Lihat ke Halaman Asli

Yg Bersinar dari Lebakwangi (dulu Kebon Belukar & Daerah Prostitusi...)

Diperbarui: 26 Juni 2015   16:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

"Pertama kali ke Lebak Wangi, Parung, Bogor, 15 tahun lalu, daerah ini dikenal dengan prostitusinya," ungkap Kiswanti. Di daerah yang masih asri itu, tak sedikit para urban menggeluti profesi pekerja seks komersial. "Saya trenyuh melihat anak-anak suka berkata-kata kotor dan tidak mengenal ayahnya. Bahkan sang bundanya menjawab blak-blakan tentang profesinya. Ada 2 bayi ditemukan di belakang rumah makan dan di sawah," papar Kiswanti pilu.

Inilah kisah seorang anak manusia yang meneruskan semangat Kartini: Kiswanti, Lulusan SD Pengelola Warabal (Warung Baca Lebakwangi).

Sebagai sulung 5 bersaudara, Kiswanti berusaha mandiri yang menjunjung harga diri. Tak kurang puluhan pria pernah melamarnya, tapi semua tak sanggup menerima syarat darinya. Diantaranya setelah menikah ia tetap ingin bekerja untuk membeli buku dan memiliki perpustakaan. Itu juga akibat "trauma" membaca kisah kandasnya hubungan rumah tangga. "Wanita itu dari tulang rusuk pria. Sudah bengkok, harus diperlakukan halus. Jika dikerasin, bisa patah," pesan Kiswanti.

Cita-cita punya perpustakaan didorong keinginan untuk terus belajar. Kalau mau pintar banyaklah baca buku, pesan orang tuanya. Tak bisa ke SMP karena faktor keuangan, ia pun membeli buku dan belajar di rumah. Boleh miskin harta, tapi jangan sampai miskin wawasan. Begitu tekadnya. Ia berusaha menjawab soal-soal, bahkan tanya sana-sini. Ia membantu temannya yang kesulitan. Sejak itulah, ia menjadi guru privat selama 6 tahun dan bisa mengoleksi 1500 buku. Tapi saat temannya beranjak ke dunia kerja, ia nekad ke Jakarta menjadi pembantu rumah tangga di keluarga Filipina. Ia minta digaji buku. 4 bulan bekerja, ia bisa mengoleksi 45 buku. "Pas mau pulang kampung, ia bertemu pria yang menawari bekerja di keluarga Korea. Namanya Ngatmin. Beliaulah yang 2 minggu kemudian melamar saya. Dengan syarat-syarat dan waktu berpikir 3 bulan, beliau bersikukuh menikahi saya," paparnya.

Kiswanti merintis taman bacaan mulai dengan jualan jamu kunyit asam dengan sepeda onthel sambil menawarkan buku bacaan untuk dipinjam. Ia juga mengajak anak-anak bermain dengan mainan seadanya, dari pelepah pinang, bunga tebu, kulit jeruk, dll. Syaratnya, mereka berkata baik-baik dan sudah mandi. Kalau melanggar, tak boleh ikut masak-masak bersama (goreng singkong/tempe). Kebiasaan ditambah, yaitu membaca buku cerita di teras, tiap 3 minggu. Cerita sengaja tidak diselesaikannya, agar mereka datang lagi.

"Yang bisa baca boleh pinjam buku dibawa pulang kok. Eh saya malah didemo oleh ibu-ibu. Juga waktu diajari menabung untuk ke monas, karena anak-anak jadi minta upah kalau disuruh. Meski dilecehkan, saya tak bergeming. Tetap aktif membaca koran, mendatangi book fair, talkshow, dan masuk jejaring 1001 buku. Dari sini, ada teman baik yang membantu mewujudkan keinginan anak-anak ke monas. Sejak saat itu, anak-anak mulai berdatangan lagi ke Warabal," jelasnya.

Selain sumbangan dermawan, saya berusaha mengembangkan Warabal sekuat tenaga. Sebagai pencuci piring orang pesta pun jadi. Tabungan anak buat kuliah dipakai, motor kredit pun dijual buat nombok. Alhamdulillah, semua terganti. Anak bisa ikut PMDK (beasiswa), suami juga buisa beli motor dengan dipotong gaji. Kilas balik Kiswanti mulai terjadi saat dia bertanya di sebuah forum diskusi dan minta istri Hatta Rajasa menyetujui sepeda onthel-nya disebut Sepeda Pintar. Dari momentum itulah ia mulai dilirik media. Sekali satu media nasional mengangkat kisah saya, media lain mengikutinya. Jadi dia orang terkenal baru. Setelah itu diundang ke berbagai daerah, hampir ke seluruh Indonesia. Jarang di rumah, saya melibatkan para relawan. Transport untuk operasional jika saya keluar daerah. Ibu-ibu belajar menjahit, memasak dan menyulam.

Ia bersyukur anaknya, Dwi Septiani bisa masuk SMP dan Afief Riyadi bisa kuliah dan tertarik meneruskan langkahnya. "Saya pernah menjadi tukang sapu sekolah anak saya, agar mendapat kemudahan meminjam buku pelajaran. Karena tak sanggup membelikan buku paket, saya menyalin untuk anak saya," jelas ibu dua anak yang sering dipanggil budhe (tubuh gedhe) ini. Usahanya tak sia-sia. Anaknya berprestasi dan masuk sekolah favorit. Anehnya orang-orang memandang saya telah menyuap. Menjawab tuduhan miring itu, ia menggelar buku-buku di ruang tamu, dan rak bukunya diisi dagangan. Saat mereka belanja, berkomentar ‘Wah buku-bukunya banyak sekali, boleh pinjam Bu? pantas anaknya pintar...." Kiswanti memberi bukti langsung.

Saat ini koleksi 7.450 bukunya, tidak semua bisa didisplay. Ia membantu membayar kontrakan orang untuk bisa menitip sebagian bukunya. Dia dibantu 14 relawan, semuanya ibu-ibu dekat rumah. Baru sekitar 5 tahunan. Anak pra SD baru jalan 3 tahunan. Tiap Sabtu Minggu kami adakan belajar menari daerah. Ingin sekali anak-anak dari Warabal bisa mendapatkan beasiswa. Saya juga sudah mengumpulkan uang (menabung) untuk memberi beasiswa kepada siswa/i SMP, 20 orang. Saya akan terus berusaha dengan kemampuan sendiri, menghindari pembuatan proposal untuk minta dana. Saya juga mengelola koperasi, simpan pinjam. Membantu masyarakat berperilaku hemat, tidak konsumtif. Kini, prostitusi sudah hampir tidak ada, berkat kemauan warga dan kebijakan kepala desa. Ada perusahaan garmen yang meberi lapangan pekerjaan.

Warung Baca Lebakwangi (WARABAL)

Kita Membangun Generasi yang Cerdas, Kreatif, dan Mandiri Menuju Masyarakat Madani

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline