Berbagai Usaha telah diupayakan pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan kita. Pemerintah melakukan sertifikasi guru, Uji Kompenetsi Guru (UKG), Inpassing guru swasta, dan sebagainya. Setelah upaya itu dilakukan, apakah kompetensi guru meningkat? Dari hasil pengamatan saya di berbagai daerah, menurut pengakuan beberapa pejabat dinas pendidikan dan pengamatan pendidikan di daerah yang meningkat bukan kompetensi guru, tetapi sawah milik guru atau berbagai investasi milik guru yang meningkat. Sebab, acapkali dana sertifikasi maupun dana dari inpassing guru dibayar beberapa bulan bahkan menahun sekaligus. Dengan, pembayaran sistem itu, uang yang menumpuk cocok untuk membeli sawah atau investasi, bukan meningkatkan kompetensi guru di bidang mata pelajaran yang digelutinya. Berbagai persoalan muncul pascasertifikasi dan inpassing guru yang hampir tidak ada kaitannya dengan peningkatan kompetensi guru untuk mengajar dan mendidik.
Dalam beberapa kali pelatihan guru-guru matematika dan sains yang saya amati, guru-guru mengeluh karena pelatihan yang diberikan pemerintah kepada guru hanyalah tentang kurikulum. Seorang guru di kawasan Danau Toba yang sudah 20 tahun jadi guru mengaku sepanjang hidupnya jadi guru, pelatihan yang diikuti hanyalah tentang kurikulum. Tidak pernah mengikuti pelatihan peningkatan kompetensi bidang mata pelajaran yang diasuhnya.
Di SMP misalnya, banyak guru yang sarjana Biologi yang mengajarkan Fisika tanpa ada pelatihan guru itu untuk memahami Fisika. Akibatnya, guru mengajarkan mata pelajaran yang sebetulnya guru itu pun tak memahaminya. Ada pula guru yang sarjana Fisika mengajar Fisika tetapi merasa mengajarkan yang salah tentang Fisika. Sebab, setelah guru ilmu fisikanya tak pernah diperbarui. Ilmu fisikanya ketinggalan zaman.
Guru-guru itu berharap mereka terus-menerus ikut pelatihan atau seminar untuk meningkatkan kompetensinya di bidang mata pelajaran yang digelutinya sebagaimana dokter spesialis terus-menerus mengikuti perkembangan ilmu kedokteran ke penjuru dunia. Dokter bisa menjadi peserta seminar mengikuti perkembangan ilmu kedokteran karena dokter memiliki uang dan fasilitas yang memadai.
Dalam sebuah pelatihan guru Matematika dan Sains di Parapat, Sumatera Utara beberapa waktu lalu, seorang guru dari Kabupaten Dairi, Kota Sidikalang, Sumatera Utara, mengatakan, guru harus menyadari bahwa fungsi guru tidak hanya mengajar tetapi juga belajar. Guru harus terus-menerus belajar dan mengajar. Sekarang ini guru banyak yang stres karena disuguhi pemerintah untuk Uji Kompetensi Guru (UKG) tanpa diberikan kesempatan belajar seperti pelatihan, seminar, diskusi sesama guru pengampu mata pelajaran yang sama dan berbagai kegiatan yang sejatinya meningkatkan kompetensi guru di bidang mata pelajaran yang diajarkannya. Menurut guru yang antusias ini, sejatinya guru-guru harus mendapatkan pengetahuan terbaru yang paling mutakhir untuk diajarkan kepada siswanya. Tidak mungkin siswa cerdas jika gurunya ketinggalan zaman.
