Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) telah memutuskan bahwa hakim (Mahkamah Konstitusi) MK telah melakukan pelanggaran keras kode etik MK. Konsekuensinya ketua MK Anwar Usman diberhentikan dari ketua MK. Pertanyaan muncul bagaimana dengan keputusan MK nomor 90/PUU-XX/2023? Bagaimana konsekuensi produk hukum dari hakim yang melanggar keras kode etik perilaku hakim? Masihkah kita percaya kebenaran keputusan hukum dari hakim yang melakukan pelanggaran keras kode etik MK?
Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie ketika menyikapi keputusan MK Nomor 90/PUU-XX/2023 di berbagai media mengatakan bahwa kepercayaan terhadap MK harus dikembalikan. Dalam rangka pengembalian kepercayaan publik ke MK maka MKMK melakukan pemeriksaan bukti-bukti dan memeriksa hakim MK.
Bagaimana kepercayaan publik ke MK paska keputusan MKMK? Publik menyikapi secara beragam. Jika kita mencermati keputusan MKMK yang memberhentikan ketua MK pertanyaan yang muncul di publik adalah apakah sah keputusan MK yang sudah jelas melanggar kode etik? Secara rasional dan akal sehat sulit menerimanya. Jika cara dan proses mengambil keputusan sudah salah secara rasional akal sehat mengatakan bahwa keputusan pasti salah.
Keputusan MK yang diputuskan MKMK sebagai keputusan yang dilakukan oleh hakim yang melanggar pelanggaran keras kode etik. Mantan ketua MK Anwar Usman yang diadili MKMK merasa diperlakukan adil oleh keputusan MKMK. Perbedaan ini membuat publik yang awam terhadap hukum makin bingung. Bagaimana menegakkan kebenaran dan keadilan di negeri ini? Sejatinya keputusan yang diputuskan hakim yang berperilaku melanggar keras kode etik MK tidak sah. Logika berpikir linier dan sistematik sejatinya demikian.
Niat awal ketua MKMK Jimly Asshiddiqie untuk mengembalikan kepercayaan publik ke MK nampaknya sulit dipenuhi. Keputusan MKMK hanya membongkar borok di MK selama ini padahal harapan dari siding MKMK adalah kepastian dari keputusan MK Nomor 90/PUU-XX/2023 terkait usia Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden. Jika niatnya membuat publik percaya, maka niat itu tidak tercapai. Publik kini mengetahui perilaku hakim di MK melakukan pelanggaran keras kode etik hakim di MK.
Keputusan MK Nomor 90/PUU-XX/2023 yang memperbolehkan warga negara yang berusia dibawah 40 tahun dengan syarat pernah menjadi pemimpin daerah sah. Keputusan itu sarat dengan kepentingan yang dikenal dengan conflict of interest karena ketua MK Anwar Usman adalah paman Gibran.
Pihak tertentu mencoba meyakinkan bahwa Partai Solidaritas bangsa dan mahasiswa asal Solo bernama Almas Tsaqibbirru tidak ada kaitan dengan Gibran. Apakah publik percaya bahwa uji materi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) tidak terkait dengan ambisi Gibran menjadi Cawapres?
Langkah politik Jokowi dengan Gibran menjadi Walikota Solo, menantu Jokowi Bobby Nasution menjadi Walikota Medan, kemudian Kaesang tiba-tiba menjadi ketua umum PSI, apakah publik percaya bahwa uji materi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) tidak bagian dari skenario politik istana? rasanya sulit memercayai itu berjalan secara alamiah.
Suka atau tidak suka, publik percaya bahwa Jokowi sedang membangun dinasti politik. Dinasti politik diikuti oleh dugaan pemanfaatan celah hukum untuk mewujudkan ambisi dinasti politik dinasti itu. Bagi publik yang berpendapat bahwa dinasti politik Jokowi tidak baik bagi demokrasi maka publik memiliki kedaulatan. Kedaulatan itu dapat digunakan untuk tidak memilih pasangan Capres/Cawapres produk hukum yang dihasilkan oleh hakim MK yang melakukan pelanggaran berat kode etik hakim MK. Dalam Pemilu 2024 yang akan datanglah kelihatan apakah Daulat rakyat itu dimanfaatkan dengan baik.
Perdebatan demi perdebatan akan terus berlangsung tetapi dalam debat kita harus terus berkomitmen agar Pemilu tahun 2024 berjalan dengan baik. Demokrasi harus kita manfaatkan untuk terus naik kelas agar kita matang dalam berdemokrasi. Bangs akita akan maju jika kita dewasa dalam berdemokrasi. Semoga proses menjelang Pemilu tahun 2024 berjalan dengan baik dan Pemilu tetap kita jadikan demokrasi yang riang gembira.