Saya berulangkali mengutip pernyataan Prof. Yohanes Surya yang mengatakan bahwa," tidak ada anak yang bodoh, tetapi yang ada adalah anak-anak yang belum menemukan guru yang tepat". Prinsip bahwa tidak ada anak yang bodoh, maka kami selalu konsisten melakukan pembaruan (up grade) kompetensi guru.
Ketika saya menulis di beranda medsosku, ibu guru Rumiati Sihotang dari Samosir menghubungi saya untuk mengaminkan status medsosku yang sebenarnya kutipan itu. Tulisan ini akan merangkum pergumulan beberapa guru dari kawasan Danau Toba selama pandemi.
Dalam konteks pandemi umumnya guru kesulitan mengendalikan siswa. Kesulitan itu dialamai guru karena metode daring. Dengan sistem atau metode daring guru kesulitan mengetahui sejauh mana pemahaman setiap siswa terhadap esensi pelajaran yang diberikan. Kesulitan itu diperparah ketika orang tua siswa tidak mendukung.
Orang tua tidak mendukung dalam hal pengawasan dan fasilitas di rumah. Cukup banyak persentase siswa yang tidak memiliki laptop. Siswa yang tidak memiliki laptop biasanya menggunakan handphon android.
Kadang, kalau keluarga di kawasan Danau Toba ada anaknya 4 orang atau lebih di SD, SMP dan SMA tentu kesulitan. Selain kesulitan laptop dan handphone, siswa juga kesulitan membeli pulsa.
Orang tua tidak hanya kurang memperhatian anaknya, ada juga orang tua membawa handphone ke ladang, ke onan atau ke pesta. Kalau handphone dibawa ke ladang, ke onan atau ke pesta, bagaimana siswa belajar?. Bahkan ada orang tua yang memanfaatkan anaknya untuk bekerja di ladang.
Sejatinya, dimasa pandemi ini orang tua menjadi kunci untuk menolong anak didik untuk belajar. Sebab tiga hal yang dibangun kepada setiap anak seperti kognitif, afektif dan motorik siswa hanya orang tua yang menjadi kunci penilaian. Dalam konteks kognitip pun, siswa bisa saja mengelabui guru seolah dimengerti karena bantuan orang lain.
Dalam konteks inilah orang tua harus menyadari bahwa kunci sukses pembelajaran dimasa pandemic adalah orang tua.
Cerita guru dari Kawasan Danau Toba.