Sejak awal Maret tahun 2020 kehidupan ini terasa mencekam karena pandemic Covid19. Kehidupan yang biasa bebas berubah menjadi banyak di rumah. Janjian berjumpa pun berpikir berulangkali walaupun dengan protokol kesehatan. Jaga jarak, pakai masker, pakai hand sanitizer, rajin cuci tangan adalah kata demi kata yang berulang tiap hari.
Lain halnya dengan tadi malam ketika saudara kami hadir ke rumah. Saudara yang datangpun meminta di teras saja. Saudara saya itu menceritakan pengalamannya soal Covid19 yang membuat saya puas tertawa. Suasana tertawa yang sudah lama tidak saya dapatkan selama pandemic Covid19.
Kemarin pagi, saudara saya itu menghubungi saya lewat WhatsApp (WA) menanyakan jam berapa aku ada di rumah. Sejujurnya, saya mau menolak karena jika ada yang penting bisa komunikasi lewat WA atau telepon saja. Tetapi, saya jawab bahwa malamnya aku ada di rumah.
Tadi malam, saya telponan dengan sahabat di Kalimantan cerita-cerita tentang Pilkada di daerahnya dan kampung halaman. Dalam telpon kami dialog tentang Analisa pemenang dalam Pilkada ini. Dalam kondisi asyiuk telponan, istri saya mendekati saya memberitahukan bahwa saudara kami sudah di teras rumah.
Mendengar informasi dari istriku, saya mempercepat pembicaraan dengan sahabat yang di Kalimantan. Saya menjumpai saudara kami itu di depan rumah dan menyambut dengan kata "horas" dengan saya melipat kedua tangan di dadaku. Biasanya, kalau Orang Batak berjumpa dengan kata "horas" dengan salaman yang sangat erat. Ternyata, istriku sudah menyediakan kopi hangat dan roti di teras rumah menyambut saudara kami itu.
Kami duduk dengan jarak yang cukup jauh. Saya duduk di kursi pojok dan saudara saya itu pun di pojok. Saya menanyakan kegiatanya selama Covid19. Dia menceritakan mengurus izin pengelolaan limbah dan menceritakan bahwa pegawai pemerintah di tempat pengurusan itu terpapar Covid19. Jadi, agak ditunda untuk mengevaluasi perkembangan perizinan yang diurusnya. Saudara saya itu menceritakan bahwa Covid19 ini membuat suasan mengerikan dan sekaligus membuat suasana lucu-lucu.
Beberapa waktu lalu, tetangga anaknya yang pertama ada yang meninggal dunia. Puluhan orang melayat dan mengucapkan belasungkawa. Masyarakat yang mengucapkan belasungkawa hampir semua memeluk saudara yang ditinggalkan, termasuk istrinya. Semua para ibu memeluk dan mengatakan, kuat iya mengahadapi cobaan ini.
Beberapa hari kemudian, diinformasikan bahwa yang meninggal itu positif Covid19. Semua yang hadir ketika melayat akan dirapid test. Mendengar informasi itu banyak yang kucar kacir. Istrinya ketakutan luar biasa. Hal yang ditakutkan istrinya adalah jika hasil rapid test positif maka akan dijemput ke rumah sakit secara paksa. Mungkin istrinya terpengaruh tontonan televisi.
Saya lelah bangat meyakinkan agar jangan takut berlebihan. Menantu saya yang bersebelahan dengan yang meninggal itu lagi hamil dan meminta pulang ke Pemalang ke tempat orang tuanya. Anak saya lagi tidak ada pekerjaan karena pelatih renang. Tidak ada latihan renang di masa pandemi Covid19, jadi anak saya tidak memiliki pekerjaan. Melihat menantu saya yang minta pulang kampung dan istrinya yang ketakutan maka dia menyimpulkan agar istrinya ikut mengantarkan menantunya dan anaknya ke Pemalang.
Di Pemalang didengar berita bahwa 40 orang yang rapid test yang hadir ketika melayat semuanya negatif. Walaupun semua negatif, istrinya tetap saja masih takut. Selama di Pemalang istrinya dibawa jalan-jalan ke temapat yang indah-indah agar bisa melupakannya. Melihat keindahan lupa, sebentar lagi ketakutan. Pada hari ke 10 di Pemalang istrinya masih ketakutan. Baru setelah hari ke 14 mulai percaya diri dan tidak takut lagi kami pulang ke Tangerang. Lega rasanya ketika tidak takut lagi.
Tiba di rumah, saya mendengar beberapa tetangga kami terpapar Covid19, katanya. Mereka yang terpapar Covid19 adalah mereka yang bekerja di rumah sakit pada umumnya. Tetangga saya ada yang kurang enak badan. Kemudian tetangganya ke tukang urut dan dibekam.