Lihat ke Halaman Asli

Gurgur Manurung

TERVERIFIKASI

Lahir di Desa Nalela, sekolah di Toba, kuliah di Bumi Lancang Kuning, Bogor dan Jakarta

Petani Tulus Itu Beramal Bukan Penerima Sembako

Diperbarui: 13 Oktober 2020   05:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi | Duc Nguyen Van/Pixabay via KOMPAS.com

Jika kita inventarisasi seluruh profesi atau kegiatan manusia di kolong langit ini maka kegiatan atau profesi paling enak adalah petani. Petani itu hidup di alam bebas dan terus berolah raga sambil mengerjakan pertaniannya.  

Dalam kehidupan petani tidak perlu intrik, tetapi hanya fokus kepada pertaniannya supaya tanamannya bertumbuh dengan baik.

Ironisnya, petani di negeri ini identik dengan penderitaan karena mahalnya bibit, pupuk, iklim yang  tidak menentu dan harga hasil pertanian yang tidak menentu. 

Kesulitan yang selalu berulang adalah harga hasil pertanian yang tidak menentu. Harga yang tidak menentu membuat biaya panenpun tidak cukup jika hasilnya dijual. Dalam konteks harga yang tidak stabil, dapatkah petani tetap panen dan hasil panen dijadikan amal jariah?

Ketika saya kecil hingga remaja, doa dan harapan ibu saya sebagai petani adalah harga hasil pertaniannya mahal atau minimal tidak jatuh harga. Kalau ayah saya tidak begitu peduli karena bekerja di ladang adalah kesenangannya. Mahal atau tidak itu urusan ibu saya. 

Ayah saya mengerjakan ladangnya setiap hari. Bagi ayah saya, disyukurin saja. Bekerja terus menerus  untuk menanam dan memperluas lahan pertaniannya. Itu saja.

Sementara ibu saya selalu degdegan jika menjelang panen. Pikiran ibu saya, jika harga jatuh maka kemungkinan sulit dia membiayai anaknya sekolah dan kuliah.

Ketika saya dewasa dan kuliah, saya sering merenung ketika membaca dan melihat petani membiarkan hasil panennya karena merugi. Di berbagai media, beberapa petani membuang hasil pertanian di jalan raya sebagai protes ke pemerintah karena tidak mampu menjaga kestabilan harga. 

Abang saya ada yang menjadi petani dan menurut saya dia itu unik. Dia berkeyakinan bahwa ketidakstabilan harga diatasi dengan terus menerus berproduksi. 

Karena tidak mungkin harga tidak naik. Dalam setahun pasti turun naik. Dengan pola itu maka kita pasti mendapatkan harga yang naik dan turun. Dengan pola itu hidup kita tetap stabil.

Jika hasil pertanian abang saya teramat jatuh, maka tidak dijual. Tetapi hasil panen dijadikan bibit. Karena kemungkinan harga jatuh itu, maka kualitas pertaniannya harus unggul karena akan dijadikan bibit dan bisa dijual dalam bentuk bibit untuk periode berikutnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline