Lihat ke Halaman Asli

Jimmy Carter dan Diplomasi Indonesia - Malaysia

Diperbarui: 26 Juni 2015   13:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_251527" align="alignleft" width="200" caption="Jinny Carter/Shutterstock"][/caption] Jimmy Carter mengacungkan jempolnya setiba di Bandara Internasional Logan, Boston, AS, Jumat (27/8/2010) lalu. Mantan Presiden AS itu baru saja selesai menjalankan misinya di Korea Utara, negeri yang menjadi “musuh utama” AS. Ia sukses membebaskan warga AS, Aijalon Mahli Gomes, yang ditahan pemerintah Korea Utara sejak beberapa bulan lalu karena memasuki Negara itu secara ilegal.

Carter membawa kembali Gomes yang dihukum kerja paksa selama delapan tahun dan denda. Di Pyongyang, politisi senior Partai Demokrat itu diterima pemimpin nomor dua Korea Utara, Kim Yong Nam. Beberapa saat kemudian Gomes memperoleh pengampunan (amnesti) daripemimpin Korea Utara Kim Jong-Il. Gomes boleh pulang bersama Carter.

Meski misi pemenang Nobel Perdamaian itu disebutnya sebagai misi pribadi, tapi pemerintah dan warga AS menyambutnya luar biasa. Selain Carter, setahun sebelumnya, mantan Presiden Bill Clinton juga melakukan misi yang sama ke Pyongyang dan membawa pulang dua wartawan AS yang ditahan Korea Utara.

Di Indonesia, bertepatan dengan peringatan Kemerdekaan Republik Indonesia ke-65, 17 Agustus 2010, petugas Kementerian Luar Negeri RI membawa pulang tiga pegawai Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Kepulauan Riau yang ditahan Polisi Diraja Malaysia sejak 13 Agustus 2010. Mereka ditangkap saat bertugas dan menciduk tujuh nelayan Malaysia yang mencuri iklan di wilayah perairan Indonesia. Polisi Diraja Malaysia memburu kapal patroli DKP yang membawa ketujuh nelayan pelanggar itu. Polisi Malaysia meminta barter atas penangkapan nelayan Malaysia dengan membawa tiga petugas DKP dan ditahan.

Berbeda dengan sambutan warga AS terhadap Carter, rakyat Indonesia justru kecewa dengan sikap pemerintah Indonesia meski berhasil “membebaskan” tiga pegawai DKP yang ditangkap Malaysia. Kekecewaan bertambah ketika disinyalir pembebasan itu merupakan “barter” dengan dilepasnya tujuh nelayan Malaysia yang melanggar wilayah perbatasan tersebut. Kalangan DPR sempat mempertanyakan persoalan “barter” ini dalam rapat kerja dengan Menteri Luar Negeri RI Marty Natalegawa. Menlu menepis itu sebagai barter.

Rakyat Marah

Sebagian masyarakat Indonesia marah atas insiden penangkapan warga RI oleh Malaysia di perairan Indonesia tersebut. Kemarahan memuncak ketika pemerintah Indonesia tidak bersikap tegas terhadap Malaysia.

Sementara sebaliknya, pemerintah Malaysia, melalui Menteri Luar Negerinya, mengeluarkan peryataan-pernyataan pedas. Malaysia mengingatkan Indonesia akan memberlakukan travel advisory bagi warganya. Malaysia juga menekan pemerintah Indonesia untuk menghentikan gerakan protes masyarakat RI. Tak hanya itu, ia juga mengingatkan media-media di Indonesia yang dinilainya memprovokasi.

Banyak warga Indonesia berdemonstrasi baik di depan Kedutaan Malaysia di Jakarta maupun di sejumlah daerah lain. Mereka membakar dan merusak bendera Malaysia, bahkan ada yang melemparkan (maaf) kotoran. Gerakan demonstrasi terus bergulir dan semakin luas.

Mengapa rakyat marah? Faktor utama kemarahan rakyat adalah tidak jelasnya sikap pemerintah Indonesia. Baik Presiden maupun Menteri Luar Negeri RI terkesan ragu dalam bersikap. Meski akhirnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengirimkan surat kepada Perdana Menteri Malaysia, Najib Razak, namun rakyat tampaknya menganggap surat saja tidak cukup.

Masyarakat berharap pemerintah bersikap tegas dan berani mengingatkan Malaysia atas perilaku penangkapan warga Indonesia tersebut. Apalagi, provokasi Malaysia terhadap Indonesia itu sering terjadi, seperti patroli armada Malaysia di kawasan Blok Ambalat dan sejumlah perlakukan buruk terhadap TKI di negeri itu. Sejak kasus Simpadan Ligitan yang dimenangkan Malaysia, negeri Jiran itu tampak sangat berani untuk mengklaim sejumlah wilayah yang berbatasan dengan Indonesia.

Bahwa wilayah perbatasan tempat ditangkapnya tiga petugas DKP di perairan Kepulauan Kepri itu sedang disengketakan oleh Malaysia, ini bukan berarti pemerintah Indonesia harus tidak bersikap tegas. Pasalnya, sengketa wilayah perairan ini sudah dibahas sejak lama, dan sebelum ada keputusan final yang baru, wilayah tersebut tetap merupakan wilayah Indonesia.

Pemerintah, setidaknya dapat bersikap tegas atas perlakuan Polisi Diraja Malaysia terhadap para petugas DKP yang diburu, ditangkap, dan diperlakukan sebagai tahanan, dan tetap memproses nelayan Malaysia yang melanggar perbatasan tersebut. Apalagi masih ada kasus sebelumnya yang belum diselesaikan pemerintah Indonesia, saat Polisi Diraja Malaysia menangkap enan nelayan Indonesia asal Langkat, Sumatera Utara, yang sedang mencari ikan di perairan Indonesia beberapa bulan lalu, dan hingga kini masih ditahan di penjara Keddah, Malaysia.

Seni Diplomasi

Sikap dalam penanganan pemerintah Indonesia terhadap insiden “13 Agustus” menunjukkan kelemahan diplomasi Indonesia. Pemerintah tampaknya tidak memiliki kepercayaan diri untuk bersikap dan bernegosiasi dengan posisi tawar yang kuat dengan Malaysia, negeri kecil yang bahkan sempat akan “diakuisi” semasa pemerintahan Soekarno dulu yang dikenal dengan perintahnya “Ganyang Malaysia”.

Diplomasi adalah seni dan praktek bernegosiasi. Dibilang seni, karena dalam diplomasi diterapkan strategi dan cara untuk mencapai tujuan diplomasi itu sendiri. Ada posisi tawar yang dimiliki, dan ada alternatif yang ditawarkan. Singkatnya, diplomasi adalah upaya untuk memperoleh keuntungan (pencapaian tujuan) dengan “permainan” kata-kata atau pendekatan pembicaraan.

Seni berdiplomasi tentu memiliki keindahan. Dan ini hanya bisa dilakukan oleh diplomat yang memiliki kepiawaian berkomunikasi dan bernegosiasi. Ditambah lagi penguasaan materi yang menjadi permasalahan, serta mampu merancang solusi yang tepat dan menguntungkan.

Permainan kata-kata pada level berikutnya adalah psywar alias perang urat syaraf. Apa yang dilakukan Malaysia dengan mengancam penerapan travel advisory dan menekan pemerintah Indonesia untuk menghentikan protes masyarakat terhadap insiden tersebut, boleh dibilang sebagai psywar.

Bila saja pemerintah Indonesia bersikap tegas dan mampu berdiplomasi dengan baik, persoalan ini tidak akan berlarut-larut. Tidak perlu melibatkan masyarakat turun ke jalan berdemonstrasi dengan caranya sendiri. Aksi rakyat itu adalah ekspresi dari kekecewaan atas ketidakmampuan dan ketidakberdayaan pemerintah saat ini.

Apa yang dilakukan Jimmy Carter adalah contoh kesuksesan diplomasi. Bahkan ini merupakan keberhasilan diplomasi tingkat tinggi. Carter mampu menyelesaikan permasalahan untuk kepentingan AS justru di sarang utama musuh AS, Korea Utara.

Selama ini, AS yang menuduh dan mencitrakan kepada dunia bahwa Korea Utara sebagai negara berbahaya karena pengembang nuklir. AS pulalah yang mempengaruhi Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) untuk mengeluarkan resolusi pemberian sanksi terhadap Korea Utara.

Tapi dengan seni diplomasi yang sangat baik yang dilakukan Carter, AS mampu “menaklukan” pemimpin Korea Utara Kim Jong Il, yang akhirnya mempersilakan Carter membawa warganya untuk kembali ke AS. Tentu ada negosiasi di dalamnya, tapi ini merupakan kemenangan diplomasi, kemenangan AS.

Andai kita memiliki pemimpin negara yang bersikap tegas dan mampu berdiplomasi dengan baik, tentu insinden Indonesia – Malaysia tidak akan berlarut-larut. Dan, masyarakat Indonesia akan menerimanya dengan baik, bahkan serentak mengacungkan jempolnya untuk pemimpin negara kita

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline