Lihat ke Halaman Asli

Menatap Pilpres 2019, Refleksi Marketing Politik pada Pilpres AS

Diperbarui: 7 Mei 2018   01:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam jurnal berjudul Political Marketing in the 2016 U.S. Presidential Election yang merupakan bagian dari Palgrave Studies in Political Marketing and Management, ada beberapa saran yang diberikan kepada para praktisi political marketing dan ini menarik untuk dibahas karena tahun depan Indonesia akan mengadakan pemilihan presiden. Disini saya akan mencoba menganalisis politik Indonesia berdasarkan saran tersebut. 

Pelajaran pertama, melakukan kampanye dengan menggunakan pesan populis yang bersifat emosional dan menyerang kelompok lain yang menyerang pilihan politik sendiri terbukti memenangkan Donald Trump. Meskipun kampanye politik belum dimulai di Indonesia, namun kita telah melihat adanya penggunaan isu-isu populis seperti, pembentukan persepsi bahwa pemerintah pro tenaga kerja asing, tidak pro terhadap petani (karena membuka keran impor), anti terhadap ulama, utang Indonesia yang membludak dan isu-isu lainnya. Keberadaan sosial media (seperti twitter, facebook, insagram, Whatsapp) juga memberi dampak baru, karena melalui sosial media ini setiap orang bisa terlibat dan berpartisipasi langsung, dan membangun solidaritas dengan orang lain yang sepemahaman, dan bila dianggap perlu, sampai menyerang orang-orang yang tidak sepaham. 

Dampak penggunan pesan populis yang bersifat emosional dan sosial media ini tidak hanya terjadi di dunia siber. Dengan melihat pada pilkada Jakarta, kita dapat melihat bahwa pertentangan di dunia siber memberi dampak negatif pada dunia nyata dalam bentuk diskriminasi, kebencian, dan lainnya. Pertanyaannya adalah apakah strategi ini akan digunakan ]di Pilpres 2019?

Pelajaran kedua, personal branding berbasis data dan juga marketing-nya perlu keaslian. Untuk membahas ini kita perlu membahas tokoh politiknya secara langsung. Jokowi sebagai individu yang bersahaja (terlihat dengan penampilan yang konsisten selama ini -- keaslian) dan pecapaiannya selama jadi presiden adalah atribut yang sangat layak untuk ditonjolkan untuk personal branding Jokowi. 

Tokoh lain yang menarik untuk dibahas adalah Prabowo Subianto. Meskipun karirnya berakhir dengan pemecatan dari TNI AD, tampaknya ini tidak terlalu memberi dampak negatif terhadap Prabowo. Hal ini dimungkinkan dengan melakukan Brand Refresh. Brand refresh digunakan oleh politisi untuk mendefinisikan dirinya dan lawannya, namun lebih fokus pada diri sendiri dan menjelaskan bagaimana dia berbeda dengan kompetitornya. 

Prabowo melakukan ini dengan cara memposisikan dirinya sebagai pembela kepentingan bangsa dan rakyat kecil. Contohnya adalah ketika mengungkapkan kecemasannya ketika ada analis luar negeri yang menuliskan bahwa Indonesia sudah tidak ada dalam novelnya tersebut, bahwa tanah dan kekayaan Indonesia dikuasai segelintir orang. Pengulangan penyampaian isu-isu ini oleh Prabowo dan bawahannya memunculkan persepsi positif terhadap Prabowo dan ini menjadi personal brand yang baru untuk Prabowo. 

Pelajaran ketiga, Perlunya investasi secara terus menerus untuk marketing di sosial media. Jika kita menggunakan pilkada jakarta sebagai simulasi dari pilpres 2019, kita dapat melihat dampak dari sosial media terhadap hasil poling. Kemunculan isu-isu baru melalui sosial media dengan cepat menyebar ke setiap individu. Relevansi terhadap kebenaran dari isu-isu ini tidak lagi penting, karena penyebaran isu ini secara terus menerus dan berulang-ulang akan membuat isu ini masuk ke memori individu yang membacanya secara tidak sadar dan menganggapnya menjadi suatu kebenaran. 

Beberapa isu yang pernah melingkupi Jokowi adalah bahwa Jokowi PKI, keturunan Tionghoa, pro asing dan juga pro tiongkok, Jika isu ini tidak ditolak secara tegas oleh Jokowi, sebagaimana yang telah Jokowi lakukan, maka isu-isu ini akan melekat dan menjadi bagian dari personal branding Jokowi bagi sebagian orang. 

Karena pada akhirnya, di Pilpres 2019, personal branding antar kandidat yang akan saling berebut pemilih yang belum mempunyai pilihan politik. (Perlu ditekankan bahwa kita lebih banyak membahas tentang isu yang menimpa Jokowi karena dia adalah petahana, sehingga wajar jika Jokowi dikenai isu-isu yang lebih banyak dibanding pesaing-pesaing potensialnya.)

Pada akhirnya pertarungan antar isu yang disebarkan oleh masing-masing tim yang berkompetisi dalam pilpres sangat mungkin memiliki dampak yang tidak diharapkan.Sebagaimana  pilkada Jakarta yang mengakibatkan naiknya intoleransi di Indonesia. Pada akhirnya kita hanya berharap supaya para praktisi marketing politik Indonesia menyadari bahwa keutuhan Bangsa dan Negara Indonesia sudah sewajarnya berada diatas kepentingan pemenangan yang bersifat jangka pendek. 

                                                                                  

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline