Esensi dari kurikulum merdeka adalah menciptakan ruang bagi setiap individu untuk tumbuh dan berkembang sesuai bakat dan keunikannya masing-masing. Cara guru mengimpelemtasikan kurikulum merdeka adalah mengenal setiap siswa karena setiap siswa memiliki kurikulum sendiri. Dari pemahaman inilah saya kaget ketika anak-anak saya di Sekolah Sepak Bola (SSB) yang bakatnya bermain bola sulit diberikan izin bertanding di liga resmi yang pembinanya Bupati Tangerang dan kegiatan seleksi untuk sebuah turnamen resmi.
Kendala utama implementasi kurikulum merdeka adalah kurangnya jumlah guru, kompetensi guru dan fasilitas sekolah dalam rangka implementasi guru merdeka dalam mewujudkan bakat setiap siswa. Di berbagai sekolah beragaman bakat seperti matematika, sains, musik, seni budaya, dan olah raga. Bakat itu memiliki cabang yang luas.
Cabang musik, olah raga sangat banyak. Cabang olah raga beragam seperti sepakbola, basket, Volly, renang, atletik, bela diri dan lain sebagainya. Seni musik dan seni budaya pun sangat beragam. Bagaimana guru yang kemampuannya sangat terbatas memetakan potensi siswa? Dalam kondisi inilah dibutuhkan kompetensi guru untuk kolaborasi antar siswa dan elaborasi secara terus menerus.
Jika guru tidak belajar secara terus menurus (up grade) untuk mempelajari setiap potensi siswa maka kurikulum meredeka akan gagal. Tetapi faktanya adalah apakah perbandingan guru dan siswa yang sangat timpang memungkinkan untuk memenuhi kebutuhan siswa yang telah dipetakan? Fakta, jumlah siswa yang banyak dengan segala perilakunya sangat melelahkan bagi guru. Bagaimana guru mampu memberikan kebutuhan setiap kebutuhan siswa yang potensinya berbeda-beda? Dalam konteks ini guru sangat letih.
Dalam kondisi sulit yang dialami guru itulah sejatinya harus fleksibil. Fleksibilitas dan mengajak poetnsi dari luar untuk bekerjasama di berbagai bidang. Mislanya, sekolah bisa kerjasama dengan lembaga yang mengoptimalkan potensi olahraga anak-anak. Sekolah bisa kerjasama dengan lembaga yang mengelola olaraga dan musik untuk mengoptimalkan bakat olahraga dan musik anak-anak. Dengan demikian anak-anak berprestasi dibidang olahraga, musik dan berbagai bakat yang dimiliki siswa.
Dalam realita yang saya alami di SSB yang kami kelola berbeda. Anak-anak kami yang hendak bertanding di Tangerang Junioe League (TJL) kesulitan mendapat izin dari sekolah. Jika kita memahami makna kurikulum merdeka sejatinya guru mendorong anak-anak untuk bertanding dalam rangka menggapai mimpi anak-anak SSB untuk menjadi pemain bola profesional.
Kegiatan TJL sejatinya didukung sekolah atau dibutuhkan tindakan Bupati Tangerang selaku Pembina kegiatan menginstruksikan ke Kepala Sekolah (Kepsek) agar sekolah mengizinkan anak-anak dari sekolah untuk dipastikan ikut bertanding. Dengan demikian anak-anak merasa nyaman bertanding. Dalam realita anak-anak SSB harap-harap cemas setiap minggu apakah dikasih izin sekolah untuk bertanding? Dalam kondisi ini, anak-anak kita tidak bahagia ketika menghadapi antara kegiatan sekolah dan pertandingan TJL.
Kurikulum merdeka dinyatakan berhasil ketika anak-anak bahagia dengan kemampuan kolaborasi siswa dan seluruh kegiatan yang mendukung bakat dan keunikannya. Dalam rangka menggapai kebahagiaan siswa maka lembaga pendidikan dan para stakeholder harus berkolaborasi agar tidak menyulitkan siswa dalam rangka menggapai cita-cita siswa. Paradigma lama bahwa siswa harut menuruti keinginan guru perlu ditinjau ulang. Sebab paradigma kurikulum merdeka adalah guru harus mendukung potensi siswa. Mempersulit anak-anak SSB mengikuti pertandingan resmi yang diadakan pemerintah tidaklah sesuai dengan makna kurikulum merdeka. Sejatinya sekolah berterima kasih kepada Pemerintah dan SSB karena menyediakan ruang untuk mengasah bakat sepak bola peserta didik.