Pilkada serentak 9 Desember sudah dekat, bagaimana dengan persiapan perhelatan pesta demokrasi kita. Di media kini semarak isu tolak politi uang, realistiskah?. Isu politisasi Bantuan Sosial (Bansos) menjadi pandemi di daerah-daerah. Bagaimanapun, sulit dibedakan masyarakat apakah Bansos itu dari pusat atau dari pengusaha atau dermawan lain yang pengelolaanya diberikan ke Pemda. Masyarakat hanya mengetahui yang memberi adalah Bupati atau Walikota.
Andaikanpun Bupati atau Walikota jujur memberitahu bahwa Bansos itu dari pusat, masyarakat sudah mengatakan Bupati/Walikota itu baik. Jikalau masyarakat kita mampu membedakan Bansos itu dari pusat atau dari derwawan, secara otomatis mereka adalah menolak bansos. Itulah realitas kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang kita miliki.
Jika Bupati/Walikota atau Gubernur memberikan sumbangan dengan memberitahukan sumber sumbangan atau Bansos itu sebetulnya masyarakat akan berempati. Tipe masyarakat kita tidak banyak yang mempersoalakan sumber bantuan, masyarakat kita berterima kasih kepada yang memberi, bukan kepada sumber pemberi.
Lagipula, sumber dana dari rakyat, bukan?. Jangankan masyarakat akar rumput, organisasi keagamaan saja belum banyak yang kritis kepada sumber dana apakah hasil korupsi atau tidak. Itulah sebabnya Bupati/Walikota yang mencalonkan kembali menyusun jadwal agar setiap pemberian Bupati/Walikota hadir dalam setiap pemberian. Itulah keuntungan petahana.
Bansos yang menguras keuangan Negara yang menjadi pandemi politisasi petahana akan menguntungkan petahana. Inilah konsep dasar yang keliru membangkitkan pendidikan politik dan ekonomi rakyat. Petahana dengan merasa bangga dan bahagia membagibagikan Bansos dan berbagai jenis bantuan ke rakyat.
Padahal, kegiatan pemberian Bansos adalah bukti nyata kegagalan petahana membangun pendidikan politik dan ekonomi rakyat. Jika petahana sukses membangun berarti jumlah penerima Bansos akan sedikit bahkan nol. Semua lelah dan sibuk memberikan Bansos ketika pandemi Covid 19 dampak atau akibat kegagalan kepemimpinan Bupati/Walikota. Kegagalan untuk membangun distribusi ekonomi dan politik yang adil.
Dalam kondisi yang memprihatinkan ini, darimana dan bagimana cara memulai agar masyarakat kita rasional dan mandiri dalam ekonomi dan politik?. Selama ini pengamat politik dan rakyat cenderung menyalahkan partai politik. Apakah benar sesungguhnya kesalahan partai politik?. Partai politik diperhadapkan kepada pilihan untuk memenangkan pertarungan dalam Pilkada. Partai politik mencari anak bangsa yang memiliki kapasitas dan popularitas untuk memenangkan pertarungan politik.
Kontestan yang memiliki kapasitas dan popularitas cukup banyak, bagaimana dengan uang dalam pertarungan?. Sejatinya, kapabilitas dan popularitas cukup ideal untuk dimajukan, tetapi bagimana dengan kekuatan lawan yang memiliki uang yang banyak?. Muncullah survey elektabilitas Bakal Calon (Bacalon).
Ketika muncul hasil survey elektabilitas Bacalon muncullah elektabilitas yang tidak kapabel tinggi. Partai politik diperhadapkan kepada dilema. Dilema antara keinginan memunculkan orang yang memiliki kapasitas yang baik tetapi ternyata elektabilitasnya kalah dengan yang lain.
Partai politik di era digital ini menyadari bahwa hasil survey itu akurat. Hasil survey adalah gambaran masyarakat. Bacalon yang memberikan "kenyang" masyarakat dalam sosialisasi lebih popular dengan Bacalon yang sudah lama berjuang bagi rakyat.
Kita itu sulit memunculkan Bacalon yang memiliki kapasitas, integritas tinggi karena menyangkut biaya politik. Dalam mengisi kekosongan ini sejatinya muncul alternatif kandidat yang selama mengembangkan kapasitas dan integritas didukung oleh komunitas yang memiliki integritas. Seseorang yang memiliki integritas memahami etika dan hukum. Seseorang yang memiliki integritas memahami panggilan hidup dan panggilan hidup.