Sebagai seorang Kompasianer ini kali kedua saya bermimpi menjadi Jokowi. Kali pertama, dua tahun yang lalu ketika Jokowi sedang menghadapi manuver para menterinya yang menunjukkan secara terbuka ada perbedaan kebijakan dengan Jokowi. Kali ini saya mau bermimpi lagi di penghujung masa jabatan Jokowi sebagai presiden. Dengan mimpi ini saya coba memahami apa yang dirasakan Jokowi, coba "memasukkan kaki saya ke sepatu Jokowi".
Dan inilah impian saya sebagai Jokowi:
Ketika masa jabatan kedua saya hampir selesai, tak bisa dipungkiri, ada beban berat yang menghimpit perasaan saya. Bukannya merasa lega karena masa kerja hampir selesai, justru semakin banyak persoalan yang menghantui pikiran saya.
Salah satu yang paling menyakitkan adalah tuduhan bahwa saya telah merekayasa keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) demi memuluskan jalan bagi anak saya, Gibran, untuk ikut dalam Pemilihan Presiden sebagai calon Wakil Presiden.
Hujatan itu datang bertubi-tubi, seolah-olah semua kerja keras dan pengorbanan selama hampir 10 tahun ini dilupakan begitu saja. Sebagai seorang ayah, saya tentu bangga melihat anak saya mencapai titik di mana ia bisa mengabdi untuk bangsa. Namun sebagai Presiden, saya tahu bahwa kepercayaan publik adalah hal yang tak ternilai. Tuduhan ini adalah sebuah ujian besar, dan saya hanya bisa berharap bahwa sejarah akan mencatat kebenaran di balik semua ini.
Selain tuduhan bahwa saya merekayasa keputusan Mahkamah Konstitusi demi keuntungan pribadi, ada juga tuduhan bahwa saya berusaha merebut posisi penting di partai politik. Tentu ini adalah tuduhan yang sangat tidak masuk akal. Bagaimana mungkin saya, seorang yang bukan berasal dari dalam partai, bisa mendikte para pakar politik dan tokoh-tokoh senior dari partai yang usianya hampir sama dengan negara ini?
Sebagai seorang presiden yang dipilih oleh rakyat, tugas saya adalah menjaga stabilitas politik dan memastikan bahwa demokrasi berjalan dengan baik. Saya bukanlah orang yang mencari kekuasaan lebih dari apa yang telah dipercayakan kepada saya. Justru, saya selalu berusaha menjaga jarak agar tidak terlihat memihak atau mengintervensi urusan internal partai politik mana pun. Tuduhan bahwa saya ingin mengendalikan partai atau mendikte keputusan partai tertentu adalah suatu bentuk fitnah yang jauh dari kebenaran.
Saya memahami bahwa dalam politik, dinamika dan manuver adalah hal yang wajar. Namun, seharusnya semua itu dilakukan dengan mengedepankan kepentingan rakyat dan bangsa, bukan untuk memperpanjang kekuasaan atau meraih keuntungan pribadi. Saya tetap percaya bahwa pada akhirnya, kebenaran akan terungkap, dan rakyat akan melihat siapa yang benar-benar berjuang untuk mereka.
Lalu, ada persoalan partai politik yang terus bermanuver, seolah-olah mereka berlomba-lomba merebut kursi kekuasaan tanpa memikirkan dampaknya bagi rakyat. Perebutan kekuasaan di pilkada dan pilpres kerap kali membuat saya bertanya-tanya, apakah benar ini semua demi kepentingan bangsa? Ataukah sekadar demi ambisi pribadi dan kelompok? Dalam situasi seperti ini, saya hanya bisa berusaha semampu saya untuk menjaga stabilitas, meski sering kali saya dituduh "cawe-cawe," campur tangan dalam urusan yang seharusnya menjadi urusan pihak lain.
Tak hanya itu, konflik antara MK dan DPR mengenai ambang batas pencalonan (threshold) semakin memperkeruh suasana. Seharusnya, ini adalah persoalan hukum dan konstitusi yang bisa diselesaikan dengan kepala dingin dan dialog yang sehat. Namun, realitasnya, konflik ini lebih sering digunakan sebagai senjata politik untuk saling menyerang.
Sekarang, dengan sisa waktu yang tinggal satu setengah bulan lagi, saya merasa masih banyak persoalan yang belum selesai. Seperti seorang pelari yang hampir mencapai garis finish, tetapi beban di pundak justru semakin berat.