Lihat ke Halaman Asli

Pilkada DKI Memilih Orang (Values) Bukan Program

Diperbarui: 2 Maret 2017   16:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saya terganggu dengan istilah yang umum dipergunakan Pilkada memberikan ruang untuk mengetahui program-program  calon pemimpin. Debat merupakan adu gagasan tentang pemikiran mengatasi masalah-masalah daerah yang akan dipimpinnya. Mengutip dari sindonews 12 Oktober Bu Megawati mengatakan “ Megawati Ingin Calon Gubernur Adu Program”. Bahkan ada berbagai komentar bahwa memilih pemimpin yang programnya bagus, yang visi misinya bagus. Mari kita telaah apa sebenarnya memilih pemimpin.

Pilkada Memilih Pemimpin Bukan Program

Salah satu kekliruan penyederhanaan memilih pemimpin  melalui program adalah menempatkan pemilih sebagai pihak yang pragmatis. Yaitu memilih pemimpin yang akan  memberikan manfaat praktis melalui program-programnya. Dalam hal ini pemilih ditempatkan sebagai pilihan atas kepentingannya, atas aspirasinya. Pemilih dikesankan sebagai pihak yang sedang bertransaksi dengan calon, ia akan menukarkannilai suaranya dengan imbalan potensi dari kepentingannya yang terakomodir.

Pemikiran ini telah membuat demokrasi menjadi pentas pertarungan kepentingan orang per orang, padahal demokrasi merupakan alat untuk mewujudkan kepentingan rakyat. Asumsi yang menganggap bahwa akumulasi kepentingan orang per orang akan mengakomodir kepentingan rakyat pada dasarnya menjadi racun dalam demokrasi. Program tidak dapat dijadikan representatif pemenuhan kebutuhan rakyat, karena rakyat membutuhkan bukan hanya 1 atau ratusan program, tetapi juga eksistensi pemimpin di masyarakat.

Adu program juga membuat calon pemimpin  menjadi pragmatis dan parsial. Demi mendapatkan suara, maka ia menjual program yang paling sensitif yang memberikan pengaruh terhadap pemilih. Mari kita lihat bagaimana Trump harus memikulbeban atas segala sesuatu yang ia sampaikan saat kampanye. Demi meraih suara warga asli Amerika, maka ia mengajukan program tentang imigrasi, perbatasan. Hal tersebut terpaksa  dilakukan demi mendulang suara, meskipun hal tersebut melanggar akal sehat. Padahal, Pemimpin adalah pemimpin rakyatnya bukan pemimpin rakyat yang memilihnya.

Perdebatan program juga memunculkan permasalahan  dalam hal konsekuensi pasca pilkada. Bayangkan, jika calon bukanlah petahana. Maka Ia tidak mengetahui problematika sumberdaya birokrasi dan kompleksitas penanganan pemerintahan bagi masyarakat. Akibatnya, usulan  program pada hakekatnya hanya intusi semata, hanyalah kerjaan konsultan  dan analisis. Kegiatan blusukan  tidak mencerminkan pengetahuan tentang publik, karena blusukan  tidak menguji tentang dampak yang dilakukan oleh pemerintah. Akibatnya, perdebatan program akan menjadikan beban polotik saat menjabat. Situasi dan kondisi saat menjabat pastinya begitu banyak yang tak terduga, namun karena telah berjanji, maka program harus dijalankan, meskipun belum tentu itu hal yang terbaik.

Pilkada Kontestasi Personal Values

Lalu, apa yang sebenarnya harus dilakukan dalam kontestasi pemilu. Rakyat seharusnya disuguhkan soal sosok pemimpinnya, bukan program. Jika rakyat sudah percaya dengan pemimpinnya, maka ia percaya pula dengan programnya. Calon pemimpin tidak perlu repot-repot berjudi tentang program yang ia ajukan. Cukup ia menunjukkan  bagaimana kepribadian, nilai-nilai yang ia anut. Jika rakyat setuju dengan  hal tersebut, maka rakyat akan memilihnya, bukan rakyat memilih programnya. Program dapat dirumuskan dan direvisi dan dikamuflase, namun personal values sulit.

Hal ini dikarenakan personal values merupakan konsepsi yang diinginkan, yang mempengaruhi keputusan dan tindakan. Rokeach (1968) mendefinisikan personal values sebagai keyakinan. (Kilman:1981, Rokeach 1973, 1979, Schwartz & Bilsky:1987, William 1968,1970) dalam Nwadei (2003) mendefinisikanvaluessebagai standar atau kriteria untuk tindakan. Schwartz (1992) menentukan enam hal yaitu (i) keyakinan, (ii) hasrat yang diinginkan, (iii) transden saksi dan situasi, (iv) standar kriteria, (v) dasar prioritas kepentingan, (vi) ukuran penentuan hal yang dianggap penting.

Jika perdebatan program merupakan perdebatan dalam konteks sikap, dimana ia dapat dikendalikan dengan penuh. Maka personal values dapat dilihat dari perilaku. Hal ini merupakan keunggulan dari penelaahan personal values.  Melalui personal values, seseorang dapat menentukkan apa yang benar dan apa yang salah , dan apa yang harus. Personal values memotivasi kita dalam arah tertentu yang selalu positif (Lindorff 2010:353). Personal values mewakili apa yang diinginkan, membimbing tindakan sehari-hari, mengikat kelompok, membantu menyelesaikan konflik dan mendorong perbaikan diri (Dolan et al 2004:159).  Berdasarkan berbagai definisi di atas diketahui bahwa konsep valuesmenitikberatkan pada perilaku atau tindakan.

Selain itu, personal values adalah sifatnya yang relatif stabil dari waktu ke waktu, jika pun berubah, ia harus mengalami paparan budaya dan nilai-nilai (Soonteins:2007) dalam Lindorff (2010:355). Oleh karena itu, penting bagi masyarakat lebih memprioritaskan memilih calon pemimpinnya berdasarkan kongruenitas personal valuesnya dengan  personal values calon pemimpinnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline