Sekitar tahun 1985 ada kisah nyata seorang suami istri yang profesinya petani sedang mengayak untuk memisahkan padi hasil panen dari sekam dan daun-daun padi dari padi. Ketika mereka bekerja bersama untuk mendapatkan padi yang bersih pakai anduri (ayakan). Alat bantu itu ditonjokkan suaminya Dangol ke istri Riwa hingga terluka. Riwa pun menangis pergi pulang ke rumah dan mencari racun yang kemudian langsung diminum. Sambil meminum racun, Riwa berkata, " supaya puas hatimu Dangol". Tidak lama kemudian Riwa meninggal.
Tadi siang aku pergi ke tempat itu sekaligus mengigatkanku ketika menggembala kerbau di masa kecil. Saya menanyakan bagaimana kisah tragis tahun 1985 itu? Penduduk setempat menyatakan bahwa kedua anak yang ditinggalkan telah menikah. Anak laki-laki dan perempaun telah menikah. Keduanya sarjana disekolahkan saudaranya yang anak dari si Santut yang pernah membunuh sopir itu. Santut pernah membunuh sopir itu pun saya kenal. Dia membunuh hanya karena tersinggung ketika itu. Ketika Santut keluar penjara, dia mengaku karena tersinggung.
Ketika pembunuh sopir itu di penjara, istrinya memperjuangkan anaknya hingga berhasil sampai pergi merantau untuk bekerja. Setelah anak-anaknya berhasil ibunya meninggal tidak lama setelah suaminya keluar dari penjara. Ketika ibu yang merawat mereka meninggal dan hidup bersama dengan ayah yang menghabiskan waktunya di penjara puluhan tahun, anak-anaknya berkomitmen untuk memberikan apa yang membuat ayahnya bahagia. Biarlah dosanya ditanggung ayah, tanggungjawab kami adalah membuat ayah Bahagia. Kami ingin ayah kami menjadi laki-laki paling bahagia di dunia, katanya. Lima anak-anaknya semua perempuan.
Mengapa Riwa yang diperlakukan kasar oleh Santut itu langsung memutuskan untuk bunuh diri dengan cara minum racun? Ternyata kekerasan demi kekerasan telah berulangkali dilakukan Santut. Riwa telah lama putus asa. Dia mencoba mengadu ke orang tuanya dan orang tuanya berkata agar mempertahankan keluarganya. Riwa merasa ditolak oleh kedua orang tua dan keluarganya. Konon, orang tuanya juga marah jika putrinya mengadu. Ibu itu putus asak arena tidak ada lagi tempatnya untuk berlindung. Riwa hidup dengan bergelimang air mata untuk merawat anaknya.
Orang tuanya tak menerima pengaduan itu karena mereka kecewa berat dengan Riwa. Riwa belum lulus sekolah pacaran dan hamil sebelum nikah. Riwa sangat memalukan keluarga. Mungkin orang tuanya mengatakan agar putrinya menerima konsekuensi perbuatannya. Orang tua sudah menyekolahkan dan ternyata hamil ketika masih mereka sekolah. Orang tuanya mungkin berpendapat agar putrinya menahan penderitaan sebagai konsekuensi perbuatannya.
Paling menyedihkan lagi, ketika istrinya meninggal, anaknya paling besar yang belum sekolah disuruh membantu bekerja di sawah. Mereka membajak sawah dengan tenaga kerbau. Anak pertamanya yang belum sekolah bertugas untuk menari kerbau agar ketika membajak sawah dapat sesuai dengan yang diinginkan Santut. Ketika kerbau melakukan kesalahan, ayahnya meyalahkan anaknya dengan cara membantingkan ranting bambu ke anaknya. Ranting bambu itu biasanya digunakan untuk membanting kerbau agar menurut kepada perintah majikan.
Kekerasan yang dilakukan Santut ke Riwa kini berubah ke anaknya. Anaknya menderita karena kekejaman Santut. Hampir di setiap pekerjaan, anaknya mendapatkan kekerasan dari Santut. Anak kecil yang belum sekolah itu akhirnya pergi ke rumah kakek neneknya dari Riwa. Mereka berdua yang belum sekolah ketika itu berjalan kaki sekitar 30 km. Berjalan kaki dari desa yang amat terpencil ke tempat kakeknya neneknya melewati jalan desa dan jalan raya.
Bagaimana mungkin anak yang belum sekolah dan anak kedua yang baru belajar bisa berjalan kaki ke rumah kakeknya yang cukup jauh? Kejadian ini dianggap sebagai keajaiban. Menurut cerita tetangganya, kejadian itu ajaib. Keberhasilan mereka sekarang juga ajaib. Kondisi mereka sekarang hanya karena pemeliharaan Tuhan semata.
Menurut ibu tetangga mereka bahwa kemampuan kedua anaknya sampai ke rumah kakek neneknya diyakini karena ditemani tondi (spiritual) Riwa. Hanya dengan spiritual kejadian itu bisa diterima. Tak masuk di akal anak kecil sampai ke rumah kakek neneknya. Mengapa mereka terpikir untuk pergi ke rumah kakek neneknya? Siapa yang mengajari mereka? Darimana mereka tau Alamat kakek neneknya. Kejadian itu tidak masuk diakal, katanya.
Tragedi yang menyakitkan itu terjadi tahun 1985. Masihkah ada kekerasan laki-laki ke istri dan anak-anak? Semoga kisah ini menjadi pembelajaran bagi kita semua agar melatih kecerdasan emosi. Betapa tragis dampak dari emosi yang tidak terkendali.