Selain kompetensi guru di bidang mata pelajaran yang diajarkan tidak meningkat, juga metode pengajaran tidak memiliki kreativitas dan inovasi. Metode pengajaran serba monoton. Tidak hanya itu, paradigma mengajar dan yang diajarkan juga tidak kreatif dan inovatif. Metode evaluasi pun tidak berubah. Guru terkesan malas dan mengajar tidak sepenuh hati. Uang sertifikasi dan inpassing untuk meningkatkan kesejahteraan guru ternyata tidak menjawabnya. Siswa hadir di sekolah hanyalah menghafal isi buku tanpa memahami makna mata pelajaran dan kegunaan pelajaran itu untuk kehidupan sehari-hari. Pelajaran membosankan dan ada yang merebut juara hanya demi gengsi tanpa sebuah karya yang bisa menjawab persoalan sekelilingnya. Siswa fokus terhadap apa yang tertulis, bukan memahami persoalan di sekitarnya. Siswa ansih menyelesaikan kurikulum tanpa makna. Siapa yang menghafal pelajaran itulah yang menjadi juara dan disebut pintar. Tidak tau untuk apa kepintaran siswanya.
Selama ini, siswa mencontek misalnya, seolah-olah menjadi hal yang teramat serius. Mencontek bahkan dianggap akan menjadi calon koruptor kelak dan dikaitkan pula dengan kejujuran dan integritas. Mengapa siswa dilarang menyontek? Bukankah akhir pendidikan seorang anak didik menghasilkan karya tulis yang membutuhkan referensi sebanyak-banyaknya yang relevan dengan topik karya tulis? Guru dan metode pengajaran yang tidak kreatif dan malasnya guru untuk mengoreksi karya siswa terhadap pemahaman mata pelajaran yang diajarkan justru mempersalahkan dan disebut tidak jujur.
Soal ujian dibuat pilihan berganda agar hasil ujian mudah dikoreksi. Mereka diseragamkan. Sejatinya, siswa bebas mencontek dan berdiskusi terhadap satu hal agar cara berpikir siswa kreatif dan inovatif. Siswa sejatinya menuliskan karya tentang apa yang terjadi di sekitarnya. Siswa dilatih untuk peka terhadap alam sekitarnya. Bahan ajar yang ada dalam buku pegangan siswa sejatinya hanya merangsang siswa untuk mempelajari alam sekitarnya atau yang disebut ekologi. Siswa bebas membaca buku-buku yang ada kaitannya dengan alam sekitar. Dengan demikian siswa tidak lagi kuatir soal tuduhan mencontek.
Ujian Nasional yang menjadi kontradiksi selama ini yang sempat menghebohkan karena soal ujian acapkali dibocorkan oknum pejabat pemerintah bahkan guru tidak lagi menjadi persoalan. Menjadi sangat aneh peristiwa mencontek dan pembocoran soal Ujian Nasional (UN) menjadi masalah nasional. Padahal, hal itu tidak dibutuhkan siswa sama sekali. Bahkan Ujian Nasional menjadikan siswa ada yang stres. Ujian Nasional (UN) yang dijadikan juga sebagai pemetaan kompetensi siswa tidak lagi relevan. Sebab siswa di kawasan Danau Toba akan mempelajari dan melakukan penelitian tentang alam di pinggiran Danau Toba.
Persoalan masing-masing daerah berbeda, maka ujian mereka pun harus berbeda. Siswa dipacu untuk menghasilkan karya masing-masing untuk menjawab persoalan di sekitarnya. Siswa makin kreatif, inovatif, dan menghasilkan karya. Mereka tidak menghabiskan energi soal isu mencontek dan isu lulus atau tidak lulus. Mereka menuntaskan pelajaran dengan mengaplikasikan langsung dengan alam sekitarnya. Dengan demikian siswa terlatih belajar dengan kaitan antara makhluk hidup dengan sekitarnya atau ekologi. Pendidikan berbasis ekologi ini akan menghasilkan siswa yang jujur, kreatif, inovatif dan mampu melihat masalah secara holistik. Siswa tidak lagi diikat oleh aturan tidak boleh menyontek dan lain sebagainya. Tetapi mereka merdeka belajar dan memahami lingkungannya. Mereka belajar dari lingkungannya masing-masing. Pendidikan berbasis ekologi ini bisa terjadi jika guru mendapatkan pelatihan dan pengajaran secara terus-menerus. Guru harus mengajar dengan kreatif dan inovatif dan terus belajar.
Penulis bekerja di Surya Research and Education Indonesia (SURE Indonesia), praktisi Lingkungan dan alumnus Pascasarjana IPB bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan.