Abstract
The archaeology for whom? Those tickling question is challenging at once especially for archaeology researcher in National Archeology Center. To respond those challenge, the research policy may be siding to public interests as optimal as well. The merging back of archaeology to Ministry of Education and Culture, so the education aspect should be one of archaeological research final purpose.
Key Words : Archaeology for whom, challenge, research policy, public
interest, education.
PENDAHULUAN
Dalam sistem manajemen sumberdaya arkeologi sektor penelitian harus dapat berperan sebagai leading sector, walaupun secara eksplisit hal ini tidak diatur dalam Undang-Undang No.11 Tahun 2010, tentang Cagar Budaya. Bahwa kegiatan penelitian, pelestarian, dan pemanfaatan cagar budaya merupakan kegiatan yang tidak dapat dipisah-pisahkan, dikerjakan secara simultan dan berurutan, seperti penulis usulkan dan tertuang di buku Manajemen Sumberdaya Arkeologi-2 tentang konsep Three in One dalam pengelolaan sumberdaya arkeologi di Indonesia (Kasnowihardjo, 2004). Sebagai lembaga yang harus mengawali kegiatan dalam pengelolaan sumberdaya arkeologi, sektor penelitian dituntut tidak hanya bekerja secara akademik, akan tetapi harus memiliki visi dan wacana yang bersifat praktis dalam kaitannya dengan dua sektor lainnya yaitu sektor pelestarian dan sektor pemanfaatan.
Archaeology without its public is nothing, menurut hemat saya ungkapan ini merupakan satu tantangan bagi para pengelola sumberdaya arkeologi terutama para ahli arkeologi yang bekerja di sektor penelitian arkeologi. Sejauh mana hasil penelitian arkeologi dapat disajikan kepada kepentingan-kepentingan lain. Seperti diingatkan oleh Heddy Shri Ahimsa-Putra dalam pidatonya yang berjudul Ilmuwan Budaya dan Revitalisasi Kearifan Lokal, Tantangan Teoritis dan Metodologis (disampaikan pada Rapat Senat Terbuka Dies Natalis ke 62 Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, 3 Maret 2008), yang intinya mengajak kepada para peneliti ilmu budaya untuk menggali kearifan lokal masyarakat Indonesia dan melestarikannya demi kehidupan kita di masa mendatang. Bentuk-bentuk kearifan lokal sering ditemukan dalam penelitian arkeologi ataupun etnoarkeologi, pertanyaannya adalah mampukah kita mengemas bentuk-bentuk kegiatan penelitian dan hasil penelitian arkeologi tersebut untuk disajikan kepada kepentingan public, termasuk didalamnya adalah untuk kepentingan pembelajaran kepada para siswa. Hal ini akan sesuai pula dengan amanat UNESCO yang tertuang dalam program Education for Sustainable Development (EfSD).
PENELITIAN ARKEOLOGI DI INDONESIA
Pada tahun 2005 saat penulis masih bertugas sebagai Kepala Balai Arkeologi di Kalimantan, mencoba mengevaluasi hasil-hasil penelitian arkeologi pada sepuluh tahun terakhir (1994 -- 2004) dari tiga Balai Penelitian Arkeologi yaitu Balai Arkeologi Yogyakarta, Balai Arkeologi Makassar, dan Balai Arkeologi Banjarmasin. Hasil dari evaluasi tersebut dapat disimpulkan bahwa kinerja sektor penelitian arkeologi masih terpaku pada kepentingan sektoral dan belum dapat dirasakan manfaatnya secara riil oleh sektor lain ataupun masyarakat luas (Gunadi, 2005). Gambaran lain yang dapat dilihat dan dibaca dari hasil evaluasi penelitian arkeologi di Indonesia selama sepuluh tahun terakhir tersebut adalah bentuk kegiatan penelitian yang bersifat parsial yang disebabkan oleh keterbatasan beaya dan waktu. Apa yang akan dapat dihasilkan dengan alokasi waktu antara 10 -- 12 hari kerja dalam satu kegiatan penelitian arkeologi? Seingat saya baru Balai Arkeologi Banjarmasin yang berani mematok jangka waktu penelitian selama 20 hari kerja (atas usul penulis saat menjabat sebagai Kepala Balai Arkeologi). Mengapa strategi seperti di atas tidak diikuti oleh Balai Arkeologi yang lain? Seperti di Balai Arkeologi Yogyakarta sampai dengan tahun anggaran 2009 ini masih menerapkan alokasi waktu penelitian antara 10 -- 12 hari kerja.
Model-model penelitian arkeologi di Indonesia sebetulnya sudah banyak contoh yang diberikan oleh rekan-rekan peneliti baik yang datang dari Negara lain maupun teman-teman peneliti dari Indonesia. Francois Semah dan kawan-kawannya yang melakukan penelitian di Sangiran dan sekitarnya dapat menyelenggarakan satu pameran dan menerbitkan buku berjudul "Mereka Menemukan Pulau Jawa" (1990) yang menggambarkan kehidupan manusia purba beserta lingkungan, flora dan faunanya. Penelitian yang dilakukan oleh Peter Bellwood dan kawan-kawan di Maluku Utara dan Bagian Timur Indonesia lainnya, dapat memberikan gambaran kehidupan rumpun Austronesia yang tinggal di antara Asia Tenggara dan Pasifik. Michel Sazine dan National Geographic dengan penelitiannya tentang gambar cadas di sepanjang pegunungan Gergaji -- Marang di Kutai Timur, Kalimantan Timur, film dokumenternya berhasil memenangkan Rolex Award. Oxis Project, sebuah penelitian protosejarah di wilayah Luwu, Sulawesi Selatan yang dibeayai oleh donator asing berhasil menerbitkan sebuah buku "Land of Iron" (2000) dan berbagai artikel baik ilmiah maupun semi populer., satu diantaranya adalah artikel yang berjudul "Pesona Tanah Luwu Abad XIV M, Kerajaan Majapahit Import Besi" (Gunadi, 2000). Harry Truman Simanjuntak dan kawan-kawan yang meneliti gua-gua prasejarah di Pegunungan Sewu, Gunung Kidul satu contoh model penelitian arkeologi yang tidak "berlarut-larut" yang dikerjakan oleh peneliti Indonesia dengan hasil seperti tertuang dalam buku yang berjudul "Prasejarah Gunung Sewu" (2002).