Saat saya mendengar Presiden Jokowi mengatakan demokrasi kebablasan, spontan Saya kaget, mengapa pemimpin negata sampai hati mengutarakan hal tersebut. Walaupun tidak sepenuhnya benar, sebagian contoh perilaku menggambarkan.
Pilkada Menggunakan SARA
Lihat hari ini, betap miris melihat pilkada DKI, ada calon yang bernama Ahok begitu keukeu mmeprotes keyakinan agama mayoritas umat Islam. Dia dengan lantang memprotes tafsir ayat Al Maidah yang dianggapnya tidak benar. Bahkan, rasa tidak sukanya telah sampai memperolok-olok ayat tersebut dengan menggunakannya becandaaan menjadi nama username untuk password Wifii.
Rasa toleransi antar umat beragama telah mulai pudar, seseorang dapat serta merta memprotes ajaran agamanya sendiri atau agama lain, jika hal tersebut merugikannya. Demokrasi melalui pemilihan langsung telah kebablasan. Demi meraih kemenangan, hal apapun dilakukan. Menolak ayat, menghina ulama yang berpendapat berbeda. Mendadak tampil lebih Islami, mengucapkan salam ala agama yang berbeda.
Kebebasan Korporasi Media
Salah satu pillar demokrasi adalah elemen pers. Karenanya, saat reformasi hal tersebut menjadi salah satu tuntutan reformasi. Asumsinya dengan pers yang bebas, maka publik akan mendapatkan berita yang lebih benar dan berimbang. Kita masih trauma dengan orde baru yang membredel dan mengontrol berita TVRI.
Alih-alih media lebih independen, justru sebaliknya media semakiin terlihat partisan. Jika zaman pak Harto media lebih banyak mewartakan pemerintah, saat ini media menjadi pewarta tim sukses atau humas Parpol.
Demokrasi menjadi terbelenggu oleh kapitalis. Demokrasi kebablasan, karena menyerahkan kedaulatan pemberitaan pada pemodal. Presiden tak lagi kuasa menolak industri media partisan.
Demokrasi Sponsor
Kalau dahuludukungan moril tokoh masyarakat begitu ampuh, sekarang itu telah terdegradasi. Pilkada mahal, maka sponsor pun menjadi lagu wajib.
Lihat saja bagaimana PPP sampai hati melwan arus konstituennya dengan memilih Ahok diputaran II dengan alasan ingin menjaga soliditas partai pemerintah.