Dalam pendidikan tinggi, seringkali istilah experiential learning sebagai salah satu metode pembelajaran. Bahkan ada begitu banyak mata ajar yang mengkalim diri sebagai pengguna experiential learning. Bentuknya bervariasi. Ada yang menggunakan games di kelas, ada yang menggunakan laboratorium, tinjauan lapangan dan ada juga tugas diluar kelas. Begitu masifnya penggunaan metode ini menjadikan seluruh perkulaiahan yang engandungg salah satu dari kegiatan tersebut dianggap telah mampu menghasilkan pembelajaran yang disasar dalam experiential learning (EL).
Tulisan ini ingin merenungkan kembali apa itu EL. Penulis mengkritisi penerjamahan umum selama ini, yaitu kata Experiential learning diterjemahkan sebagai belajar dari pengalaman. Terjemahan ini tidak pas untuk konsepsi EL dalam artikel ini. Belajar melalui mengalaman pada hakekatnya belajar yang bersifat knowledge based,yang khusus adalah knowledge (pengetahuan) yang dipelajari bukan dari teori, melainkan pengalaman. Oleh karena itu, penulis mengajukan terjemahan EL adalah belajar melalui mengalami. Kalimat ini berbeda dengan terjemahan awal, karena lebih menempatkan pembelajar sebagai subjek bukan objek.
Dewey mempopulerkan konsep experiential pendidikan yang berfokus pada pemecahan masalah dan berpikir kritis daripada menghafal dan belajar hafalan. Namun seringkali pembelajaran EL dan non EL diindikasikan dari wujud partisipasi pembelajar. Hal ini tidak sepenuhnya salah, karena dalam banyak hal EL diistilahkan beragam seperti learning by doing, learning by experience, learning by experiential, learning through action, learning theory (ELT David Kolb (1984) telah memberikan dasar teori pembelajaran yang berfokus pada pengalaman (learning by experience).
Walaupun demikian, Dewey (1916) dalam Raelin (1997) memperingatkan para pendidik bahwa sekedar melakukan atau aktivitas saja tidak cukup untuk menghasilkan pembelajaran. Para peserta didik memerlukan kesempatan menguji apakah pengetahuan yang didapat memiliki dasar dan berada dalam konteks yang tepat. Kandungan kata menguji dalam pengetahuan dengan kehidupan nyata menjadi salah satu pembeda. Pertanyaannya, apakah games di kelas, laboratorium, tugas sama dengan realita?.
Merasakan (experience) yang dimaksud bukanlah terletak pada mengalami pembelajaran, tetapi mengalami realita.Hal ini dikarenakan teori EL berbeda dari teori-teori belajar sebelumnya (behaviorisme, dan kognitivisme) yang mendukung pengalaman sadar dan subjektif. Experiential learning tidak menempatkan sebagai pengamat, sebagai observer sebagai aktor lakon, tetapi pembelajar sebagai pelaku. Karenanya model-model yang selama ini diklaim sebagai experiential learning dapat dilihat dengan cara yang lebih bijaksana.
Tugas observasi atau tugas projek yang dilakukan dalam rangka sebagai komplementer dari kegiatan kelas bukanlah dalam ranah EL. EL menjadikan pembelajaran luar ruang sebagai pembanding atas pembelajaran ruang. Davis (1988:1) menganggap EL mengacu pada hasil yang menghasilkan dari suatu kegiatan atau program dalam pengaturan non kelas yang memiliki hubungan dengan kelas akademik. Pendapat ini sejalan dengan Moore (1983) dalam Davis (1988:2). Ia menyatakan pengalaman belajar berkontribusi pada asumsi umum bahwa pengetahuan akademis belajar terjadi di dalam kelas dan diuji atau disempurnakan melalui keterlibatan dengan kegiatan pengalaman non sekolah.
Teori experientiallearning(ELT) menekankan peran sentral pengalaman bermain dalam proses pembelajaran. Istilah pengalaman dalam ELT dari teori pembelajaran kognitif, yang cenderung menekankan kognisi, dan teori-teori belajar perilaku yang menyangkal peran apa pun untuk subjektif pengalaman dalam proses pembelajaran. Proses experiential learning mensyaratkan para peserta belajar terlibat secara fisik dalam kegiatan pembelajaran. Pengetahuan yang diperoleh disusun berdasarkan pengalaman ia melakoni kegiatan pembelajaran.
Karena sifatnya pengujian di lapangan, maka pembelajaran tidak lagi dapat dilaksanakan dalam lingkup disiplin. Di lapangan, fenomena tidak dapat diisolasi, karenanya metode EL sulit diterapkan dalam pembelajaran disiplin ilmu yang rigid. Metodologi experiential learning tidak memperlakukan setiap mata pelajaran memiliki dinding di kamar sendiri atau tidak terhubung kesetiap mata pelajaran lain. Metode belajar yang terkotak kotak tidak mencerminkan dunia nyata, sementara sebagai kelas pengalaman bekerja untuk menciptakan pengalaman belajar interdisipliner yang meniru dunia nyata.
Berdasarkan hal-hal ini sebaiknya perlu direnungkan kembali apakah aktifitas pembelajaran selama ini tergolong EL atau bukan. Jangan sampai karena niat baik untuk meningkatkan kecerdasan adik-adik mahasiswa menjadi bumerang. Semoga pembahasan EL yang semakin intensif akan membuat peningkatan kualitas pembelajaran bagi yang ingin mengadopsinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H