Menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 9 Desember 2020 pada umumnya hal yang pertama ditanya adalah apa Visi dan Misi Pasangan Calon (Paslon). Penanya lupa bahwa Visi dan Misi dengan mudah dibuatkan oleh konsultan politik dengan bantuan para pakar yang memiliki gelar akademik. Mereka juga lupa, master plan kota dan kawasan pun orang kita senang dibuatkan konsultan asing. Umumnya, kita senang dengan penjabaran visi dan misi tanpa sikap kritis apakah realistis atau tidak. Dalam pemahaman visi dan misi pun acapkali hanya enak didengar. Sesungguhnya, apa visi dan misi yang relevan dan kontekstual dalam konteks Pilkada?.
Dalam kenyataannya pemahaman Visi dan Misi seolah milik pribadi. Padahal, semua warga negara visi dan misinya harus sesuai dengan UUD 1945. Tujuan negara hadir untuk melindungi dan mensejahterakan rakyat. Dengan kata lain negara hadir memenuhi kebutuhan rakyatnya agar nyaman, aman dan sejahtera. Tujuan negara itulah diterjemahkan oleh daerah dengan program yang konkrit agar sesuai dengan kebutuhan dasar dan impian rakyat di setiap daerah. Jadi, visi dan misi yang dijabarkan bukan berdasarkan visi dan misi pribadi tetapi bagimana menerjemahkan kehadiran negara dalam konteks lokal atau daerah.
Dalam parkteknya mewujudkan terjemahan dari makna kehadiran negara bagi rakyat memiliki proses politik yang tarik menarik. Dalam realitanya, ketidakadilan terjadi karena friksi politik. Karena friksi politik itulah membutuhkan kekuatan politik untuk mewujudkannya. Faktanya, visi dan misi yang sangat bagus tidak terwujud karena tidak didukung kekuatan politik. Apalagi jika politik kita tidak rasional.
Rasionalisasi politik begitu penting. Walaupun dalam kenyataan, politik yang dirasionalisasi bisa kalah karena kekuatan politik bisa mengubahnya. Dalam kondisi inilah, dibutuhkan kekuatan politik rakyat untuk memilih pemimpin yang kapabel, akseptabel dan berpihak kepada keadilan.
Tarik menarik kekuatan politik yang pelakunya adalah Partai Politik (Parpol) membuat konstituen ada yang kecewa. Rakyat sedikit lega dengan diperbolehkannya calon independen menjadi calon dalam Pilkada. Dalam prakteknya, calon independen pun memperkenalkan kader Parpol yang tidak direkomendasikan Partainya. Lalu, bagimana dengan calon indpenden yang pintar, memiliki kapasitas tinggi, integritas tinggi dan prestasi tinggi?. Kita membutuhkan calon yang memiliki kapasitas yang baik, integritas tinggi, prestasi tinggi tetapi jika tidak memiliki dukungan politik tidak akan berjalan dengan baik.
Calon independen yang sering menyebut dirinya koalisi rakyat yang maknanya identik anti partai tidak bisa berbuat apa-apa tanpa dukungan politik dari parlemen. Mengapa tidak mendapat dukungan dari parlemen jika program yang ditawarkan adalah sangat baik untuk rakyat?. Dalam konteks inilah harus kita sadari strategi politik. Semakin kita sadari bahwa politik dan kegiatan profesional itu berbeda. Ranah politik harus didukung kekuatan politik. Pemahaman inilah yang harus kita sadari bersama. Lalu, jika pemimpin seperti Gubernur, Walikota dan Bupati membutuhkan dukungan politik, mengapa diperbolehkan Calon Indpenden?.
Calon independen diperbolehkan dalam rangak mengakomodasi rakyat yang kecewa dengan Partai Politik (Parpol) dan memberi kebebasan bagi rakyat untuk berpolitik. Kalau independen menjadi pilihan rakyat, itu sangat baik. Tetapi kelemahannya adalah kebijakan politik baik tanpa dukungan politik tidak akan pernah optimal. Tetapi, ketika calon indpenden yang bukan kader Parpol menang hal itu menjadi pelajaran bagi Parpol untuk belajar kepada keinginan dan kebutuhan rakyat. Ketika calon independen yang kader Parpol menang pelajaran bagi partainya agar objektif merekomendasikan kadernya dimasa yang akan datang. Demikian juga kader dari satu partai menang melalui partai lain juga menjadi pembelajaran bagi partai.
Melihat kondisi carut marut politik di daerah bagimana sesungguhnya yang ideal untuk kemajuan suatu daerah. Dalam hal memilih, model apakah yang paling baik?. Bagaimana dengan politik uang?. Idealnya adalah kandidat didukung oleh mayoritas partai politik yang komitmen dengan Pancasil dan UUD 1945. Jika kandidat didukung oleh mayoritas Parpol dan kandidat memiliki kemampuan menerjemahkan makna kehadiran Negara untuk menjawab kebutuhan rakyat, maka syarat itu cukup untuk kemajuan daerah. Politik yang sarat konflik sangat sulit untuk maju. Apalagi jika kandidatnya tidak memiliki pemahaman kehadiran Negara bagi rakyat.
Politik Uang (Money Politic)
Dalam hukum kita bahwa politik uang itu adalah kejahatan. Tetapi dalam kenyataannya politik uang berjalan?. Bagaimana tafsir politik uang yang sesungguhnya?. Dalam konteks Pilkada, tafsir politik uang harus fleksibel. Tafsir politik uang menjadi perdebatan. Sebagai contoh, apakah politik uang jika si A yang membutuhkan waktu berjam-jam perjalanan ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) membutuhkan ongkos?. Apakah seseorang yang sudah tua yang membutuhkan kendaraan dan biaya makan ke TPS bisa dikasih biaya dikategorikan politik uang?