Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) merupakan salah satu elemen penting dalam sistem demokrasi di Indonesia.
Melalui Pilkada, rakyat berkesempatan untuk memilih pemimpin di tingkat daerah yang akan mengarahkan pembangunan dan pemerintahan lokal.
Namun, proses Pilkada di Indonesia sering kali diwarnai oleh perdebatan terkait peraturan yang mengatur pelaksanaannya.
Salah satu isu yang mencuat saat ini adalah perbedaan pandangan antara Mahkamah Konstitusi (MK) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengenai ketentuan Threshold dan syarat usia calon kepala daerah.
Artikel ini akan membahas peran dan kewenangan MK dan DPR dalam konteks Pilkada, analisis perbedaan keputusan mereka, serta dampaknya terhadap legitimasi proses pemilihan di Indonesia.
Peran dan Kewenangan MK dan DPR dalam Pilkada
Mahkamah Konstitusi (MK) memiliki peran vital dalam menjaga konstitusionalitas undang-undang di Indonesia, termasuk undang-undang yang mengatur Pilkada.
MK berfungsi sebagai pengawal konstitusi yang memiliki wewenang untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945.
Dalam konteks Pilkada, MK telah mengambil langkah-langkah penting seperti menurunkan ambang batas (Threshold) partai politik yang dapat mengusung calon kepala daerah dan mengubah batas usia minimum calon kepala daerah.
Keputusan-keputusan ini diambil setelah MK mempertimbangkan berbagai aspek, termasuk kesetaraan dalam partisipasi politik dan kemudahan akses bagi calon pemimpin muda.
Di sisi lain, DPR memiliki kewenangan untuk membuat dan mengesahkan undang-undang yang mengatur Pilkada.