Lihat ke Halaman Asli

Gurgur Manurung

TERVERIFIKASI

Lahir di Desa Nalela, sekolah di Toba, kuliah di Bumi Lancang Kuning, Bogor dan Jakarta

Menulis sebagai Pengejawantahan Sila Kedua Pancasila

Diperbarui: 1 Juni 2020   10:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

kompasiana.com

Sepanjang pengalaman saya menulis bahwa tulisan  yang paling banyak dibaca dan berdampak baik  bagi kemanusiaan adalah  ketika yang saya tulis adalah tentang kemanusiaan dan saya kerjakan sendiri. 

Apa yang saya kerjakan saya tulis tanpa berniat mengerjakan sebagai bahan tulisan. Mengerjakan kegiatan kemanusiaan dan dibantu tulisan. Tulisan semacam itu banyak dibaca dan berdampak luar biasa. Jadi, jelaslah bahwa menulis bagi saya adalah salah satu alat perjuangan untuk kemanusiaan  sebagai pengejawantahan sila kedua Pancasila.

Sila ke 2 Kemanusiaan yang Adil dan Beradab memiliki butir-butir pengamalan sebagai berikut :

  1. Mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa.
  2. Mengakui persamaan derajad, persamaan hak dan kewajiban asasi setiap manusia, tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit dan sebagainya.
  3. Mengembangkan sikap saling mencintai sesama manusia.
  4. Mengembangkan sikap saling tenggang rasa dan tepa selira.
  5. Mengembangkan sikap tidak semena-mena terhadap orang lain.
  6. Menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
  7. Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
  8. Berani membela kebenaran dan keadilan.
  9. Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia.
  10. Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama dengan bangsa lain.

Saya ingat tulisan saya yang pertama di media konvensional tahun 2000-an di Sinar Harapan  dengan judul, "Ketika Nenek Gila Itu Meneteskan Air Mata". Cerita artikel itu adalah pengalaman saya ketika menjaga ibu saya di rumah sakit dan ditengah malam datang seorang nenek tua miskin untuk berobat. Satu kamar ibu saya di rumah sakit tidak setuju nenek tua satu kamar dengan mereka. Mereka menganggap nenek tua itu akan mengganggu mereka. 

Sikap saya adalah meyakinkan bahwa nenek tua itu tidak akan mengganggu jika kita terima dengan baik. Nenek itu memang sudah terganggu kejiwaanya. Selama di rumah sakit hingga pembayaran yang bermasalah saya bantu dengan berdialog dengan pihak rumah sakit. Tulisan itu sangat banyak dibaca orang dan banyak yang menghubungi saya dan merasa diberkati dengan tulisan itu.

dokpri

Kegiatan saya ketika mendampingi Ompung Saulina dengan usia 92 tahun dipidana 1 bulan dan anaknya   6 orang dipidana 4 bulan hanya karena membangun kuburan dari beton, dan sebuah tanaman kecil diameter sekira 30 cm dan ranting pohon yang menghalangi  beton bangunan dipangkas. Berulangkali saya ke tempat kejadian itu. 

Padahal, tempat kuburan itu adalah pemakaman umum yang resmi secara adat.  Hanya, karena ada yang mengaku menanam durian yang amat kecil itu dimasukkan pasal pengrusakan oleh polisi dan jaksa. Tidak lazim kasus seperti itu diadili di pengadilan kita dengan menggunakan hukum positif.  Kegiatan saya itu saya tulis dan diberitakan oleh media nasional dan TV nasional, bahkan siaran langsung oleh Metro TV secara nasional. 

Dampak dari kegiatan yang saya tulis itu adalah pengadilan ditempat ompung Saulina diadili kini lebih hati-hati. Kegiatan yang saya tulis itu juga berdampak kepada kekompakan generasi muda agar mengawal hukum dengan baik. 

Dampak lain adalah saya dan keluarga Ompung Saulina menjadi sangat dekat. Kedekatan saya dengan keluarga Ompung Saulina dan orang yang solider ke Ompung Saulina menjadi dekat. Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan sebagai pengamalan sila Kemanusiaan yang adil dan beradab telah terlaksana dengan bantuan menulis sebagai alat perjuangan.

dokpri

Tulisan saya dan video saya yang sangat banyak dibaca  dan ditonton adalah kegiatan ketika mendampingi rakyat Sigapiton di Toba. Kaum ibu Sigapiton melawan Badan Otorita Danau Toba (BODT) yang mengklaim tanah ulayat mereka sebagai miliknya karena telah diserahkan Kementerian Lingkungan dan Kehutanan. 

Rakyat Sigapiton telah tinggal sekitar 350 tahun di daerah itu. Oleh pemimpin adat  (bius) mereka, tanah itu  diberikan ke pemerintah untuk ditanami pohon sebagai konservasi untuk sumber air mereka. Konservasi itu berhasil karena dijadikan hutan lindung oleh negara.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline