Tak bisa kau tutupi ayahku! Kala wajahmu merawat sedih sepulangmu jualan sore kemarin. Dipundakmu yang kini mulai membungkuk, kudapati sisa penat menggelayut ramah di sana, tapi tak pernah kau hiraukan demi kami buah hatimu. Lalu kau ungkap sayang lewat bungkusan nasi yang tinggal separuh, sebab separuhnya lagi telah kau habiskan siang tadi.
Ada gamang yang terungkap lembab lewat tatap bola matamu, kala kami anak-anakmu berebut nasi yang separuh itu. Ya, nasi separuh tanpa lauk, tanpa rasa. Hanya sekedar penutup mulut cacing yang sejak tadi bernyanyi riuh di ususku.
Biarlah ayahku! Separuh nasi yang kami bagi bertiga ini meski tak cukup yang penting berkah. Bukankah berkah telah menjadi barang langka di zaman milenial sekarang ini. Lihatlah orang-orang di seberang jalan itu sibukkan diri tak kenal waktu. Tumpuk harta numpuk isteri, jual omongan iklankan diri, halal haram tak peduli.
Tak mampu kau sembunyikan ayahku! Saat tidurmu menjaga sepi sepeninggal ibu tahun kemarin. Dimimpimu yang selalu terganggu pilu, kutemukan jutaan resah tak berujung di dengkurmu, tapi tak pernah kau risaukan demi cintamu untuk kami.
Ada gelisah yang tersingkap basah lewat senyum bibir hitammu, saat kami anak-anakmu berebut hari menantang hidup. Ya, hidup tanpa tentu, tanpa pasti. Hanya sekedar cemaskan malam risaukan pagi lalu lebur tak berarti.
Tak apa ayahku! Mungkin diperjalanan singkat ini, kaki kita berjalan redup dicahayaNya yang terang, sambil menyeret langkah gagap bergerak menuju satu titik. Titik dimana segalanya terasa indah tak terperi bahagia tak terkira. Titik di mana berkah dari nasi separuh itu dihitung butir demi butir.
Sinjai, 23 Januari 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H