jalan tol yang sangat dibanggakan di era Jokowi itu pun tidak dapat dievaluasi dampaknya secara holistik. Publik hanya tahu bahwa Pembangunan jalan tol sangat baik karena mempercepat satu daerah ke daerah lain. Tetapi resiko Pembangunan terhadap sosial masyarakat dan ekosistem tidak pernah mendapat perhatian khusus. Debat jalan tol dan PSN menjadi bagian dari debat kusir karena tidak ada data-data secara terbuka untuk diperdebatkan di ruang publik.
Menyadari bumi makin panas dan bangsa kita telah meratifikasi konsep Pembangunan berkelanjutan yang disepakati Bersama PBB maka pasca pemilihan Presiden tahun 2024 Indonesia harus memperkuat KLH agar semua Pembangunan berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan membuat seluruh pabrik bekerja dengan resiko polusi yang sangat rendah, konservasi tidak seperti era Jokowi yang sekedar tanam kemudian lupa. Di era Jokowi hampir tidak ada konservasi lahan dan hutan yang dapat kita banggakan. Era Jokowi adalah era eksploitasi tanpa kendali. Puncak eksploitasi tanpa kendali itu adalah konflik Pulau Rempang Kepulauan Riau.