Perseteruan Mumtaz Rais dengan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nawawi Pomolango karena Muntaz Rais menelpon di dalam pesawat menarik perhatian publik.
Sikap Mumtaz Rais ketika ditegur Nawawi Pomolango yang refresif dapat menunjukkan bahwa selama ini Mumtaz begitulah perilakunya di pesawat bahkan dalam kehidupannya sehari-hari. Sebab, sudah jelas bahwa mengaktifkan telepon genggam di dalam pesawat melanggar UU Nomor 1 Tahun 2009 tentang penerbangan.
UU larangan itu jelas dipublikasikan oleh maskapai bahkan setiap naik pesawat hal itu diumumkan. Apakah perilaku Mumtaz Rais merupakan potret penumpang pesawat kita?
Dalam UU No 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan sudah jelas mengatur bahwa seseorang yang mengaktifkan telepon genggam (handphone) maka pelakunya bisa dikenakan sanksi pidana dan denda.
Bunyinya lengkapnya adalah "Setiap orang di dalam pesawat udara selama penerbangan mengoperasikan peralatan elektronika yang mengganggu navigasi penerbangan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 huruf f dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)." (pasal 412 ayat 5).
Di setiap kursi pesawat isi pasal itu ditulis secara jelas sekali. Selain ditulis dengan jelas, pramugari berulangkali mengumumkanya. Pramugari ketika kita dalam pesawat, secara personal pramugari mengingatkan secara lembut. Diumumkan ke seluruh penumpang, ke pribadi dan ketika mau landingpun diumumkan oleh pramugari agar telepon genggam boleh diaktifkan jika sudah sampai ke terminal.
Tetapi, dalam realitanya banyak penumpang pesawat mengabaikan pengumuman dan teguran itu. Bagi saya, penumpang semacam itu adalah manusia bebal. Dan, hakul yakin perilaku bebal itu tidak hanya ketika di pesawat, tetapi dalam kehidupan sehari-hari hampir dipastikan tidak peduli aturan.
Sikap Nawawi Pomolango adalah sikap terpuji dan patut kita contoh. Pengalaman saya naik pesawat berulangkali konflik dan perasaan tidak enak di dalam pesawat karena saya beberapa kali mengingatkan orang disekitar agar memahami UU penerbangan dan juga mendengar peringatan pramugari. Biasanya, mereka menjawab dengan sinis.
Walaupun, ada juga yang minta maaf. Mereka yang meminta maaf, biasanya menjelaskan bahwa mereka komunikasi dengan yang menjemput di bandara setelah landing. Ketika landing, komunikasi dengan yang menjemput. Pertanyaanya adalah apakah tidak bisa melakukan komuniaksi setelah di tempat yang diumumkan pramugari?
Mengapa kita harus tergopo-gopo, menjadi batu sandungan karena membuat penumpang yang lain jengkel, parmugari jengkel juga tetapi tidak kelihatan jengkel, melanggar UU dan kita bebrbahaya? Mengapa kita tidak memberi kontribusi yang terbaik kepada semua penumpang dalam pesawat?
Tahun 2005 ketika saya naik pesawat dari bandara Banjar Baru menuju Soekarno-Hatta, saya menegur seorang pemuda yang sibuk teleponan dalam pesawat.