Lihat ke Halaman Asli

Gurgur Manurung

TERVERIFIKASI

Lahir di Desa Nalela, sekolah di Toba, kuliah di Bumi Lancang Kuning, Bogor dan Jakarta

Gereja Bukan Operator Pembangunan

Diperbarui: 28 Maret 2021   06:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: dokpri

Pemerintahan Jokowi  memiliki  program menjadikan kawasan Danau Toba  menjadi destinasi wisata super prioritas.   Daerah lain  yang menjadi daerah super prioritas adalah Mandalika  di Nusa Tenggara Barat (NTB).  Wilayah Danau Toba   dikelola dengan cara mendirikan  Badan Otoritas Danau Toba  (BODT) dan Mandalika dikelola oleh  Badan Usaha Milik Negara (BUMN).  Paling menarik perhatian publik adalah cara BODT  yang otoriter  mendaptkan lahan adat   di daerah  Sigapiton dan Motung.

 Kehadiran Negara di  Sigapiton dan Motung Kecamatan Ajibata, Kabupaten Toba, Sumatra Utara  dengan cara kekerasan dengan menggunakan kekuatan Negara yaitu klaim hutan lindung dan hutan lindung itu  dikeluarkan Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLHK) demi investor.   Pendekatan BODT sama sekali mengabaikan kaidah  konsep dasar pembangunan berkelanjutan  (sustainable development) yang dicanangkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sejak tahun 1972 di Rio de Jeneiro.

Awal  cerita bahwa  kawasan Danau Toba dijadikan tujuan wisata super prioritas  hampir semua warga bergembira.  Masyarakat berharap  negara hadir untuk mempercepat pembangunan.   Di era  Otonomi Daerah (Otda)  tujuh Pemerintah Kabupaten  (Pemkab)   di wilayah Danau Toba  seperti Kabupaten Tapanuli Utara, Toba, Samaosir, Humbang Hasundutan, Simalungun, Dairi,  Pakpak Barat sejatinya dikoordinasikan atau diberdayakan  untuk menyambut program destinasi  wisata super prioritas tetapi fakatnya menjadi penonton dan foto-foto saja kalau  pejabat pusat datang untuk melihat program BODT.  Fungsi Kepala Daerah di kawasan Danau Toba nyaris tidak ada.   Tugas Pemkab untuk membebaskan lahan saja untuk kepentingan BODT.

Dalam konsep pembangunan berkelanjutan  sangat jelas menyebutkan bahwa penduduk lokal menjadi tuan.  Penduduk lokal menjadi tuan karena merekalah pemilik budaya,  pemangku kepentingan utama untuk melestarikan alam yang sudah teruji berkelanjutan mereka  tinggali.  Tetapi, BODT hadir dengan otoriter.  Otoriter dengan menggunakan kekuatan  negara untuk menguasai lahan adat masyarakat.  Di Sigapiton misalnya, selama ini jika  masyarakat ambil kayu di hutan, mereka ditangkap padahal hutan itu milik mereka sebelum bangsa ini merdeka sejak tahun 1945. Guru besar Fakultas Hukum Universitas  Gajah Mada  Prof. Dr. Maria Sumarjono, S.H mengatakan bahwa perlindungan  masyarakat adat adalah hutang Negara yang belum diberikan. Karena itu RUU Masyarakat Hukum Adat (MHA) harus segera disahkan.

Kehadiran BODT  sejatinya membawa angina segar bagi rakyat jika pendekatanya sesuai konsep dasar membangun yang telah diratifikasi  oleh pemerintah Republik Indonesia.  BODT juga sejatinya hadir menyelesaikan konflik kepentingan antar 7  Kabupaten  di kawasan Danau Toba. Faktanya BODT hadir mendatangkan konflik baru dan melakukan kekerasan kepada rakyat Sigapiton dan Motung.  Mengapa kehadiran pembangunan menghadirkan konflik? Bagaimana masa depan wisata jika dimulai dengan konflik?

Dalam budaya Batak yang lazim adalah jika kita ke suatu wilayah maka sikap kita yang pertama adalah manise (bertanya)  kepada masyarakat setempat bagaimana adat kebiasaan mereka.  Tetapi pendekatan BODT adalah pendekatan kekuasaan  karena itulah masyarakat Sigapiton  melakukan perlawanan dengan kekuatan yang mereka miliki.   Ketika  BODT hadir membawa  traktor dan alat-alat lain untuk menguasai lahan masyarakat adat mereka  menyingsingkan bajunya yang pernah mnejadi viral. Kaum perempuan buka baju melawan aparat hukum yang digunakan BODT.  Masyarakat Sigapiton menjerit dan berteriak   untuk mempertahankan haknya.   Jeritan hati mereka nyaris tidak ada yang melindungi. Saya menyaksikan sendiri bagaimana aparat hukum melakukan kekerasan terhadap mereka yang usinya sudah uzur.  Usia uzur tak menghentikan semangat mereka melakukan perlawanan.

Sikap gereja

Pada umumnya dikawasan Danau Toba  penduduknya beragama Kristen. Karena itu posisi gereja  sangat penting. Ketika konflik dahsyat itu terjadi, saya melihat ada  beberapa pendeta dari gereja yang berbeda   hadir  untuk menunjukkan keprihatinannya.  Kami  miris melihat perlakuan BODT  sangat kejam.  Tak kuasa melihatnya secara langsung.  Kok, kehadiran pembangunan dampaknya menyakiti rakyat?.  Sungguh memprihatinkan melihat secara langsung ketika itu.

Melihat pola pendekatan BODT yang salah kaprah, sejatinya membawa kegembiraan tetapi  menghasilkan konflik yang menyakitkan maka gereja harus berpihak kepada yang lemah.  Karena itulah kehadiran para pendeta distrik Toba dalam bentuk aksi  sosial HKBP bersama BODT  di Sigapiton sangat melukai rakyat Sigapiton yang sedang mencari keadilan.  Makna aksi sosial HKBP dimaknai sebagai memberikan legitimasi terhadap  BODT.

Gereja sejatinya bertugas untuk memastikan apakah hak-hak rakyat/jemaat  terpenuhi atau tidak?. Gereja sejatinya memastikan bagimana masa depan  umat dan  bagimana masa depan umat. Gereja bertugas sebagai control dan mengayomi umat bukan alat BODT untuk memperlancar misinya.  Gereja bisa saja melatih umatnya untuk siap menjadi masyarakat wisata tetapi jaga jarak dengan penguasa. 

Gereja bukan operator BODT dengan cara menerima dana BODT untuk melatih umatnya. Gereja harus mandiri agar bersuara benar sebagaimana nabi menyuarakan kebenaran Tuhan.  Terlalu dalam gereja jatuh ke kubangan jika mau jadi operator penguasa, apalagi sekelas BODT.  Sekali lagi, gereja sebagai control untuk memastikan hak umat bukan operator untuk menjalankan misi BODT.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline