Dalam perenungan saya yang dalam, saya ingat-ingat jumlah saya mengikuti pelatihan menulis cukup banyak. Dari pengalaman itu, hampir semua mengharapkan agar tulisan itu ringan, asyik dan enak dibaca. Dalam bahasa kerennya adalah menulis ilmiah populer.
Dalam menulis ilmiah populer kita diharapkan menuliskan hal-hal yang rumit menjadi mudah dicerna pembaca. Bagaimana tulisan atau komentar kita dalam tulisan itu membumi. Bagaimana membumikan ilmu pengetahuan atau informasi yang rumit agar dimengerti masyarakat awam.
Ketika saya menulis di media konvensional, rasanya asyik-asyik saja. Para pembaca memberikan pujian-pujian yang membesarkan hati dan membakar semangat agar rajin membaca, mendengar, mengamati, berkeliling-keliling untuk bahan tulisan.
Selain itu, harus rajin menghadiri seminar, dialog, diskusi kelompok secara rutin, dan berkumpul dengan beberapa komunitas untuk mempertajam pengetahuan. Ketika kuliah, beberapa kali meminjam uang ke teman untuk ongkos atau membayar biaya seminar hanya supaya ikut seminar. Betapa hausnya mencari informasi agar menambah pengetahuan untuk bahan menulis.
Kegiatan petualangan untuk menambah wawasan seolah seperti candu, karena dalam pikiran, jika mengikuti seminar atau dialog dipastikan mendapatkan ilmu pengetahuan. Dan, tentunya akan menambah bahan tulisan.
Kini, di era medsos ada yang menjengkelkan. Dalam dialog-dialog medsos itu cukup banyak yang kasar. Beda sekali dengan dialog-dialog dalam seminar seperti dulu. Peserta seminar semua ingin menggali pengetahuan orang lain untuk menambah wawasan. Dalam konteks media sosial sangat berbeda.
Apa yang membedakan dialog dalam seminar atau dialog komunitas secara nyata dengan maya? Perbedaannya adalah dialog dialog di medos sangat heterogen. Jika dialog di seminar atau dialog komunitas umumnya homogen dan motivasi yang hampir sama yaitu saling menggali ilmu dari narasumber yang satu dengan yang lain. Kalau di medsos, motivasi yang berbeda dan mungkin ada yang iseng saja. Pertanyaannya adalah mengapa orang iseng menghabiskan waktu dan pulsa begitu saja?
Dua hari yang lalu, saya menuliskan tentang betapa pentingnya mengetahui rekam jejak seseorang untuk dipilih menjadi pemimpin di Pilkada 9 Desember 2020. Seorang ibu menjawab, "tidak perlu kepo", ngapain diurusi urusan orang lain? Kemudian ibu itu melanjutkan, karena semua ingin mengetahui rekam jejak sesorang maka kita tidak pernah maju.
Saya menjelaskan mengapa kita harus mengetahui rekam jejak seseorang untuk pemimpin? Rekam jejak itu penting agar kita mengetahui latar belakang pemimpin kita agar kita tidak tertipu. Bagaimana mungkin kita memilih si A ternyata rekam jejaknya koruptor? Bagaimana mungkin kita memilih pemimpin si B ternyata rekam jejaknya penjahat?
Latar belakang seseorang sangat menentukan bagaimana seseorang mengeksekusi/mengerjakan pelayanan kepada rakyat. Hanya orang yang latar belakangnya baik yang dapat dipercaya untuk melayani rakyat. Jadi, melihat rekam jejak seseorang mutlak kita ketahui agar jangan salah pilih. Saya sangat serius menjelaskan alasan-alasan mengapa pemilih harus mengetahui rekam jejak dalam memilih.
Setelah saya menjelaskan, dengan mudah ibu itu membalas, "Nampak sekali tidak punya pengalaman, belajarlah dulu, tulisnya". Karena saya penasaran, saya mencari namanya di google. Nama ibu itu muncul di facebook dan instagram. Isi/konten statusnya pun tidak mengandung pencerahan. Saya menilai, pengetahuan dan wawasannya minim tetapi sikapnya menggurui, bahkan sombong.