Tahun 1972 diadakan Konfrensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Stocholm, Swedia sebagai wujud kepedulian dunia terhadap perubahan kualitas lingkungan. KTT Bumi kemudian membuat World Commision on Environment and Development (WCED) tahun 1983, kemudian terus-menerus mengalami pembaruan dan kini kita kenal Sustainable Development Goals (SDG's).
Konsep SDG's itu adalah memastikan bahwa pembangunan itu berkelanjutan secara adil. Konsep itu tujuannya untuk menyiasati ancaman yang paling mengerikan yaitu Pemanasan Global. Ancaman yang jauh lebih dahsyat dari Covid 19.
Secara logika sehat, jika kita sudah mempersiapkan diri untuk ancaman yang sangat besar, sejatinya kita sudah kuat melewati ancaman yang lebih kecil. Mengatasi Covid 19 dengan mengatasi pemanasan global (global warming) sangatlah jauh berbeda. Persamaannya adalah harus diatasi secara bersama. Covid 19 dapat kita atasi jika kita taat kepada protokol kesehatan, pemanasan global (global warming ) dapat kita atasi jika kita berperilaku ramah lingkungan. Baik individu, komunitas, Negara dan seluruh warga dan Negara yang ada di bumi.
Badan Pusat Statisti (BPS) tahun 2015 telah membuat dan menyebarkan ke seluruh rakyat Indonesia, terutama para pengambil kebijakan di negeri ini indikator pembangunan berkelanjutan secara detail. Indonesia telah meratifikasi pembangunan berkelanjutan dari Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Karena itu, Indonesia harus memberikan kontribusi untuk memperbaiki kualitas bumi. Secara garis besar indikator itu adalah ekonomi, sosial dan lingkungan.
Covid 19 datang di akhir tahun 2019 di Wuhan dan sampai di Indonesia sekira bulan Pebruari 2020. Covid 19 melakukan kalibrasi atau menguji apakah konsep pembangunan berkelanjutan berjalan dengan baik selama ini. Di berbagai sector pembangunan di uji seperti dunia farmasi, kesehatan, pertanian, perikanan, peternakan, transportasi, industri, UMKM, perbankan, perdagangan, pariwisata, dan berbagai sektor merana. Terbukti sekali bahwa kebutuhan kita selama ini tidak dikelola secara berkelanjutan. Daya tahan kita rapuh di semua sector rapuh. Ketiadaan bahan baku bagi industri farmasi, alat kesehatan, industri rumah tangga, bahkan untuk bahan baku masker saja harus impor.
Kebutuhan obat ketika Covid 19 datang dunia farmasi mengeluh. Sejatinya perusahaan farmasi meraup untung, tetapi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seperti PT. Kimia Farma, PT, Biofarma, PT. Phapros dan swasta mengeluh dan terancam rugi. Mengapa?. Ternyata, menurut menteri BUMN Erick Tohir bahwa bahan baku Farnasi kita bahan bakunya dari luar negeri sekitar 90 %. Hal itu juga diakui pimpinan perusahaan BUMN Farmasi di Rapat Dengar Pendapat (RDP) di Komisi VI DPR RI.
Berbagai Perguruan Tinggi (PT) seperti UI, UGM, UNAIR, USU, IPB dan berbagai PT memiliki kemampuan untuk meneliti bahan-bahan obat lokal untuk menyembuhkan diri kita sendiri. Di beberapa daerah terbukti jamu yang diproduksi Gabungan Pengusaha Jamu dan Obat Indonesia menyembuhkan Covid 19. Teman saya yang ahli farmasi menjelaskan dan membuktikan bagaimana jamu ramuannya bisa menyembuhkan Covid 19 dengan meramu obat meningkatkan imunitas.
Artinya, bahan obat di sekitar kita tersedia, hanya selama ini kita terlena dengan proses distribusi barang impor dengan angka komisi dan untung dagang. Ketika Indonesia tidak memiliki satupun perusahaan yang produksi ventilator, faktanya ahli kita dari ITB mudah untuk membuatnya. Kesulitannya justru memperbanyak ventilator itu. Andaikan ventilator diproduksi selama ini, maka kita tidak akan kesulitan. Mengapa ventilator semuanya impor, sementara ahli pembuat ventilator kita ada?.
Indikator kegiatan industri yang berkelanjutan (sustainable) atau tidak adalah ketersediaan bahan baku yang ramah lingkungan, atau bahan baku yang paling dekat dengan konsumen atau lokal. Karena jika bahan baku dari jauh atau impor maka jumlah polusi pengangkutan lebih banyak dibandingkan bahan baku lokal.
Esensi utamanya adalah industri hadir untuk kebutuhan manusia. Pertimbangan minimal polusi dan tata niaga yang panjang tidak menjadi pertimbangan selama ini. Industri kita terjebak dengan harga kualitas. Padahal kualitas barang dapat ditingkatkan jika memiliki komitmen. Komitmen untuk pro lingkungan agar berkelanjutan. Industri berkelanjutan jika bahan baku, proses industrialisasi ramah lingkungan (zero west).
Melihat kenyataan seperti petani diberikan beras, mie, gula, daging dan banyaknya jumlah penduduk penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT) menjadi bukti nyata kegagalan kita mewujudkan Susatainable Development Goal's (SDG's). Pertumbuhan ekonomi pemerintahan Jokowi 4,88 % tahun 2015 menjadi 5,17 % tahun 2018, dan 5, 06 % di tahun 2019 menjadi tak bermakna ketika petani diberikan sumbangan beras. Petani diberikan beras dan daging karena Covid 19 baru hitungan hari sangatlah ironi.