Iklan Menpora tentang olimpiade Rio 2016 sungguh membuat saya mengelus dada. Iklan tersebut berisikan pernyataan singkat sang menteri yang akan memberikan uang senilai 5 Milyar kepada atlet bulutangkis Indonesia. Saya meyakini maksud baik Menpora untuk mendukung atlet Indonesia yang berlomba, apalagi nilai yang diberikan sangat fantastis.
Hal yang sama juga dipertontonkan oleh reporter TV swasta yang menayangkan partai final Liliyana Natsir dan Tontowi Yahya. Sang reporter menanyakan tentang mau diapakan duit hadiah yang akan diterima sebagai imbalan meraih medali emas di olimpiade. Saya bersyukur, atlet kebangaan Indonesia tersebut tidak sedang memikirkan hadiah, justru masih merasakan kegembiraan setelah memberi kado manis di ulang tahun kemerdekaan Indonesia.
Kebijakan yang baik namun didasari oleh nilai-nilai yang mencederai semangat nasionalisme. Dari periode ke periode baik di Menpora atau dinas olahraga daerah selalu memberikan janji bonus untuk atlet yang berprestasi. Bahkan tak jarang di kemudian hari muncul berita yang tidak sedap, atlet menuntut pejabat karena bonus yang dijanjikan tidak kurun diterima.
Cara berfikir pejabat seperti ini memiliki indikasi modal spiritual yang rendah. Rasionalitas yang didasarkan aspek materil membuat ukuran apresiasi diwujudkan dalam bonus rupiah. Rasionalitas ini mungkin mendasari cara berfikir bahwa semakin besar niali bonus yang diberikan semakin besar kepedulian sang pejabat, atau ia tidak mau kehilangan momentum untuk dianggap sebagai pahlawan karena mengumumkan berita yang seolah-olah heroik.
Atlet manapun yang mau bertanding atas nama bangsadan negaranya tidak lah mau menjadikan materi sebagai motif keikutsertaannya. Atlet yang telah banyak berkorban tidak akan mau diukur dengan nilai materi yang dijanjikan. Saat atlet Indonesia berjuang, ia tidak lagi berfikir bagaimana kenikmatan mendapatkan uang. Ia hanya berfikir rasa bangga telah mempersembahkan kepada ibu pertiwi.
Lantas, apa yang dilakukan oleh pejabat pada dasarnya merendahkan marwah atlet. Atlet butuh uang untuk meningkatkan prestasi dan menunjukkan apresiasi. Tetapi ia tidak harus diobral sebagai media pencitraan sang pejabat. Iklan-iklan tersebut membuat atlet hanya dinilai soal uang semata. Apalagi sampai saat waktu yang dijanjikan para pejabat tidak mampu mewujudkan omongannya. Bahkan kadangkala ia sudah membuat janji baru untuk event baru bagi atlet baru. Maka wajarlah sang atlet menjadi marah, karena ia merasa dikorbankan oleh sang pejabat.
Suatu hari saya berharap sang menteri mengiklankan diri dengan ucapan terima kasih kepada atlet-atlet Indonesia tanpa harus menyampaikan berapa nilai uang yang akan ia terima. Cukuplah pernyataan tersebut disampaikan kepada pelatih/official dan atlet sendiri. Sehingga marwah atlet tetap terjaga dan pesta kemenangan tidak dinodai oleh kepentingan pragmatis semata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H