Lihat ke Halaman Asli

Gurgur Manurung

TERVERIFIKASI

Lahir di Desa Nalela, sekolah di Toba, kuliah di Bumi Lancang Kuning, Bogor dan Jakarta

Menulis sebagai Alat Perjuangan Itu Seru

Diperbarui: 19 Juni 2020   09:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pelatihan menulis di Sidikalang/dokpri

Dua hari lalu adik ipar saya yang datang ke rumah untuk berkunjung ke rumah kami  bertanya kepada saya, bagaimana ceritanya abang suka menulis?.  Saya jawab," suatu pagi sekitar pukul 4.00 WIB  seperti biasa ibu saya bangun untuk memasak, kemarin sorenya aku pulang dari rantau, ketika itu saya masih mahasiswa disuruh bangun pagi untuk menagih hutang, dengan  kaget saya bertanya hutang apa?".  Ibu mengatakan orang itu pinjam untuk masuk  Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Sejujurnya, saya tidak mau menagih hutang karena ketika itu aku mengikuti kelompok diskusi  Alkitab di kampus yang intinya tidak boleh berhutang. Pemahaman Alkitab saya ketika itu  berbagi  dan menolong orang yang layak ditolong. Hidup itu bertolongtolongan. Jika pinjam meminjam akan menimbulkan konflik karena potensi konflik sangat tinggi karena  terlambat bayar atau tidak dibayar sama sekali. Proses terlambat bayar dan tidak dibayar akan memunculkan "musuh" baru atau tekanan batin.  Itulah argumentasi teologia saya ketika itu.

Tetapi, karena  uang itu dalam rangka  masuk   PNS,  maka saya langsung  terbangun dan pergi setelah serapan pagi.  Burung-burung bersiul dan ayam berkokok sesukanya pagi itu. Suasana desa yang sangat kusukai.  Ketika itu idealisme yang membara terpatri dalam diri saya. Lalu, adik ipar saya merasa tidak nyambung dengan cerita saya. Apa hubungannya bang menagih hutang dengan  menulis?. Sabar dulu mendengar ceritanya iya.  Kalau orang senang menulis, kadang bahasa pengantarnya panjang, jadi, sabar dulu.

Mendengar cerita ibuku bahwa uang itu untuk masuk PNS guru SD, sementara saya tahu persis bahwa jumlah yang mendaftar kurang, itu yang membuat saya marah dan jengkel.  Saya menjumpai  orang itu dan saya bukan menagih tetapi saya tanya kepada siapa  diberikan uang itu karena jumlah yang mendaftar menjadi guru SD kurang. 

Kalaupun jumlah pendaftar kurang, mana bisa masuk PNS pakai uang?. Sebagai seorang yang aktif di dunia sosial tentu saja memiliki data-data perkembangan dinamika sosial dan dinamika politik.   Bagaimana mungkin jumlah pendaftar kurang tetapi tetap menerima uang pelican?.  Orang itu memberikan  nama penerima uang itu.

Saat itu juga saya kejar si penerima dan kami langsung konflik dahsyat. Dia arogan dan meminta saya bukti kwitansi bahwa dia menerima. Saya diancam  fitnah dan akan dilaporkan ke polisi?. Saya siap dilaporkan ke polisi dan ke Ambarlossung (istilah orang Batak yang artinya kemanapun). 

Kami ribut ketika itu. Karena saya  terus bertahan agar uang itu dikembalikan, dia berkata bahwa uang itu sudah disetor ke Medan.  Kau penjahat, aku pula yang kau ancam, meong, serangku.  Saya cukup beringas ketika itu. Maklum, masih mahasiswa.  Ketika itu bisa beringas menegakkan keadilan itu kebanggaan.

Beberapa minggu kemudian  saya pulang kuliah ke kota  dan telpon datang dari orang yang meminjam uang itu. Dalam telpon itu  dia menangis menjerit karena diancam. Katanya dalam telpon bahwa dalam  Undang-Undang (UU) PNS pemberi dan penerima pelican  resikonya sama. Minta tolong, jangan diganggu lagi. 

Katanya, kita jangan diadu untuk seorang  Gurgur Manurung, sebab dia  mencari nama.  Jeritan dan tangisan telpon itulah yang membuat saya berhenti membongkar kasus itu. Dan, tidak lama kemudian uang ibu saya  sudah dikembalikan. Dalam penelusuran, peserta ujian banyak yang memberi pelican ketika itu.  Sedihnya, peserta tidak tau bahwa jumlah pendaftar dan yang diterima kurang dari yang dibutuhkan.

Jika hal ini saya singgung, orang-orang yang  dimaksud ketakutan luar biasa.  Tujuan tulisan ini  bukan untuk mengangkat kasus itu lagi, tulisan ini  mengajak kita untuk hiduplah jujur dan menjaga integritas. Kejadian ini sekitar 30 tahun lalu. Hidup jujur itu tenang dan  terus-menerus inovatif dan kreatif. Jika kita hidup dalam kekelaman, tipu menipu,  batin kita meronta-ronta tapi kita abaikan.  

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline