Lihat ke Halaman Asli

Sisi Gelap Diplomasi Indonesia di Luar Negeri

Diperbarui: 25 Juni 2015   19:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sisi gelap Diplomasi Indonesia di luar negeri

Raker Keppri yang baru saja dibuka Presiden SBY tanggal 23 Pebruari 2012, merupakan rutinitas dilakukan. Raker yang diikuti 130 Kepala Perwakilan (Dubes, Konjen, Konsul dan Kuasa Usaha Ad Interim RI di luar negeri) tidak ubahnya pertemuan yang tidak menghasilkan apa-apa alias bentuk arisan saja. Alasannya, apa yang dibahas tentunya sudah dilaporkan oleh masing-masing Keppri. Pertemuan ini sebenarnya, salah satu jalan SBY keluar dari sarangnya karena selama ini dihujat terus menerus masalah korupsi anggota partai Demokrat.

Terlepas kegiatan Rapat Kerja Pimpinan Kementerian Luar Negeri dengan Kepala Perwakilan RI di Jakarta tanggal 20 - 24 Pebruari 2012 penting atau tidak untuk bangsa dan negara, perhelatan seperti ini memakan biaya cukup besar, mendatangkan 130 Kepala Perwakilan RI dengan biaya perjalanan dinas menggunakan kelas business yang diperkirakan Rp. 12 miliar sangat membebani rakyat Indonesia dan biaya ini cukup untuk membantu biaya pendidikan anak-anak staf yang bekerja di perwakilan RI. Hal ini belum lagi biaya yang dikeluarkan oleh Kementerian Luar Negeri yang mungkin jumlahnya Rp. 500 juta – Rp. 1 miliar.

Perhelatan ini juga memberikan keleluasan bagi setiap Kepala Perwakilan untuk memperpanjang masa dinasnya untuk kepentingan pribadi. Kemlu tidak berdaya memonitor keberadaan Kepala Perwakilan yang yang banyak berliaran di Indonesia pasca “Raker” (menambah liburan di Indonesia) dan tidak kembali segera ke perwakilan RI seusai “Raker” ini.

Disamping itu, saya ingin mengomentari pernyataan Menlu pada saat ditanya wartawan:

“Kita harus dapat memetik peluang dari dinamika perubahan di berbagai belahan dunia,” tutur Marty yang didengar oleh sekitar 130. Merupakan tanggung jawab Kemlu dan para Kepala Perwakilan untuk mewujudkan program yang nyata di negara akreditasi masing-masing.

Program tersebut, lanjutnya, perlu memiliki fokus, dengan skala prioritas yang jelas dan upaya pelaksanaan yang dapat diukur tingkat keberhasilannya.  Pada kesempatan itu, Marty juga menyampaikan upaya internal Kemlu dalam mengembangkan SDM sebagai aset utama diplomasi.

“Kemlu akan senantiasa menumbuhkembangkan profesionalitas dan integritas diplomat Indonesia. Memastikan diplomat Indonesia memiliki sikap, karakter yang tanggung dan gigih tanpa pamrih perjuangkan kepentingan nasional.”

Peluang yang dimaksudkan oleh Menlu sifatnya normatif, karena umumnya program Keppri sebenarnya hanya pelengkap alias mediator saja. Contoh dalam peningkatan perdagangan, perusahaan Indonesia lebih tahu dan paham melakukan bisnis dengan mitra luar negerinya. Apalagi untuk investasi, perusahaan asingitu jauh lebih memahami Indonesia untuk investasi. Apalagi kalau dilihat dari program kerja perwakilan, itu hanya normatif sifatnya dan bisa dikembangkan ke mana saja tergantung perintah Kemlu atau instansi lainnya. Pelaksanaan program pada perwakilan RI tidak dapat diukur tingkat keberhasilannya, karena ya itu tadi, perwakilan hanya mediator saja bukan pengambil keputusan.

Upaya mengembangkan SDM Kemlu, Menlu dan jajarannya tidak memahami banyak mengenai aturan (Kepegawaian, Keuangan, Perlengkapan) sehingga banyak perwakilan yang melakukan pelanggaran.Perwakilan RI adalah tempat yang sarat dengan korupsi dengan berbagai modus operandi dan kelemahan-kelemahan yang sifat klise namun tidak pernah ditangani secara serius dan sebagai contoh adalah:

-Ketentuan yang mengatur PNS di Kementerian Luar Negeri baik yang bertugas di dalam dan di luar negeri carut marut, dan lemah sekiranya terjadi kasus-kasus hukum yang dilakukan oleh staf dan Kementerian Luar Negeri. Sejak dianulirnya Peraturan Menteri Luar Negeri tentang pejabat Diplomatik dan Konsuler (PDK), semua pengaturan tentang PDK rapuh dan rentan untuk digugat. Dapat dibayangkan dengan tidak adanya rujukan dan dasar hukum, cenderung hak-hak sebagai staf yang di perwakilan RI tidak terlindungi dan menjadi sasaran “abuse of power” oleh Kepala Perwakilan dan petinggi Kementerian Luar Negeri. Salah satu contoh, bagaimana mungkin suatu ketentuan dianulir, mengakibatkan temuan yang memaksa beberapa staf di luar negeriuntuk mengembalikan tunjangan telah diterimanya. Hal ini terjadi disebabkan pimpinan Kementerian Luar Negeri yang ada saat ini tidak paham mengelola organisasi Kementerian Luar Negeri dan perwakilan RI di luar negeri. Contoh lain, di Kementerian Luar Negeri ada pejabat eselon II yang begitu lama sebagai pelaksana tugas (PLT). Padahal hal ini telah diatur oleh UU Kepegawaian persyaratan untuk menjadi Eselon II. Namun praktek pengangkatan untuk menjadi Eselon II tetap saja terulang/terjadi dengan sebutan PLT terlebih dahulu untuk beberapa waktu.

-Tidak ada pola pembinaan karir di Kementerian Luar Negeri sehingga banyak staf yang frustasi dan cenderung merugikan negara dan bangsa apabila suatu hari ditugaskan ditempatkan di luar negeri.

Selanjutnya, bagaimana untuk professional dan berintegritas karena hal-hal yang dibawah ini terus saja terjadi pada perwakilan RI:

-Menurut ketentuan Kepala perwakilan dapat membawa pekerja rumah tangga 2 -3 saja. Namun hampir seluruh Kepala Perwakilan melakukan pelanggaran dengan membawa 3 – 7 pembantu dari Indonesia yang cenderung di-abuse dalam membantu tugas-tugas di Wisma Indonesia. Kepala Perwakilan kerap tidak memberikan perlindungan sebagaimana layaknya (hak cuti, kerja 7 hari dalam seminggu) dan menggajinya tidak sesuai dengan kontrak. Gaji untuk 2-3 pembantu yang dibawa dibagi untuk 3 - 7 pembantu lain yang ikut dibawa Kepala Perwakilan dalam penugasannya. Bahkan ada Kepala Perwakilan yang menyunat gaji para pembantu yang dibawanya. Kasus-kasus serupa banyak terjadi dan hampir seluruh Kepala Perwakilan melakukan modus seperti ini. Ada lagi kasus, mempekerjakan keluarganya sendiri (adik, ipar, kakak dll).

-Memberdayakan Dharma Wanita untuk menyiapkan konsumsi/makanan dalam setiap kegiatan dan kunjungan tamu-tamu yang singgah di Wisma Indonesia. Biaya konsumsi/makananan yang disiapkan oleh Dharma Wanita yang dikomando para isteri Kepala Perwakilan menghargai dengan biaya yang lebih mahal atau setara dengan restauran kelas menengah di negara maju. Biaya konsumsi yang disiapkan Dharma Wanita pada perwakilan Indonesia relatif mahal dibandingkan makan di restaurant kelas menengah di kota tersebut.

-Pengadaan barang/jasa yang dilakukan tidak sepenuhnya dilaksanakan karena tetap saja diintervensi oleh Kepala Perwakilan. Sebagai contoh, pengadaan kenderaan dinas dan pemeliharaan dll, walaupun yang menangani telah ada, tetap saja Kepala Perwakilan RI yang menentukan.

-Peran pengawasan yang saat ini tidak optimal dan terkesan melakukan pembiaran karena pejabatnya juga sebelumnya telah melakukan hal sama ketika bertugas di luar negeri. Sebagai contoh kasus yang terjadi di Kemlu untuk penyelenggaraan kegiatan, fungsi Itjen yang seharusnya melakukan pengawasan dan tindakan tidak berjalan sebagaimana mestinya. Dapat dibayangkan, 130 perwakilan RI di luar negeri dengan anggaran belanja barang/jasa dan perjalanan dinas Rp. 4 miliar atau Rp. 520 miliar per tahun cenderung tidak dikelola dengan baik dan akan mengakibatkan kerugian negara yang cukup besar dan membebani rakyat Indonesia.

-Bantuan pendidikan untuk anak yang bersekolah di luar negeri juga sangat minim dan terkesan kurang diorganisir dengan baik dengan Kementerian Keuangan.

Informasi tersebut di atas telah dikirimkan ke UKP4 dan staf ahli Presiden untuk jadikan masukan kepada Presiden dalam pidato pembukaannya. Selain itu, diharapkan SBY menegor dan memperingatkan Menlu untuk menindak keras Kepala Perwakilan yang melakukan pelanggaran. Saya bisa memahami, Pak SBY tidak akan menyampaikan hal tersebut dalam pidatonya karena akan menjadi polemik di media. Namun saya berharap pimpinan Kemlu dapat segera bergerak untuk menindak dan menyelesaikan masalah-masalah yang telah diutarakan tersebut.

Berdasarkan hal-hal tersebut, terdapat masukan-masukan untuk memperbaiki Kemlu sebagai berikut:

1.Menindak tegas Kepala Perwakilan yang melakukan penyimpangan dan segera memberikan sanksi. Kepada Kepala Perwakilan yang terkena sanksi diharapkan tidak diberikan kesempatan untuk menjadi Kepala Perwakilan kembali. Pengawasan Inspektorat Jenderal perlu ditingkatkan. Contoh kasus gedung KBRI Singapura, tiket mestinya dapat diselesaikan cepat sekiranya Itjen melakukan pengawasan dengan baik. Penanganan kasus ini terkesan lamban karena pengawasan tidak optimal dan dapat dibayangkan berapa milyar rupiah yang terkorupsi oleh segelintir orang dan berlangsung sejak Kementerian Luar Negeri berdiri.

2.Memberdayakan Itjen untuk melakukan pengawasan yang optimal dan transparan untuk seluruh perwakilan RI.

3.Membuat peraturan dan ketentuan untuk staf yang akan ditempatkan pada perwakilan RI. Dengan ketentuan ini diharapkan hak-hak staf dapat terlindungi dan terpenuhi dengan baik.



4.Membuka layanan pengaduan yang dapat diakses masyarakat Indonesia di luar negeri sehingga staf maupun Kepala Perwakilan dapat diadukan jika terjadi penyimpangan.

Semoga masukan ini bermanfaat dan kami minta tanggapan dari Kompasianer tercinta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline