Pemerintahan Jokowi memiliki program menjadikan kawasan Danau Toba menjadi destinasi wisata super prioritas. Daerah lain yang menjadi daerah super prioritas adalah Mandalika di Nusa Tenggara Barat (NTB). Wilayah Danau Toba dikelola dengan cara mendirikan Badan Otoritas Danau Toba (BODT) dan Mandalika dikelola oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Paling menarik perhatian publik adalah cara BODT yang otoriter mendaptkan lahan adat di daerah Sigapiton dan Motung.
Kehadiran Negara di Sigapiton dan Motung Kecamatan Ajibata, Kabupaten Toba, Sumatra Utara dengan cara kekerasan dengan menggunakan kekuatan Negara yaitu klaim hutan lindung dan hutan lindung itu dikeluarkan Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLHK) demi investor. Pendekatan BODT sama sekali mengabaikan kaidah konsep dasar pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang dicanangkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sejak tahun 1972 di Rio de Jeneiro.
Awal cerita bahwa kawasan Danau Toba dijadikan tujuan wisata super prioritas hampir semua warga bergembira. Masyarakat berharap negara hadir untuk mempercepat pembangunan. Di era Otonomi Daerah (Otda) tujuh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) di wilayah Danau Toba seperti Kabupaten Tapanuli Utara, Toba, Samaosir, Humbang Hasundutan, Simalungun, Dairi, Pakpak Barat sejatinya dikoordinasikan atau diberdayakan untuk menyambut program destinasi wisata super prioritas tetapi fakatnya menjadi penonton dan foto-foto saja kalau pejabat pusat datang untuk melihat program BODT. Fungsi Kepala Daerah di kawasan Danau Toba nyaris tidak ada. Tugas Pemkab untuk membebaskan lahan saja untuk kepentingan BODT.
Dalam konsep pembangunan berkelanjutan sangat jelas menyebutkan bahwa penduduk lokal menjadi tuan. Penduduk lokal menjadi tuan karena merekalah pemilik budaya, pemangku kepentingan utama untuk melestarikan alam yang sudah teruji berkelanjutan mereka tinggali. Tetapi, BODT hadir dengan otoriter. Otoriter dengan menggunakan kekuatan negara untuk menguasai lahan adat masyarakat. Di Sigapiton misalnya, selama ini jika masyarakat ambil kayu di hutan, mereka ditangkap padahal hutan itu milik mereka sebelum bangsa ini merdeka sejak tahun 1945. Guru besar Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada Prof. Dr. Maria Sumarjono, S.H mengatakan bahwa perlindungan masyarakat adat adalah hutang Negara yang belum diberikan. Karena itu RUU Masyarakat Hukum Adat (MHA) harus segera disahkan.
Kehadiran BODT sejatinya membawa angina segar bagi rakyat jika pendekatanya sesuai konsep dasar membangun yang telah diratifikasi oleh pemerintah Republik Indonesia. BODT juga sejatinya hadir menyelesaikan konflik kepentingan antar 7 Kabupaten di kawasan Danau Toba. Faktanya BODT hadir mendatangkan konflik baru dan melakukan kekerasan kepada rakyat Sigapiton dan Motung. Mengapa kehadiran pembangunan menghadirkan konflik? Bagaimana masa depan wisata jika dimulai dengan konflik?
Dalam budaya Batak yang lazim adalah jika kita ke suatu wilayah maka sikap kita yang pertama adalah manise (bertanya) kepada masyarakat setempat bagaimana adat kebiasaan mereka. Tetapi pendekatan BODT adalah pendekatan kekuasaan karena itulah masyarakat Sigapiton melakukan perlawanan dengan kekuatan yang mereka miliki. Ketika BODT hadir membawa traktor dan alat-alat lain untuk menguasai lahan masyarakat adat mereka menyingsingkan bajunya yang pernah mnejadi viral. Kaum perempuan buka baju melawan aparat hukum yang digunakan BODT. Masyarakat Sigapiton menjerit dan berteriak untuk mempertahankan haknya. Jeritan hati mereka nyaris tidak ada yang melindungi. Saya menyaksikan sendiri bagaimana aparat hukum melakukan kekerasan terhadap mereka yang usinya sudah uzur. Usia uzur tak menghentikan semangat mereka melakukan perlawanan.
Sikap gereja
Pada umumnya dikawasan Danau Toba penduduknya beragama Kristen. Karena itu posisi gereja sangat penting. Ketika konflik dahsyat itu terjadi, saya melihat ada beberapa pendeta dari gereja yang berbeda hadir untuk menunjukkan keprihatinannya. Kami miris melihat perlakuan BODT sangat kejam. Tak kuasa melihatnya secara langsung. Kok, kehadiran pembangunan dampaknya menyakiti rakyat?. Sungguh memprihatinkan melihat secara langsung ketika itu.
Melihat pola pendekatan BODT yang salah kaprah, sejatinya membawa kegembiraan tetapi menghasilkan konflik yang menyakitkan maka gereja harus berpihak kepada yang lemah. Karena itulah kehadiran para pendeta distrik Toba dalam bentuk aksi sosial HKBP bersama BODT di Sigapiton sangat melukai rakyat Sigapiton yang sedang mencari keadilan. Makna aksi sosial HKBP dimaknai sebagai memberikan legitimasi terhadap BODT.
Gereja sejatinya bertugas untuk memastikan apakah hak-hak rakyat/jemaat terpenuhi atau tidak?. Gereja sejatinya memastikan bagimana masa depan umat dan bagimana masa depan umat. Gereja bertugas sebagai control dan mengayomi umat bukan alat BODT untuk memperlancar misinya. Gereja bisa saja melatih umatnya untuk siap menjadi masyarakat wisata tetapi jaga jarak dengan penguasa.
Gereja bukan operator BODT dengan cara menerima dana BODT untuk melatih umatnya. Gereja harus mandiri agar bersuara benar sebagaimana nabi menyuarakan kebenaran Tuhan. Terlalu dalam gereja jatuh ke kubangan jika mau jadi operator penguasa, apalagi sekelas BODT. Sekali lagi, gereja sebagai control untuk memastikan hak umat bukan operator untuk menjalankan misi BODT.